Share

Bab 08, Harapan Doni

Mobil Hans yang dikemudikan Doni sudah menjauh dari rumah Aren dan Dasya. Pria tua itu marah kepada Aren yang terlihat dan terdengar membentak Dasya. Aren yang tidak mengetahui keberadaan Hans, membuatnya berpikir kalau Dasya mengikutinya ingin kembali mengganggunya. Meminta sesuatu hal yang tidak pernah Aren bisa berikan kepada gadis itu. Sehingga membuat Aren membentak Dasya, agar gadis itu berhenti mengikutinya.

Aren membuang napas kasar, lalu berbalik menghadap Dasya. Dia menatap gadis itu dengan tajam. Sementara, yang ditatap hanya bisa menunduk.

“Kenapa kamu nggak bilang kalau yang datang itu Kakek, Dasya?” bentak Aren pada Dasya.

“Mas, aku udah mau bilang ke kamu, tapi kamu malah—“

“Ck, kamu memang nggak pernah bisa bikin hidup aku tenang. Selalu saja menimbulkan masalah baru di hidupku.” Aren memotong kalimat Dasya, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas kasar.

Setelahnya, Aren berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Dasya yang terdiam sambil menatap ke arah langit. Selalu saja begini di saat ada masalah, yang sebenarnya bukan timbul karena Dasya, tetapi karena keegoisan Aren sendiri. Namun, tetap menyalahkan sepenuhnya kepada Dasya. Berlindung dari rasa cinta dan kesabaran Dasya selama ini.

Dasya mendongak mencoba menghalau air matanya yang hendak ke luar. Membuang napas mengatur debaran jantungnya yang kian meningkat seiring rasa perih yang kembali mendera hatinya. Walau sekeras apapun dia mencoba agar tidak menangis, tetapi tetap saja bulir bening itu mengalir tanpa bisa ditahan lagi.

“Kenapa sesak sekali?” gumamnya dengan suara bergetar seraya menepuk dadanya dengan pelan, yang dia rasa sangat sesak akibat kata-kata Aren.

Dianggap sebagai sumber masalah di hidup orang yang kamu cintai, adalah yang paling menyakitkan. Ingin pergi agar orang yang dicintai bisa terbebas dari hal tersebut, tetapi cinta di hati begitu besar membuatnya enggan untuk beranjak dan mulai berjalan.

Lagi dan lagi luka baru terus saja berdatangan ke hati Dasya setiap hari dan setiap saatnya. Dan itu diakibatkan oleh orang yang dia cintai. Orang yang dia harap bisa memberikannya kebahagiaan, membalas perasaannya. Nyatanya, tidak juga.

Sementara di tempat lain, Doni dan Hans sudah berada di rumah besar milik pria tua itu. Wajah Hans masih ditekuk mengingat bagaimana wajah Dasya yang dibentak oleh Aren. Dia terlihat terluka juga takut. Hal yang membuat Hans ikut terluka karenanya. Hans sangat menyayangi gadis itu, membuat Hans tidak bisa terima jika ada yang menyakiti perempuan itu, terutama Aren—cucunya sekalipun.

“Ada apa, Kek?” tanya Doni kepada Hans yang terlihat terdiam sejak tadi. “Apa yang membuatmu terdiam seperti itu?”

Hans tersentak dari lamunan mendengar pertanyaan dari Doni, dia yang duduk di sofa sembari memangku tangannya. Seketika menoleh ke arah Doni yang menatapnya heran. Pria tua itu menghela napas kasar, lalu kembali mengalihkan pandangan dari Doni tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

Hal tersebut membuat kerutan di dahi Doni. Doni mencoba untuk menebak-nebak kalau yang membuat Hans seperti itu, yaitu karena kejadian di rumah Aren. Doni menghela napas kasar.

“Jadi, selama ini Aren menikahi Dasya?” gumam Doni pelan, tapi masih bisa didengar Hans. “Itu artinya, aku sudah tidak ada ... hah.” Doni tidak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya menghela napas sembari mengusap wajahnya kasar.

Sehingga sontak Hans melirik ke arahnya. Doni menyadari kalau saat ini tatapan Hans mengarah pada dirinya, dia pun lantas balas melirik Hans dengan alis saling bertautan.

“Ada apa?” tanya Doni. “Kenapa menatapku seperti itu?”

“Sudah tidak ada apa maksudmu?” Bukannya menjawab, Hans malah mengajukan pertanyaan yang membuat Doni terdiam. “Kenapa reaksimu seperti itu, ketika tahu Aren menikahi Dasya?”

