Home / Rumah Tangga / Biar Aku yang Pergi, Mas / Bab 05, Si Gendut Kutu Buku

Share

Bab 05, Si Gendut Kutu Buku

Author: Indah Idris
last update Last Updated: 2023-08-10 18:54:24

Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu cerah, tetapi tidak mengikutsertakan suasana hati Dasya saat ini. Hatinya kembali mendung, menandakan sebentar lagi hujan air mata akan kembali luruh begitu saja.

Pertengkaran dan perdebatan kembali terjadi. Ketika Dasya yang terus memaksa keadaan berubah sesuai keinginannya. Padahal, dia tak memiliki kuasa atau kekuatan demikian.

“Mas, sekali ini saja. Aku mohon,” bujuk Dasya pada Aren, yang sedang berdiri di depan cermin rias sibuk memasang dasi berwarna navi. “Setelah ini, aku nggak akan ngajak kamu lagi. Serius, Mas.” Dasya terus mencoba, bahkan memaksa.

Aren sudah selesai dengan dasi itu. Dia sudah terlihat rapi dengan dasi dan kemeja yang warna senada. Aren berbalik dan berjalan melewati Dasya, dia berjalan ke arah lemari. Membukanya dan mengambil jas abu-abu di sana. Di belakang Dasya sibuk mengikutinya terus mengajaknya berbicara, tetapi Aren tetap pada sikap awal. Cuek.

“Mas,” panggil Dasya kali ini dengan menarik lengan Aren dengan berani, membuat pria itu seketika menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dasya akibat tarikan oleh gadis itu. “Sekali ini saja kenapa, sih?” ucap Dasya sedikit berteriak.

Aren menatap Dasya tajam perlahan turun ke tangan Dasya yang sudah dengan berani menyentuh pria itu. Padahal sejak pertama mereka menikah, Aren sudah mewanti-wanti gadis itu untuk tidak pernah menyentuh Aren. Pria itu seolah jijik kepada Dasya sehingga memberinya perintah demikian.

“Tidak! Tetap tidak, Dasya!” Aren menyentak kasar tangan Dasya yang memegang lengannya.

“Tapi kenapa, Mas? Kamu tidak pernah mau saat diajak.”

“Itu kamu tahu, kenapa masih memaksa?!”

Aren berbalik dan berjalan ke luar kamar. Dasya mengekor di belakangnya membuat dia risi. Aren membawa langkahnya cepat menghindari kebawelan gadis itu. Kepalanya sudah pusing sejak tadi mendengar rengekan Dasya. Akan tetapi, sekuat tenaga dia tahan agar tidak terbawa emosi. Sebab, ini masih pagi tidak ingin dia marah-marah tidak jelas hanya karena Dasya.

“Sapa tahu kamu sudah mau, Mas. Aku ajak untuk belanja,” sahut Dasya masih mengekor pada suaminya.

Aren berhenti dengan tiba-tiba sehingga hampir saja Dasya menabrak punggungnya, andai saja gadis itu tidak menyadarinya. Pria itu berbalik dan menghadap ke arah Dasya. Lagi-lagi tatapannya tajam, bahkan kali ini lebih tajam dari biasanya. Seolah mampu menguliti Dasya hidup-hidup saat ini juga.

“Berhenti mengikutiku, Dasya!” perintahnya dengan raut menakutkan. “dan berhenti merengek seperti anak kecil begitu. Aku kesal mendengarnya.”

Baru saja Dasya ingin membuka mulut ingin membuka mulut. Hendak protes, tetapi melihat wajah Aren yang sudah memerah tanda emosinya mulai tersulut mengurungkan niat Dasya. Dia pun akhirnya diam, dan mengalah. Bagaimana pun usahanya memaksa dan meminta kepada sang suami. Pria itu tidak akan luluh, dan ikut Dasya ke supermarket.

“Dasar menyebalkan.”

Setelah mengatakan itu, Aren kemudian pergi meninggalkan Dasya yang masih memandang punggungnya yang sudah mulai menjauh, bahkan hilang di balik pintu. Dasya membuang napas kasar, dia tidak tahu lagi bagaimana caranya meluluhkan hati pria itu. Lima tahun berusaha, dia sudah melakukan segala cara. Namun, satu pun usahanya tidak ada sama sekali yang berhasil.

