Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana.
Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali.“Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri.Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan.Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani. Berani meninggalkan rumah dan sumber luka dan siksa batinnya.“Pergi atau kembali tidak akan mengubah apa-apa sepertinya,” gumamnya pelan sembari membuang napas.Tidak ada pilihan lain selain kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Dasya tahu tidak akan ada yang berubah setelah kepergiannya satu hari atau pun selamanya sekalipun. Sebab, kehadirannya memang tak pernah diinginkan.Jadi, hal itulah yang membuat Dasya kembali. Ingin sekali lagi mencoba mengetuk sesuatu yang tertutup rapat agar ingin dibuka oleh si empu. Mencairkan sekali lagi hal yang beku. Semoga saja kali ini, jalannya mulus dan tidak berlubang. Kalaupun demikian, semoga saja Dasya menyadarinya. Agar tidak terjatuh dilubang yang sama dan kembali menambah luka baru di mana luka lama belum usai diobati.“Dari mana kamu?” Suara bariton yang begitu sangat dikenali oleh Dasya menyapa gendang telinganya.Gadis itu mendongak menghentikan langkahnya menatap ke sumber suara. Helaan napas lagi-lagi terdengar dari mulut Dasya saat tatapan tajam itu lagi yang dia dapati. Tidak ada tatapan lembut yang selalu dia idamkan.“Nggak dari mana-mana,” sahutnya pelan.“Kenapa baru pulang di jam segini? Biasanya, ‘kan kamu sudah pulang sejak tadi.”“Di toko lagi banyak pengunjung,” jawabnya berbohong.Walau memang seharian ini banyak pengunjung ke toko kuenya, membuat karyawannya sampai kewalahan. Akan tetapi, Dasya memiliki jadwal tutup yang rutin. Jadi, tidak akan pernah pulang lewat dari jadwal tersebut.Aren mendengus sebal. “Bukankah, kamu punya karyawan? Kenapa tidak mereka saja yang mengurusnya?”“Kasihan, Mas. Mereka kewalahan.”Setelah mendengar jawaban Dasya. Aren pergi setelah menyuruh Dasya menyiapkan makan malam untuknya. Sebenarnya, gadis itu ingin menolak. Akan tetapi, melihat bagaimana Aren bertanya tentang kegiatannya saat ini. Meskipun mungkin terpaksa bertanya hanya karena Dasya terlambat pulang dan tidak menyiapkannya makan malam.Namun, hal itu sudah membuat Dasya senang. Sehingga dia pun dengan senang hati membuatkan makan malam untuk sang suami. Walau lelah dan tidak bersemangat, tetapi demi mendapatkan hati Aren. Dasya akan melakukan apapun itu. Bahkan dia pun rela terluka berkalir-kali.Tanpa pikir panjang pun, Dasya kemudian masuk ke dalam dapur tanpa mengganti pakaiannya atau pun membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Membuatkan makanan untuk Aren lebih penting dari apapun.***Dasya mencoba tersenyum manis ke arah Aren yang berjalan ke arahnya, yang tengah menata masakannya di atas meja makan. Senyum manis Dasya persembahkan untuk menyambut sang suami, tetapi hanya wajah datar saja dia dapatkan.Tak apa pikir Dasya. Setidaknya, dia sudah ingin melihat senyuman itu walau tidak membalasnya. Setidaknya, kalau dia sudah melihatnya bisa jadi Aren akan menyadari kalau dia memiliki istri cantik yang memiliki lesung pipit di kedua pipinya dan begitu memesona.“Mas, ini makanannya sudah jadi. Kamu mau aku ambil—““Saya punya tangan yang bisa mengambil makananku sendiri,” sahutnya memotong kalimat Dasya dengan ketus, sembari menggeser kursi di samping Dasya dan duduk di sana.Senyum Dasya tiba-tiba surut mendengarnya. Helaan napas terdengar berat masuk ke dalam telinga Aren. Akan tetapi, pria itu mencoba tidak peduli, walau tahu dengan sangat pasti kalau Dasya sangat kecewa atas jawaban darinya.Dasya yang juga sudah merasa lapar, dan berhubung dirinya belum makan hampir seharian ini. Memilih untuk mengabaikan itu, dan mulai mengambil posisi di samping Aren. Menggeser kursi lalu duduk dan mulai mengisi piringnya dengan makanan di depannya.Mereka makan dengan sepi. Hening di antara mereka, tidak ada yang berniat untuk memecahkannya. Seolah mereka menikmati hal tersebut. Sesekali Dasya melirik Aren yang makan begitu lahap malam ini, tidak seperti biasanya. Senyum Dasya kembali terbit, meski hanya sebentar saat menyadari bahwa bukan karena masakannya enak sehingga membuat Aren demikian. Akan tetapi, mungkin karena sedang lapar saja. Jadi, pria itu makan dengan lahap.Lama mereka makan dalam keadaan hening, membuat Dasya jengah dan mulutnya sudah gatal ingin mengajak Aren berbicara. Meski tahu bagaimana jawaban pria itu setiap diajak berbicara olehnya, tetapi Dasya tetap memaksakan diri.