"Mau kamu apa, Mas? Aku diam salah! Menjawab juga salah, kan?"
Jawaban sarkas dari Nadine membuat Damar diam dan tak jadi menamparnya.
Jujur, Damar tak menampik bahwa yang dikatakan oleh Nadine ada benarnya.Sebenarnya, saat sang Ibu dan juga saudaranya menjelekkan Nadine, Damar ragu untuk percaya. Apalagi, dia sendiri menyadari bahwa dirinya dulu hanya memberikan 600 ribu per bulan.
Uang bensin dan makan siangnya saja kurang segitu.
Tapi, Damar harus memberikan 3 juta untuk ibunya, 1 juta untuk Sarah, dan 1 satu juta untuk Sinta.
3 juta disisakan untuk uang bensin dan uang makan siangnya.
Nadine selalu dituntut untuk bisa hemat dan mencukupkan 600. ribu dalam sebulan. Padahal, dirinya sendiri saja tidak bisa jika sehari cuma 50 ribu.
Hanya saja, Damar sedikit terpancing dengan hasutan dari keluarganya yang mengingatkan Nadine sanggup merawat bayinya hanya dengan nafkah 300 ribu per bulan.Dugaan nafkahnya disalahgunakan oleh Nadine menguat!
Egonya juga tak terima.
Jika diakumulasikan selama 3 tahun, maka sisa belanja Nadine berarti cukup lumayan!
"Mau kamu apa Mas?"tanya Nadine sekali lagi, menyadarkan Damar dari lamunan.
"Kamu pasti menyimpan uang sisa dari uang belanja yang telah lalu! Tidak main-main loh dek itu jumlahnya! 300.000 per bulan jika di akumulasi menjadi 3 tahun jumlahnya lebih dari 10 juta. Coba sini berikan ke Mas untuk membayar biaya rumah sakitmu kemaren!" Tanpa tahu malu ,Damar menadahkan tangan meminta sesuatu yang sama sekali tidak ada."Bentar dulu...! Kamu salah minum obat, Mas? Atau kepalamu habis kepentok di mana begitu? Kenapa perkataanmu melantur seperti ini? Uang mana yang kamu tanyakan?""Ya uang nafkah yang setiap bulan aku berikan kepadamu, buktinya selama 2 bulan ini Aku memberikanmu 300.000 cukup kan? itu pasti yang lalu saat aku berikan 600.000 sisanya Ada separuh bahkan lebih! bukan begitu dek?" jawab Damar dengan pedenya.
"Sini dulu deh Mas! Coba merunduk. Aku mau melihat sesuatu di kepalamu!"Postur tubuh Nadine yang lebih pendek dari Damar itu tentu tidak akan bisa menggapai kepala damar makanya dia menyuruh suaminya untuk menunduk.
"Perasaan tidak anget deh, tapi kenapa jadi konslet otaknya?" tanya Nadine saat menyentuh kening Damar dan pura-pura bingung.Damar pun menjadi naik pitam mendengar perkataan dari istrinya tersebut."Kauuuu...!"
Pria itu meneriaki Nadine dan melotot ke arahnya.Dia tak suka saat Nadine mengatakan demikian.
Sama saja Nadine menganggapnya gila, kan?
"Sudah tidak usah berbelit-belit dan banyak mengelak! Di mana uang itu kamu simpan? Lumayan untuk membayar separuh dari biaya operasi Caesar kamu di rumah sakit!" bentak Damar masih tak menyerah dengan keyakinannya.
Dengan ini, dia juga bisa hemat pengeluaran, kan?
Nadine akhirnya mengangguk."Kalau gitu, ikut aku supaya aku kasih tahu ke mana larinya uang yang kamu maksudkan tadi..!"Ucapan sang istri langsung membuat Damar tersenyum bahagia.
Tapi beda pikiran Damar, beda pula yang direncanakan oleh Nadine.
Ibu muda beranak satu itu merencanakan mengajak Damar menuju sepiteng rumah kontrakan mereka.