“Kamu benar-benar sulit untuk dijangkau, Mas.” Dasya geleng-geleng kepala.

***

Dasya sudah bersiap ke suparmarket untuk membeli semua kebutuhan sebulan di dapurnya. Seperti biasa, dia akan pergi dengan menggunakan mobil dan pastinya sendirian. Sebab, Aren tidak akan pernah ikut serta. Hal itulah yang membuat mereka berdebat pagi tadi. Juga membuat hati Dasya mendung.

Setelah membersihkan rumah dan segala hal yang selalu dilakukan istri pada umumnya. Juga setelah memberitahu Mila kalau hari ini dirinya tidak datang ke toko dengan cepat, dan akan datang setelah makan siang nanti. Dasya pun berjalan menuju garasi, masuk ke mobil dan segera menuju ke tempat tujuan.

Jalanan saat ini tidak terlalu ramai, membuat Dasya leluasa membawa mobil, dan tidak harus berlama-lama di jalan. Dasya sudah sampai di tempat pusat perbelanjaan. Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran tempat tersebut, Dasya berjalan masuk ke pusat perbelanjaan dengan santai.

Dasya mengambil troli dan mulai memilah dan memilih apa-apa saja yang dia butuhkan. Mulai dari perlengkapan dapur, kebutuhan dirinya dan suaminya hingga hal-hal kecil lainnya. Dasya berbelanja dengan santai dan selayaknya seorang istri. Meski tidak pernah dianggap sebagai demikian oleh Aren—suaminya.

“Hai, Dasya!”

Dasya yang tengah sibuk mencari produk biasa digunakan suaminya, tiba-tiba terhenti saat seseorang menyerukan namanya. Dasya menoleh ke arah samping yang ternyata seorang pria sedang berjalan menghampirinya.

“Iya, benar! Kamu Dasya, ‘kan?!” tanyanya seolah memastikan dirinya tidak salah orang.

Dasya mengangguk ragu dengan kening mengerut. Mencoba mengingat siapa pria yang tengah mengenalinya ini, dia seolah kesulitan untuk mengingat. Dasya merasa pernah bertemu, tetapi di mana dan siapa orang ini.

“Iya, saya Dasya. Maaf Anda siapa, ya?”

“Astaga, kamu lupa sama aku, Sya?!” Kerutan di dahi Dasya semakin terlihat jelas. “Aku Doni—teman kuliahmu dulu. Masih ingat, ‘kan?”

Dasya memperhatikan sekali lagi wajah orang tersebut, dan dia pun tersenyum saat sudah mengingat siapa pria di depannya itu.

“Astaga, kamu Doni? Doni si gendut itu, ‘kan? Kutu buku yang nggak suka baca buku bajakan, iya, ‘kan?” cerocos Dasya saat sudah mengenalinya.

Doni mendengus sebentar, lalu tersenyum sambil mengangguk. Karena pada akhirnya Dasya mengingatnya, meski sedikit mengejek kebiasaannya dulu. Sebenarnya, Dasya tidak mengejek sepenuhnya. Sebab, Doni dulu memang sangat gendut sampai-sampai orang mengenalnya dan menyebutnya dengan Doni si Gendut.

Selain gendut, Doni dulu juga terkenal dengan kutu buku yang paling tidak bisa membaca buku bajakan. Dia akan mencari dan membeli buku aslinya. Hal itulah Dasya memanggilnya tadi. Mendengar Dasya memanggil dirinya seperti itu, sekelebat kenangan bersama Dasya di masa kuliah dulu terbayang di kepalanya, bahkan perasaan yang dulu sempat hadir dan sudah hampir dia hapus dan lupakan. Kini kembali terasa.

“Aiz, Don. Kamu berbuah,” ucap Dasya memperhatikan Doni dari atas sampai bawah.

“Kenapa? Aku ganteng, ya?” tanyanya pede.

Dasya mendecap sembari tersenyum mendengar celetukan teman lamanya itu. “Ya, sedikit,” canda Dasya sambil tertawa.

