Share

Bab 07, Kemarahan Hans

“Jadi, kalian sudah saling kenal sejak kuliah dulu?” tanya Hans—kakek Aren memastikan.

Baik Dasya maupun Doni kompak mengangguk mengiyakan pertanyaan Hans yang sudah diulang berkali-kali. Seolah tidak percaya kalau mereka berdua memang teman lama di saat kuliah dulu.

“Kenapa bisa?” tanyanya pelan persisi gumaman.

Doni mengerutkan kening mendengar hal tersebut. “Kenapa bisa bagaimana, Kek?”

“Kenapa Dasya yang cantik bisa punya teman sejelek kau?!” Doni mendengus sebal ke arah Hans. Sedangkan Hans menatap Dasya dan Doni bergantian.

Dasya tersenyum merasa terhibur dengan kedatangan Hans dan Doni ke rumahnya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia dapatkan ketika berdua saja dengan Aren.

“Ohiya, Kek. Kakek kapan pulang dari Malaysia?” tanya Dasya mengalihkan pembicaraan.

“Hari ini, itupun karna dipaksa sama si kutu kupret ini.” Hans melirik Doni dengan lirikan tajam. Sementara, yang dilirik sama sekali tidak merasa takut, malah hanya menghela napas kasar.

“Dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Indonesia. Katanya, rindu pada seseorang. Dia saja yang merindukan orang, tapi tidak ada yang merindukannya,” ejek Hans lagi kepada Doni.

“Seperti tua bangka ini ada yang merindukannya,” bisik Doni pada dirinya sendiri yang masih bisa didengar oleh Hans.

Hans menyikut perut Doni membuat pemuda itu meringis pelan. Dasya yang melihat hanya tertawa-tawa sembari geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua orang itu. Ada hal yang baru Dasya ketahui tentang Doni dan Aren. Mereka ternyata saudara, meski Doni hanya anak angkat saja. Yang lebih tepatnya cucu angkat.

Sebab, Doni diangkat sebagai cucu Hans ketika kedua orang tua Aren meninggal dunia. Ayah Aren yang ternyata anak tunggal membuat Hans terpaksa mengadopsi satu cucu lagi. Sebenarnya, ingin mengadopsi anak, tetapi usia Doni dulu lebih cocok menjadi cucunya ketimbang jadi anaknya.

Doni berhasil membuat pria dingin—Hans luluh dan menjadikannya salah satu cucu kesayangan sekaligus kepercayaan Hans. Doni seperti Aren, dia juga mengurusi satu perusahaan milik Hans yang ada di luar negeri. Tepatnya di negeri jiran sana.  

Ketika Doni lulus kuliah menjadi sarjana. Hans meminta pemuda itu untuk ke luar negeri mengurusi perusahaan Hans di sana. Sebenarnya, Hans tidak meminta, tetapi memaksa Doni. Karena awalnya Doni menolak dikarenakan Doni merasa tidak pantas. Sebab, dia hanya cucu angkat. Akan tetapi, siapa yang bisa menolak pria tua bangka itu? Begitulah panggilan Doni juga Aren kepada Hans.

“Ohiya, Dasya. Suamimu mana?” tanya Hans kepada Dasya.

Senyum Dasya seketika memudar dari bibirnya ketika mendengar nama itu disebut Hans. Dia baru menyadari kalau hanya mereka bertiga saja yang berada di ruang keluarga ini. Aren masih belu mengetahui keberadaan kakeknya di rumah mereka.

“Mas Aren ada, Kek. Dia di kamar baru pulang dari kantor,” sahut Dasya sedikit berbohong.

“Coba panggil dia ke mari,” pinta Hans.

Dasya dengan ragu mengangguk, lalu bangkit berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Doni yang duduk di sebelah Hans merasa tidak nyaman. Ada di hatinya yang terasa perih akibat fakta baru saja dia dengarkan. Sedikit tidak percaya, tetapi ini kenyataannya.

Gadis yang sudah sangat lama dia cintai, ternyata sudah bersama pria lain. Hal itu adalah berita paling buruk menurut Doni. Lebih buruknya, pria yang menjadi suaminya adalah kakak angkat Doni. Pria yang selalu menganggapnya adik kandung, dan menerima Doni dengan baik. Walau mereka terlihat tidak di rahim yang sama. Darah mereka tidak mengalir darah yang sama.

Namun, sikap Aren tidak pernah menunjukkan hal yang mengingatkan asal asli Doni. Sehingga Doni pun sangat menghormati dan menyayangi pria itu.

Helaan napas kasar terdengar dari mulut Doni. Kegelisahan dan kegundahan terlihat dengan jelas tergambar di raut wajah pria itu, yang sangat mudah dibaca oleh Hans. Kening tua Hans mengerut bertanya-tanya ada apa dengan Doni.

Sementara, di lantai dua. Dasya berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Berpikir bagaimana caranya menemui Aren tanpa membuat hatinya kembali galau. Setiap melihat pria itu dan dengan sikap yang sama selalu saja membuat Dasya sedih.

Namun, tidak ingin mengundang kecurigaan di benak Hans dan Doni. Dasya pun meyakinkan dirinya untuk menemui pria itu, dan memberi tahu kalau Hans berada di bawah dan sedang ingin bertemu dengannya. Akan tetapi, baru saja ingin mengetuk dan masuk ke dalam, tiba-tiba saja pintu kamar berdenyit lalu terbuka.