Lagi-lagi Hans memberikan Doni pertanyaan yang tidak sanggup pemuda itu jawab. Doni membuang napas kasar sembari menggaruk hidungnya yang sama sekali tidak terasa gatal, dia hanya ingin membuang rasa gugupnya.

“Re-reaksiku? Maksudnya? Memang kenapa dengan reaksiku?” Doni terlihat tergagap karena gugup.

Dia takut perasaannya terhadap Dasya yang sudah hadir sejak dulu terbongkar kepada Hans. Doni tidak ingin menciptakan masalah baru. Situasinya sudah tidak mendukung juga tidak baik, dia tidak mau lagi menambah dengan Hans mengetahui segalanya. Biarlah hanya Doni dan Tuhan saja tahu, tidak usah orang lain.

“Kau seperti ....”

Hans tidak melanjutkan kalimatnya, dia malah menatap Doni dengan memicingkan matanya membuat Doni mengerutkan kening.

“Jangan bilang ... kau menyukai—“

“Astaga ... Aku baru ingat, kalau hari ini. Vania mengajakku ke pesta. Astaga, kenapa sampai lupa.” Doni dengan cepat memotong kalimat Hans, membuat pria itu membuang napas kasar.

“Kek, kayaknya pembahasan itu kita bahas nanti, ya. Aku harus ke rumah Vania. Selamat tinggal,” ucap Doni sembari beranjak berdiri, lalu pergi meninggalkan Hans yang baru ingin protes kepadanya.

Namun, urung dikarenakan Doni sudah berjalan cepat meninggalkan pria tua itu. Hans hanya mencibir ke arah Doni yang mengabaikan dirinya.

“Astaga, anak itu,” gerutunya kesal.

Hans kemudian terdiam mencoba menganalisa semuanya. Tentang Aren yang baru pertama kalinya dia lihat membentak Dasya, dan reaksi Doni. Juga tatapan pemuda itu saat pertama kali bertemu tadi di rumah Aren dan Dasya. Hans bisa melihat binar kebahagiaan terpancar dari sorot mata pemuda tersebut. Hans menghela napas kasar, berharap apa yang sekarang dia pikirkan tidak benar.

***

Doni baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah yang lumayan besar, dia tidak memasukkan mobil miliknya ke pekarangan rumah itu. Hanya berhenti di depan pagar rumah tersebut. Dia menatap bangunan kokoh yang lampunya masih hampir semua menyala. Menandakan kalau di dalam sana pemiliknya masih belum tertidur.

Helaan napas terdengar berat dan gusar dari mulut Doni. Tatapnya sendu pada bangunan itu. Harapannya untuk kembali ke Indonesia dengan buru-buru pupus sudah. Niat awalnya kini sudah berubah dan berakhir di beberapa jam yang lalu, ketika dirinya mengetahui suatu fakta begitu menyakiti hatinya.

Setelah bertahun-tahun memendam, dan sempat mengubur perasaannya terhadap Dasya. Di saat dirinya melihat berita lewat teman lama tentang Dasya yang sudah sukses, memiliki toko kue yang buka cabang di mana-mana. Juga masih belum menikah membuat gejolak cinta di hati Doni meronta meminta untuk dituntaskan dengan pertemuan juga sebuah pengakuan.

Hal itu yang membuatnya ingin segera kembali. Dan hasratnya untuk melamar dan menjadikan Dasya sebagai pelabuhan pertama dan terakhirnya ketika mereka tak sengaja bertemu tadi siang. Melihat tidak ada tanda-tanda Dasya memiliki seseorang di hidup gadis itu, membuat Doni semakin semangat.

Namun, ketika tadi Hans memintanya menemani pria tua itu ke rumah yang saat ini Doni pandangi. Terkuaklah satu fakta yang begitu melumpuhkan semangat Doni. Lagi-lagi Doni menghela napas kasar. Dirinya terlihat begitu putus asa.

“Kenapa begitu menyakitkan, Sya? Dua kali aku mencoba mendapatkanmu. Dua kali juga aku harus merasakan luka.” Doni mengusap wajahnya gusar.

“Kalau tahu akan seperti ini, aku tidak akan kembali ke sini untuk mengejarmu. Aku akan tetap di sana, dan terus berusaha melupakanmu serta menghapus perasaanku kepadamu,” ucapnya lirih.

Setelah mengungkapkan isi hatinya di dalam mobil Doni kembali menyalakan mesin mobilnya, lalu pergi meninggalkan rumah Aren dan Dasya. Berharap angin malam ini akan mengantarkannya kepada Dasya. Membuat gadis itu mengerti apa yang tengah dirasakan Doni saat ini, bahkan Doni berharap angin menyampaikan segala yang dia rasakan selama bertahun-tahun lamanya tentang gadis itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status