"Aiz, kok, cuman sedikit, sih?" protes Doni dengan tawa setelahnya.

Doni ikut tertawa, dan mereka pun berbincang mengenang masa kuliah mereka sambil berbelanja. Doni banyak bercerita mengingatkan Dasya tentang masa di mana Dasya banyak berjasa di dalam hidupnya dulu. Menjadi pembela dan pahlawan Dasya ketika mahasiswa yang lain membullinya.

Sesekali mereka tertawa ketika kenangan lucu mereka kembali kuliti. Mereka berdua terlihat begitu akrab. Bercerita begitu bebas mengenang masa kuliah. Sejenak, kesedihan Dasya menguap seiring pertemuannya hari itu dengan Doni—teman kuliahnya dulu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 18, Mengarang Cerita

    Doni ke luar dari mobilnya, dia berdiri di samping mobil tersebut seraya menatap ke arah bangunan di depannya. Dia sedikit ragu, tetapi juga merasa harus bertemu Dasya saat ini juga. Ya, bangunan di depan Doni adalah rumah Dasya dan Aren. Tatapan mata Doni begitu lekat. Dengan tarikan napas yang panjang, Doni kemudian meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. “Assalamualaikum,” sapa Doni dengan mengucap salam. Dasya yang sedang berbaring di sofa ruang tamu segera beranjak duduk ketika mendengar suara yang tidak asing. Dengan suara lembut, dia membalas salam Doni. “Eh, Doni. Kamu di sini? Sama siapa?” tanya Dasya pada Doni yang berjalan mendekatinya. Doni tersenyum membalas senyum ramah milik Dasya. Senyum yang selalu mampu membuat Doni bisa jatuh cinta berkali-kali kepada gadis itu. “Iya, tadi aku ke toko kue kamu, tapi kata Mila kamu nggak masuk hari ini,” sahut Doni menjelaskan. “Ohiya, aku sendiri saja.” “Oh gitu ... Jadi tadi kamu dari toko ya?” Doni menjawab dengan anggukan

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 17, Apakah Betul Telah Membuka Hati?

    Dasya dan Aren sudah selesai sarapan. Kini Dasya masih di ruang makan sedang membersihkan peralatan masak, juga piring kotor bekas dia dan Aren makan tadi. Sementara, di luar sana. Aren tengah merapikan dasi dan kancing di pergelangan tangannya. Tatapannya mengarah ke dalam dapur, dia menatap Dasya dari kejauhan. Sejak tadi, dirinya tidak habis memperhatikan istrinya itu. Makan pun, dia sesekali melirik ke arah Dasya yang makan dalam diam. Dasya tidak biasanya seperti itu. Selama ini, Dasya begitu banyak pembahasan kepada Aren. Gadis itu akan bercerita banyak hal, menanyakan banyak hal kepada Aren. Meskipun, respon yang diberikan oleh Aren tidak sesuai dengan harapannya, bahkan melukai dirinya. Dasya tetap bertanya dan membahas hal-hal dengan senyum manis memperlihatkan lesung pipinya. Namun, kali ini berbeda, Dasya lebih banyak diam dan menunduk. Dia akan mengeluarkan suaranya kalau Aren bertanya atau memulai percakapan. Aren tahu penyebabnya. Helaan napas Aren terdengar kasar.

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 16, Aneh

    Suara gemercik air dari shower terdengar hingga ke luar kamar. Doni berdiri di bawah air tersebut, membiarkan dirinya basah. Padahal dia masih memakai pakaian lengkap. Sesekali dia mengusap wajahnya yang terus dialiri air. Pikirannya kacau, dan dia pikir dengan mandi air dingin. Kekacauan yang ada di kepalanya segera hilang. Nyatanya, semua kejadian-kejadian tadi. Bahkan beberapa tahun yang lalu kembali berputar di kepalanya. Persisi sebuah film lama yang sengaja diputar untuk ditonton kembali. Doni mengusap rambutnya ke belakang. Kepalanya didongakkan menghadap shower. Matanya terpejam dengan air yang terus mengalir. Semakin dia mencoba untuk menghilangkan kenangan itu, semakin juga setiap adegan bergantian muncul di ingatannya. Mata Doni terbuka. Kepalanya tak lagi mendongak. Tatapannya lurus ke tembok. Suara helaan napas terdengar kasar. Dirinya sudah pernah mencoba untuk melupakan, bahkan dia memaksa dirinya melakukan itu. Bertahun-tahun dia mencoba. Akan tetapi, hasilnya tida