Damar yang tidak curiga pun terus mengikuti langkah sang istri walau keningnya mengernyit saat disadarinya sang istri membawanya menuju sepiteng belakang rumahnya.
"Ke mana kamu akan membawaku Dek?"tanya Damar pada akhirnya."Kamu menanyakan uang nafkah tak layak yang kamu berikan kepadaku setiap bulannya bukan? Di sanalah aku menyimpannya!" jawab Nadine dengan menunjuk septic tank.Menyadari maksud wanita itu, Damar sontak murka!Rahangnya bahkan mengeras. "Kurang ajar! Kamu sengaja mempermainkanku? Awas aja kalau sampai aku menemukan di mana kamu meletakkan uang simpananmu itu! Sedikitpun, kamu tidak akan pernah bisa mengambilnya kembali jika sudah berada di tanganku!" ancam Damar penuh dengan kemarahan saat sang istri malah mempermainkan dirinya.
Namun, Nadine hanya mengendikan bahu santai. "Silakan cari kemanapun kamu mau! Kalau perlu, obrak-abrik saja seluruh isi rumah kontrakan ini!""Untuk apa aku menyimpan nafkah tak layak darimu itu kalau pada kenyataannya aku sendiri merasa kekurangan?"
Perkataan sarkas dari Nadine sedikit membuat Damar sadar. Tapi lagi-lagi egonya memaksanya untuk tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Nadine.
Oekkkk!Di tengah perdebatan mereka, putra kecil mereka yaitu Gibran, menangis kencang dari kamar mereka.
Tangis itu menghentikan perdebatan antara Nadine dan juga Damar.Tanpa memperdulikan pria itu, Nadine langsung lari tergopoh menyusul putranya yang tengah menangis.
"Dasar istri sialan, berani-beraninya mempermainkan ku! aku yakin kamu pasti menyimpan uang itu!" rutuk Damar dalam hati.Disusulnya Nadine yang menggendong Gibran, putra yang belum pernah sekalipun disentuh Damar.
Namun, entah mengapa kali ini dia ingin sekali menyentuh anaknya tersebut.
Ia ingin membuktikan bahwa perkataan ibunya yang mengatakan Gibran bukanlah anak kandungnya itu tidak benar.
Tangan itu spontan terulur ingin menggendong sang anak.Dengan seksama, dia memperhatikan garis wajah sang anak.
Wajah itu memperingat kannya dengan wajah kecil seseorang, tapi dia lupa seseorang itu siapa.
Garis alisnya yang tebal sangat mirip dengan miliknya.Rambutnya yang hitam dan sedikit ikal pun menurun darinya.
"Tapi wajahnya mirip siapa, ya?" batin Damar dalam hatinya.
Ada perasaan menghangat di hati Nadine saat Damar menyentuh putranya yang berusia 3 bulan untuk pertama kali.Seolah tahu jika yang menggendongnya adalah Ayah kandungnya, Gibran tertawa riang dan berceloteh ria.
Tangannya yang kecil menggapai-gapai wajah sang ayah.
Tapi, perasaan hangat keluarga kecil itu tiba-tiba sirna saat mendengar Damar mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan."Kata ibu, anak ini sama sekali tidak mirip denganku. Apakah benar jika dia bukan darah dagingku, Nadine?"Deg!
Jantung Nadine terasa tertikam.
Dia ingin berteriak di wajah suaminya dan mengatakan bahwa dirinya bukanlah wanita murahan.
Tapi, urung dilakukannya karena di antara mereka masih ada Gibran.
Nadine sangat takut jika akan menimbulkan trauma di diri bayi malang tersebut.
"Aku pastikan kamu akan menyesal suatu saat nanti dengan apa yang kamu pertanyakan saat ini, Mas!" ucap Nadine menahan emosi."Asal kamu tahu, benih yang tertanam di rahimku 100% darimu! Jika kamu memang meragukan Gibran adalah putramu, maka jatuhkanlah talakmu! Dengan senang hati, aku akan membawa jauh putramu dan aku tidak akan pernah meminta pertanggungjawabanmu satu rupiah pun!"Wajah Nadine memerah. Mungkinkah ini rencana Sang Pencipta memberikannya anak laki-laki? Gibran tidak membutuhkan wali saat dia dewasa nanti dan ingin menikah.
