Share

Bab 05, Si Gendut Kutu Buku

Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja.

Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian.

“Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa.

Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek.

“Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren dengan berani, membuat pria itu seketika menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dasya akibat tarikan oleh gadis itu. “Sekali ini saja kenapa, sih?” ucap Dasya sedikit berteriak.

Aren menatap Dasya tajam perlahan turun ke tangan Dasya yang sudah dengan berani menyentuh pria itu. Padahal sejak pertama mereka menikah, Aren sudah mewanti-wanti gadis itu untuk tidak pernah menyentuh Aren. Pria itu seolah jijik kepada Dasya sehingga memberinya perintah demikian.

“Tidak! Tetap tidak, Dasya!” Aren menyentak kasar tangan Dasya yang memegang lengannya.

“Tapi kenapa, Mas? Kamu tidak pernah mau saat diajak.”

“Itu kamu tahu, kenapa masih memaksa?!”

Aren berbalik dan berjalan ke luar kamar. Dasya mengekor di belakangnya membuat dia risi. Aren membawa langkahnya cepat menghindari kebawelan gadis itu. Kepalanya sudah pusing sejak tadi mendengar rengekan Dasya. Akan tetapi, sekuat tenaga dia tahan agar tidak terbawa emosi. Sebab, ini masih pagi tidak ingin dia marah-marah tidak jelas hanya karena Dasya.

“Sapa tahu kamu sudah mau, Mas. Aku ajak untuk belanja,” sahut Dasya masih mengekor pada suaminya.

Aren berhenti dengan tiba-tiba sehingga hampir saja Dasya menabrak punggungnya, andai saja gadis itu tidak menyadarinya. Pria itu berbalik dan menghadap ke arah Dasya. Lagi-lagi tatapannya tajam, bahkan kali ini lebih tajam dari biasanya. Seolah mampu menguliti Dasya hidup-hidup saat ini juga.

“Berhenti mengikutiku, Dasya!” perintahnya dengan raut menakutkan. “dan berhenti merengek seperti anak kecil begitu. Aku kesal mendengarnya.”

Baru saja Dasya ingin membuka mulut ingin membuka mulut. Hendak protes, tetapi melihat wajah Aren yang sudah memerah tanda emosinya mulai tersulut mengurungkan niat Dasya. Dia pun akhirnya diam, dan mengalah. Bagaimana pun usahanya memaksa dan meminta kepada sang suami. Pria itu tidak akan luluh, dan ikut Dasya ke supermarket.

“Dasar menyebalkan.”

Setelah mengatakan itu, Aren kemudian pergi meninggalkan Dasya yang masih memandang punggungnya yang sudah mulai menjauh, bahkan hilang di balik pintu. Dasya membuang napas kasar, dia tidak tahu lagi bagaimana caranya meluluhkan hati pria itu. Lima tahun berusaha, dia sudah melakukan segala cara. Namun, satu pun usahanya tidak ada sama sekali yang berhasil.

“Kamu benar-benar sulit untuk dijangkau, Mas.” Dasya geleng-geleng kepala.

***

Dasya sudah bersiap ke suparmarket untuk membeli semua kebutuhan sebulan di dapurnya. Seperti biasa, dia akan pergi dengan menggunakan mobil dan pastinya sendirian. Sebab, Aren tidak akan pernah ikut serta. Hal itulah yang membuat mereka berdebat pagi tadi. Juga membuat hati Dasya mendung.

Setelah membersihkan rumah dan segala hal yang selalu dilakukan istri pada umumnya. Juga setelah memberitahu Mila kalau hari ini dirinya tidak datang ke toko dengan cepat, dan akan datang setelah makan siang nanti. Dasya pun berjalan menuju garasi, masuk ke mobil dan segera menuju ke tempat tujuan.

Jalanan saat ini tidak terlalu ramai, membuat Dasya leluasa membawa mobil, dan tidak harus berlama-lama di jalan. Dasya sudah sampai di tempat pusat perbelanjaan. Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran tempat tersebut, Dasya berjalan masuk ke pusat perbelanjaan dengan santai.

Dasya mengambil troli dan mulai memilah dan memilih apa-apa saja yang dia butuhkan. Mulai dari perlengkapan dapur, kebutuhan dirinya dan suaminya hingga hal-hal kecil lainnya. Dasya berbelanja dengan santai dan selayaknya seorang istri. Meski tidak pernah dianggap sebagai demikian oleh Aren—suaminya.

“Hai, Dasya!”

Dasya yang tengah sibuk mencari produk biasa digunakan suaminya, tiba-tiba terhenti saat seseorang menyerukan namanya. Dasya menoleh ke arah samping yang ternyata seorang pria sedang berjalan menghampirinya.

“Iya, benar! Kamu Dasya, ‘kan?!” tanyanya seolah memastikan dirinya tidak salah orang.

Dasya mengangguk ragu dengan kening mengerut. Mencoba mengingat siapa pria yang tengah mengenalinya ini, dia seolah kesulitan untuk mengingat. Dasya merasa pernah bertemu, tetapi di mana dan siapa orang ini.

“Iya, saya Dasya. Maaf Anda siapa, ya?”

“Astaga, kamu lupa sama aku, Sya?!” Kerutan di dahi Dasya semakin terlihat jelas. “Aku Doni—teman kuliahmu dulu. Masih ingat, ‘kan?”

Dasya memperhatikan sekali lagi wajah orang tersebut, dan dia pun tersenyum saat sudah mengingat siapa pria di depannya itu.

“Astaga, kamu Doni? Doni si gendut itu, ‘kan? Kutu buku yang nggak suka baca buku bajakan, iya, ‘kan?” cerocos Dasya saat sudah mengenalinya.

Doni mendengus sebentar, lalu tersenyum sambil mengangguk. Karena pada akhirnya Dasya mengingatnya, meski sedikit mengejek kebiasaannya dulu. Sebenarnya, Dasya tidak mengejek sepenuhnya. Sebab, Doni dulu memang sangat gendut sampai-sampai orang mengenalnya dan menyebutnya dengan Doni si Gendut.

Selain gendut, Doni dulu juga terkenal dengan kutu buku yang paling tidak bisa membaca buku bajakan. Dia akan mencari dan membeli buku aslinya. Hal itulah Dasya memanggilnya tadi. Mendengar Dasya memanggil dirinya seperti itu, sekelebat kenangan bersama Dasya di masa kuliah dulu terbayang di kepalanya, bahkan perasaan yang dulu sempat hadir dan sudah hampir dia hapus dan lupakan. Kini kembali terasa.

“Aiz, Don. Kamu berbuah,” ucap Dasya memperhatikan Doni dari atas sampai bawah.

“Kenapa? Aku ganteng, ya?” tanyanya pede.

Dasya mendecap sembari tersenyum mendengar celetukan teman lamanya itu. “Ya, sedikit,” canda Dasya sambil tertawa.

"Aiz, kok, cuman sedikit, sih?" protes Doni dengan tawa setelahnya.

Doni ikut tertawa, dan mereka pun berbincang mengenang masa kuliah mereka sambil berbelanja. Doni banyak bercerita mengingatkan Dasya tentang masa di mana Dasya banyak berjasa di dalam hidupnya dulu. Menjadi pembela dan pahlawan Dasya ketika mahasiswa yang lain membullinya.

Sesekali mereka tertawa ketika kenangan lucu mereka kembali kuliti. Mereka berdua terlihat begitu akrab. Bercerita begitu bebas mengenang masa kuliah. Sejenak, kesedihan Dasya menguap seiring pertemuannya hari itu dengan Doni—teman kuliahnya dulu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status