Share

Bab 04, Stok Sabar

Dasya terdiam di dalam mobil yang dia parkir tepat di depan pagar rumahnya dan Aren. Gadis itu menatap lekat bangunan kokoh di depannya dari dalam mobil. Rumah di depan sana adalah rumah yang telah menjadi saksi bisu selama lima tahun belakangan ini. Tentang luka dan siksa batin yang dialami Dasya semenjak menginjakkan kaki di sana.

Helaan napas terdengar berat dari mulut Dasya, dia seperti enggan memasukkan mobilnya ke dalam sana. Tidak ada minat dan hasratnya kembali ke rumah ini, tetapi entah kenapa cinta selalu menuntunnya untuk kembali.

“Apa tidak perlu kembali untuk malam ini saja?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Terlalu banyak luka nantinya yang akan dia rasakan kalau terus memaksa, tetapi mau bagaimana lagi. Cinta telah bersemayam di dalam hatinya. Enggan untuk pergi. Padahal, cinta itu yakin kalau kehadirannya tidak akan pernah diterima atau pun terbalaskan.

Namun, cinta itu tetap hadir dan membuat langkah Dasya menjadi berat untuk melangkah mengambil keputusan yang berani. Berani meninggalkan rumah dan sumber luka dan siksa batinnya.

“Pergi atau kembali tidak akan mengubah apa-apa sepertinya,” gumamnya pelan sembari membuang napas.

Tidak ada pilihan lain selain kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Dasya tahu tidak akan ada yang berubah setelah kepergiannya satu hari atau pun selamanya sekalipun. Sebab, kehadirannya memang tak pernah diinginkan.

Jadi, hal itulah yang membuat Dasya kembali. Ingin sekali lagi mencoba mengetuk sesuatu yang tertutup rapat agar ingin dibuka oleh si empu. Mencairkan sekali lagi hal yang beku. Semoga saja kali ini, jalannya mulus dan tidak berlubang. Kalaupun demikian, semoga saja Dasya menyadarinya. Agar tidak terjatuh dilubang yang sama dan kembali menambah luka baru di mana luka lama belum usai diobati.

“Dari mana kamu?” Suara bariton yang begitu sangat dikenali oleh Dasya menyapa gendang telinganya.

Gadis itu mendongak menghentikan langkahnya menatap ke sumber suara. Helaan napas lagi-lagi terdengar dari mulut Dasya saat tatapan tajam itu lagi yang dia dapati. Tidak ada tatapan lembut yang selalu dia idamkan.

“Nggak dari mana-mana,” sahutnya pelan.

“Kenapa baru pulang di jam segini? Biasanya, ‘kan kamu sudah pulang sejak tadi.”

“Di toko lagi banyak pengunjung,” jawabnya berbohong.

Walau memang seharian ini banyak pengunjung ke toko kuenya, membuat karyawannya sampai kewalahan. Akan tetapi, Dasya memiliki jadwal tutup yang rutin. Jadi, tidak akan pernah pulang lewat dari jadwal tersebut.

Aren mendengus sebal. “Bukankah, kamu punya karyawan? Kenapa tidak mereka saja yang mengurusnya?”

“Kasihan, Mas. Mereka kewalahan.”

Setelah mendengar jawaban Dasya. Aren pergi setelah menyuruh Dasya menyiapkan makan malam untuknya. Sebenarnya, gadis itu ingin menolak. Akan tetapi, melihat bagaimana Aren bertanya tentang kegiatannya saat ini. Meskipun mungkin terpaksa bertanya hanya karena Dasya terlambat pulang dan tidak menyiapkannya makan malam.

Namun, hal itu sudah membuat Dasya senang. Sehingga dia pun dengan senang hati membuatkan makan malam untuk sang suami. Walau lelah dan tidak bersemangat, tetapi demi mendapatkan hati Aren. Dasya akan melakukan apapun itu. Bahkan dia pun rela terluka berkalir-kali.

Tanpa pikir panjang pun, Dasya kemudian masuk ke dalam dapur tanpa mengganti pakaiannya atau pun membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Membuatkan makanan untuk Aren lebih penting dari apapun.

***

Dasya mencoba tersenyum manis ke arah Aren yang berjalan ke arahnya, yang tengah menata masakannya di atas meja makan. Senyum manis Dasya persembahkan untuk menyambut sang suami, tetapi hanya wajah datar saja dia dapatkan.