“Mas, besok temani aku, ke supermarket ya.” Dasya memulai membuka percakapan.Lama menunggu, Aren tak kunjung menanggapinya membuat Dasya melirik ke samping. Pria itu masih sibuk dengan makanan di piringnya, tidak menghiraukan ajakan Dasya. Tidak ingin menyerah, Dasya kembali mengajak Aren berbicara.“Bahan dapur sudah hampir habis. Sayuran dan buah di kulkas juga mulai—“Belum selesai Dasya bercerita, tiba-tiba saja Aren beranjak berdiri hendak meninggalkan Dasya begitu saja. Andai saja gadis itu tidak memanggilnya, pria itu berbalik dan menatap datar Dasya.“Ada apa, sih?” tanya Aren ketus.“Kamu temani aku belanja kebutuhan dapur, ya,” ajak Dasya sambil tersenyum. “Kita belum pernah pergi belanja berdua.”Aren mendelik mendengarnya. “Pergi sendiri saja,” tolaknya. “Jangan manja. Lagian, saya bukan sopirmu.”Setelah mengatakan itu, Aren lantas pergi meninggalkan Dasya tidak memedulikan gadis itu yang terus memanggilnya dan memohon agar dirinya mau menemani Dasya besok.Sebesar apapun suara Dasya mengajaknya berbicara, dan sejelas apapun yang dikatakan gadis itu. Aren tidak peduli dan memilih mengabaikannya menganggap suara Dasya hanya angin lalu saja.Dasya membuang napas kasar, dia mengalah dan memilih diam. Tidak ada gunanya mengajak pria dingin itu berbicara. Tidak akan ada gunanya. Pria itu tidak akan memedulikannya.“Kapan, sih, Mas?! Kapan kamu akan mendengarkan aku? Menganggap aku ada?” Mata Dasya mulai berkaca-kaca.Namun, dengan cepat gadis itu mendongak menghalau air mata yang hendak jatuh dari pelupuk matanya. Tidak akan dia biarkan air matanya jatuh hanya karena hal itu, dia akan mencoba tegar dan bersabar sekali lagi. Walau sadar sudah banyak stok sabar yang dia habiskan untuk menghadapi Aren, dan belum juga berhasil mendapatkan hati dan perhatian pria itu. Akan tetapi, Dasya tetap ingin mencoba.***Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja. Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian. “Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa. Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek. “Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren d
Dasya baru sampai di rumahnya saat setelah pukul lima sore, karena keasyikan bersama Dini tasi, dia sampai lupa ke toko kuenya saking serunya bertemu dengan Doni—teman kuliahnya dulu. Mereka menghabiskan waktu hampir beberapa jam hanya membicarakan hal konyol di masa kuliah mereka, dan juga hal yang menyenangkan tentunya bagi Doni. Setelah menyadari waktu berjalan begitu cepat, dan ada yang harus dilakukan Dasya dengan bahan-bahan dapur dibelinya tadi. Dasya pun berpamitan dengan Doni untuk pulang setelah menghabiskan nasi goreng yang tadi Dasya pesan di tukang abang-abang pinggir jalan. Ya, Doni mengajak Dasya makan siang. Niat Doni ingin berterima kasih kepada Dasya karena telah memberi banyak kenangan manis. Sebab sering menjadi tameng untuk dirinya dari orang-orang sering menjahati Doni. Awalnya, Dasya menolak, tetapi terus dipaksa oleh Doni sehingga mau tidak mau pun, Dasya ikut saja, tidak enak karena Doni begitu antusias dan serius mengajaknya. Jadi, Dasya pun meminta Doni un
“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan. Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu. “Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman. Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?” “Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian. Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren. “Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan. “Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar. “Dia sudah tidak sabar untu
Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya. Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk. “Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya. “Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—““Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar. Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit.