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 15, Dipaksa Melupakan

    “Dari mana saja kamu? Sudah ingat pulang kamu?” Suara beraura menakutkan itu menghantam indra pendengaran Doni. Pemuda itu baru saja masuk ke rumah tersebut, tetapi sudah disambut dengan suara dingin milik Hans. Doni menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Hans yang sudah berdiri di dekat pintu utama. Doni bertanya-tanya dari mana munculnya orang itu. Sebab, pertama masuk ke rumah. Dia tidak melihat ada orang di sana. “Kakek,” sapa Doni. “Kakek, di sana?” tanya terlihat canggung. Hans tersenyum sinis. Sementara, Doni mengusap rambut belakangnya gusar. Dalam hati, dia menggerutu kesal. Meski sudah dipersiapkan hal ini, tetapi tetap saja aura yang dikeluarkan Hans tidak main-main menakutkannya. Wajah rentahnya tidak sama sekali mengurangi aura menakutkan. Tatapan tajam, rahang tegas yang kulitnya sudah keriput. Membuat Doni merasa was-was. “Ternyata, kau hilang seharian. Meninggalkan aku di kantor. Sampai dihubungi beberapa kali, tapi tidak respon. Itu karena kau menghilangk

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   Bab 14, Mundur atau Tetap Bertahan?

    Suara tangis Dasya di tengah kesunyian malam terdengar begitu memilukan. Malam ini, benar-benar sunyi. Suara jangkrik yang biasanya berbunyi menghiasi malam. Kini tak terdengar. Dasya yang tengah bersandar di sandaran ranjang dengan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Menoleh ke arah Aren yang tengah berbaring dengan posisi tengkurap. Suara napas yang teratur dan dengkuran halus terdengar, menandakan pria itu telah tidur dengan nyenyak. Air mata Dasya kembali mengalir. Bukan ini yang diinginkan olehnya. Bukan seperti ini. Dia memang ingin menyerahkannya kepada Aren, tetapi bukan dengan cara dipaksa dan tanpa cinta. Dasya ingin dia menyerahkannya ketika Aren telah berhasil membuka hati untun Dasya. Nama gadis itu sudah ada di dalam hati pria itu. Maka Dasya akan sangat rela memberikan apa yang telah Aren ambil malam ini. Hal yang seharusnya sudah Dasya berikan di malam pertama pernikahan mereka. Namun, malam ini Aren telah mengambilnya dengan paksa dan tanpa kelembutan sama se

  • Biar Aku yang Pergi, Mas   13, Malam Pertama

    Malam yang sunyi sudah sering di lalui Dasya, bahkan kebisingan, caci maki serta bentakan sudah kenyang Dasya rasakan. Namun, malam ini Dasya merasakan sunyi yang benar-benar membuat jiwanya meronta. Keinginan tahuannya tentang alasan sunyi itu tercipta selalu memaksanya untuk bertanya. Meski ketakutan selalu menjadi hambatan. Namun, tetap saja dilakukannya. Dan ... Seperti biasa, bentakan dan caci maki. Serta disalahkan selalu menjadi jawabannya. “Diamlah, Dasya! Kau betul-betul membawa masalah dalam hidupku,” bentak Aren saat Dasya mencoba bertanya ada apa dengannya. “Mas, aku hanya bertanya ada apa denganmu? Bisa tidak usah membentakku, dan mengatakan hal menyakitkan itu semua?!” katanya lirih. Aren menatapnya dengan senyum sini. “Kenapa? Bukankah, memang begitu kenyataannya?!”Dasya menghela napas kasar. Dia tidak akan pernah menang melawan Aren. Pria itu selalu saja memikirkan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan atau memedulikan perasaan orang lain. Egois. Ya, begitulah Are

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status