Tak apa pikir Dasya. Setidaknya, dia sudah ingin melihat senyuman itu walau tidak membalasnya. Setidaknya, kalau dia sudah melihatnya bisa jadi Aren akan menyadari kalau dia memiliki istri cantik yang memiliki lesung pipit di kedua pipinya dan begitu memesona.

“Mas, ini makanannya sudah jadi. Kamu mau aku ambil—“

“Saya punya tangan yang bisa mengambil makananku sendiri,” sahutnya memotong kalimat Dasya dengan ketus, sembari menggeser kursi di samping Dasya dan duduk di sana.

Senyum Dasya tiba-tiba surut mendengarnya. Helaan napas terdengar berat masuk ke dalam telinga Aren. Akan tetapi, pria itu mencoba tidak peduli, walau tahu dengan sangat pasti kalau Dasya sangat kecewa atas jawaban darinya.

Dasya yang juga sudah merasa lapar, dan berhubung dirinya belum makan hampir seharian ini. Memilih untuk mengabaikan itu, dan mulai mengambil posisi di samping Aren. Menggeser kursi lalu duduk dan mulai mengisi piringnya dengan makanan di depannya.

Mereka makan dengan sepi. Hening di antara mereka, tidak ada yang berniat untuk memecahkannya. Seolah mereka menikmati hal tersebut. Sesekali Dasya melirik Aren yang makan begitu lahap malam ini, tidak seperti biasanya. Senyum Dasya kembali terbit, meski hanya sebentar saat menyadari bahwa bukan karena masakannya enak sehingga membuat Aren demikian. Akan tetapi, mungkin karena sedang lapar saja. Jadi, pria itu makan dengan lahap.

Lama mereka makan dalam keadaan hening, membuat Dasya jengah dan mulutnya sudah gatal ingin mengajak Aren berbicara. Meski tahu bagaimana jawaban pria itu setiap diajak berbicara olehnya, tetapi Dasya tetap memaksakan diri.

“Mas, besok temani aku, ke supermarket ya.” Dasya memulai membuka percakapan.

Lama menunggu, Aren tak kunjung menanggapinya membuat Dasya melirik ke samping. Pria itu masih sibuk dengan makanan di piringnya, tidak menghiraukan ajakan Dasya. Tidak ingin menyerah, Dasya kembali mengajak Aren berbicara.

“Bahan dapur sudah hampir habis. Sayuran dan buah di kulkas juga mulai—“

Belum selesai Dasya bercerita, tiba-tiba saja Aren beranjak berdiri hendak meninggalkan Dasya begitu saja. Andai saja gadis itu tidak memanggilnya, pria itu berbalik dan menatap datar Dasya.

“Ada apa, sih?” tanya Aren ketus.

“Kamu temani aku belanja kebutuhan dapur, ya,” ajak Dasya sambil tersenyum. “Kita belum pernah pergi belanja berdua.”

Aren mendelik mendengarnya. “Pergi sendiri saja,” tolaknya. “Jangan manja. Lagian, saya bukan sopirmu.”

Setelah mengatakan itu, Aren lantas pergi meninggalkan Dasya tidak memedulikan gadis itu yang terus memanggilnya dan memohon agar dirinya mau menemani Dasya besok.

Sebesar apapun suara Dasya mengajaknya berbicara, dan sejelas apapun yang dikatakan gadis itu. Aren tidak peduli dan memilih mengabaikannya menganggap suara Dasya hanya angin lalu saja.

Dasya membuang napas kasar, dia mengalah dan memilih diam. Tidak ada gunanya mengajak pria dingin itu berbicara. Tidak akan ada gunanya. Pria itu tidak akan memedulikannya.

“Kapan, sih, Mas?! Kapan kamu akan mendengarkan aku? Menganggap aku ada?” Mata Dasya mulai berkaca-kaca.

Namun, dengan cepat gadis itu mendongak menghalau air mata yang hendak jatuh dari pelupuk matanya. Tidak akan dia biarkan air matanya jatuh hanya karena hal itu, dia akan mencoba tegar dan bersabar sekali lagi. Walau sadar sudah banyak stok sabar yang dia habiskan untuk menghadapi Aren, dan belum juga berhasil mendapatkan hati dan perhatian pria itu. Akan tetapi, Dasya tetap ingin mencoba.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status