Aren duduk dengan gelisah di ruangan Hans di sebuah kantor pusat milik pria tua itu. Aren diminta oleh Hans untuk menemui pria itu di tempat tersebut. Pagi-pagi sekali, tanpa sarapan Aren sudah bergegas menuju ke tempat yang sudah disuruhkan Hans kepadanya, dan di sinilah dia berada.Jantung Aren berdebar tak menentu menunggu kedatangan Hans. Pria itu terlalu bersemangat untuk bertemu, sehingga Hans belum tiba di tempat, tetapi dia sudah lebih dulu berada di sana. Tidak apa pikir Aren, setidaknya mengurangi kemarahan dari pria tua itu setelah semalam sudah membuatnya jengkel dan kesal kepadanya. Datang lebih awal semoga saja bisa mengurangi kekesalan Hans kepadanya. Aren menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah sudah berapa kali dia melakukannya. Rasa gelisah membuatnya tak henti-henti dirinya demikian. “Mau sampai kapan kau melakukan itu? Sampai kehabisan napas?” Suara yang khas di telinga Aren sontak membuat pemuda yang tengah duduk di kursi dekat jendela itu menoleh ke sumbe
Aren memijit pelipisnya merasakan kepalanya berdenyut sakit. Persyaratan yang diberikan oleh Hans untuknya begitu sangat mengganggu pikiran Aren. Bagaimana bisa dia memiliki seorang anak bersama Dasya. Sementara, dia tidak pernah menyentuh gadis itu. Kalaupun dia menyentuh Dasya, dia tidak pernah sudi memiliki anak bersama gadis itu. Tidak memiliki anak saja dia sudah kesulitan lepas dari Dasya. Apalagi kalau sudah memiliki keturunan bersamanya. Aren akan lebih tidak memiliki alasan untuk beranjak pergi. Namun, dia juga membutuhkan perusahaan itu. Ini salah Aren yang tidak mau jujur kepada sang kakek perihal hubungannya dengan Dasya. Agar dia bisa mengakhiri dengan segera drama yang dua ciptakan selama ini. “Akh, sial,” umpatnya seraya memukul setir mobilnya sedikit kuat. Selama perjalanan kembali ke perusahaannya, Aren tidak begitu fokus menyetir. Pikirannya terus tertuju kepada syarat yang Hans ajukan. Aren bingung bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan perusahaan itu, menjadik
Kini Doni, Dasya, dan Mila sudah berada di sebuah resto yang tidak jauh dari toko kue milik Dasya. Mereka seperti sedang reuni bertiga. Mila tidak henti-hentinya menatap Doni, memastikan pria itu memang benar Doni—teman kuliahnya dulu. Perubahan Doni yang sekarang membuat Mila sedikit tidak percaya, tetapi mendengar semua cerita Doni semasa kuliah dulu. Membuat Mila sedikit yakin kalau dia memang Doni si Gendut, yang paling sering kena bully-an oleh teman-teman kampus lainnya. “Gue sampai nggak bisa ngenalin lo, Don,” kata Mila sembari menyeruput cappucino dingin miliknya. “Iyalah, secara sekarang aku sudah lebih tampan dari yang dulu, ‘kan?!” puji Doni dengan bangga. Mila memutar bola matanya jengah. “Iya, sih. Cuman culun-culunnya masih ada, sih, Don. Nggak hilang semuanya,” balas Mila. “Masa, sih?!” tanya Doni penasaran. Mila hanya mengangguk membuat Doni terdiam. Hidup beberapa tahun di luar negeri, dan mencoba terbiasa menghilangkan kebiasaan dulu yang sering membuatnya dibu
Lama mereka berkendara akhirnya tiba juga di rumah Mila. Hujan juga sudah mulai redah membuat Dasya sedikit lega. Karena tidak harus terganggu mengendarai mobil oleh hujan lagi. “Makasih, Sya. Udah mau nganterin gue,” kata Mila. “Sama-sama, Mil.” “Nggak mampir dulu lo?” tawarnya. Dasya menggeleng. “Next time sajalah, Mil.” Mila mengangguk, dia kemudian ke luar dari mobil Dasya setelah berpamitan kepada gadis itu. Setelahnya, Dasya pun melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Mila. Gadis itu masih berada di luar, menatap pantat mobil Dasya yang mulai menjauh, dan tak terlihat lagi. Helaan napasnya terdengar kasar. Mila malah ke pikiran dengan masalah hidup yang dia alami Dasya. Masalah percintaan gadis itu begitu tidak beruntung. Dia mencintai seseorang yang sudah lima tahun belakangan ini mengabaikannya, menyakitinya di setiap ada kesempatan. Menyalahkan segala yang terjadi di hidup mereka sepenuhnya kepada Dasya. Perasaannya tak tahu apakah bisa berbalas atau tidak.Sek