Dasya terlihat salah tingkah dan gugup melihat alis Aren saling bertautan menatapnya berada di depan pintu, dengan tangan tergantung di udara hendak mengetuk. Dasya segera menurunkan tangannya, lalu bersikap biasa-biasa saja walau sulit.

“Mas, di—“ Belum juga sempat Dasya memberi tahu, tiba-tiba saja Aren mendorong Dasya ke samping, memintanya untuk memberi Aren jalan.

“Minggir,” pintanya dingin.

Aren berjalan pergi meninggalkan Dasya yang tengah berniat memberitahunya sesuatu. Namun, Aren seperti biasa selalu saja mengabaikan gadis itu. Dasya tidak ingin ada yang tahu hubungan mereka sesungguhnya. Terutama Hans dan Doni. Dasya menyusul Aren yang hendak menuruni tangga.

“Mas, di bawa ada—“

“Diamlah,” pinta Aren lagi-lagi menyela ucapan Dasya.

“Tapi, Mas. Itu di bawah ada—“

Aren berhenti di anak tangga ke tiga dari bawah, lalu berbalik dan menatap Dasya dengan tajam. Dia marah karena merasa Dasya sudah sangat mengganggunya. Padahal, saat ini suasana hati Aren sedang tidak baik-baik saja.

“STOP!” teriak Aren tepat di depan wajah Dasya sontak membuat gadis itu memejamkan matanya.

Suara Aren sangat menyakiti telinga dan hatinya, bahkan suara Aren dapat terdengar jelas oleh kedua pria beda generasi di ruang keluarga sana. Sontak mereka terkejut dan merasa penasaran apa yang tengah terjadi di dalam sana. Hans yang penasaran pun, beranjak berdiri di susul Doni. Mereka berdua mendatangi sumber suara.

“Mas, itu kamu jangan berteriak,” peringat Dasya.

“AKU BILANG STOP, DASYA!!” teriak Aren lagi tanpa memedulikan Dasya yang terus mencoba menenangkannya juga ingin memberitahu sesuatu.

“Kenapa sulit sekali buatku memberiku sedikit ketenangan. Untuk—“

“Kenapa kau marah dan berteriak kepadanya, Aren?!” balas teriak Hans kepada Aren.

Mendengar itu, Aren terkejut lantas berbalik melihat di ujung sana Hans dan Doni sudah berdiri menatap ke arah mereka dengan tatapan murka. Hans memang terkenal tidak suka ada pria yang berteriak bahkan membentak juga menyakiti seorang wanita. Apalagi, Dasya adalah cucu menantu perempuan satu-satunya dan kesayangannya.

“Kakek,” gumam Aren pelan.

Aren melirik Dasya yang hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk takut. Tatapan tajam Aren belum juga berubah ke arahnya.

“Aku yang menyuruhnya memanggilmu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kenapa kau malah marah dengannya?!” Hans terdengar dingin kepada Aren membuat pria itu menghela napas kasar.

Sadar dia berada dalam bahaya, dan tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya.

“Apakah kedatanganku kemari begitu mengganggu ketenanganmu? Huh?!”

“Tidak, Kek. Bukan begitu.” Aren berjalan ke arah Hans berniat menjelaskannya.

Namun, Hans terlanjur marah akibat Aren sudah lancang membentak dan membuat Dasya sedih. Gadis kesayangan Hans. Pria tua itu tidak lagi mau menerima alasan. Sehingga sebelum Aren sampai menghampirinya, dia sudah berbalik dan berjalan pergi membuat Aren menarik rambutnya kasar.

“Kek, aku tidak bermaksud—“

“Doni, ayo kita pulang sekarang.” Hans menyela dan meminta Doni untuk segera membawanya pergi dari rumah Aren.

Doni melirik Aren yang juga tengah menatapnya sendu. Doni hanya bisa menghela napas kasar sembari mengedikkan dua bahunya. Seolah memberinya tanda kalau kali ini, dia tidak bisa membantunya.

“Kakek! Ayolah, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak tahu kalau Kakek yang meminta Dasya memanggilku,” jelas Aren jujur sambil mengejar pria tua itu.

Hans berhenti berjalan membuat Aren ikut berhenti. Pria itu berbalik dan menghadap ke arah Aren dengan menatap pria itu dengan tajam menghunus.

“Bagaimana mungkin? Apa dia tidak memberi tahumu?” tanya Hans dingin.

Aren melirik Dasya, dia seolah meminta Dasya untuk membantunya menjelaskan kepada Hans kalau dirinya memang tidak bersalah dan apa yang dia katakan benar. Namun, baru saja Dasya ingin membuka mulut, tiba-tiba Hans kembali berbalik berjalan meninggalkan mereka.

“Doni! Apa yang kau tunggu?! Ayo, pergi!” teriaknya pada Doni.

Mau tidak mau pun Doni segera menghampiri Hans dan meninggalkan Aren yang menarik rambutnya frustrasi. Dasya yang melihat itu merasa gelisah, dia tahu setelah ini nasibnya juga sedang tidak baik-baik saja di tangan Aren.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status