Di sisi lain, Damar terkesiap. Tapi, dia tak mau disalahkan!
"Kenapa kamu minta talak? Apakah benar apa yang dituduhkan oleh ibu kepadamu? Dasar wanita murahan! Lelaki mana yang sudah berhasil membuahimu sehingga melahirkan anak haram itu!" ucap pria itu lebih menyayat hati.
Damar bahkan meragukan kesetiaan Nadine sekarang dan darah dagingnya sendiri!
"Meskipun aku anak yatim piatu, aku pastikan aku bukan wanita tak bisa menjaga diri. Aku bersumpah tidak akan menelantarkan anakku sendiri dan akan menjamin hidupnya sampai dia sukses di kemudian hari!" kata Nadine tegas.
Air mata luruh di pipinya. "Damar Agung Prasetyo! Mohon dengan sangat, jatuhkan talakmu sekarang juga!"
"Aku akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka, dari kebutuhan perut dan juga kebutuhan pendidikan, akan aku dedikasikan apapun yang aku punya untuk mereka semua....!" lanjutnya."Kak..." Kata Nadine tak mampu berkata-kata lagi, Airmata menggenang di pelupuk matanya. Rasa haru yang luar biasa ia rasakan atas ketulusan Anan dalam mencintainya, tanpa syarat dan tanpa menuntut."Demi Alloh kak, aku rela melepasmu untuk kelanjutan zuriatmu...!" Kata-kata itu kembali meluncur setelah sekian lama cukup terdiam tanpa pembahasan."Ahhhhh...!" teriak Anan frustasi."Bunuh saja aku Nadine, Tancapkan pisau belati tepat di jantungku ini...!" Kata Anan dengan menunjuk jantungnya. Ia begitu frustasi dan putus asa saat wanita yang sangat di cintainya itu kembali mengatakan keinginan untuk berpisah darinya."Aku mohon sayang, jangan seperti ini, Aku sanggup kehilangan dunia beserta isinya, bahkan aku sanggup kehilangan kedua orangtuaku, tapi aku tak sanggup jika di paksa untuk menyakitimu, a
Ine menatap tajam ke arah Sari, hatinya merasa curiga dengan permintaan maaf dari sahabatnya itu,"Jangan katakan kalau kamu nggak bisa Dateng ya mbak, aku marah nih...!" kata Ine."Maaf...!" jawab Sari sekali lagi tanpa berani melanjutkan kata-katanya yang semakin membuat Ine penasaran dan sekaligus geram."Sudahlah mbak Ine, jangan maksa mbak Sari Dateng kalau emang dasarnya nggak bisa Dateng. Acaranya akan tetap berlangsung meskipun tanpa kehadiran mbak Sari." Kini Nadine yang menyahut."Maafin aku, tdi Damar bilang hari pernikahan kami, maksud saya hari ijab qobul pernikahan kami tepat di tanggal 27 bertepatan dengan acara 7 bulanan Ine...!" Sari menjelaskan dengan menunduk."Bukan keputusan kami Din, tapi itu adalah keputusan dari sesepuh kampungku yng di mintai tolong untuk memperhitungkan hari yang tepat untuk kami...!" lanjutnya penuh rasa bersalah."Apakah tidak bisa di tukar harinya mbak? satu hari saja...!" Ine masih mencoba untuk menego supaya Sari bisa ikut hadir di acaran
"Aku tak tahu meski berkata apa, kita jalani saja dulu, jika memang pada akhirnya takdir membawa kita dalam sebuah komitmen, kita bisa apa?"jawab Sari. "Kamu tidak berniat untuk mengingkari takdir kan?"tanya Damar. Sari pun menggelengkan sebagai jawaban atas pertanyaan Damar."Berikan aku waktu, aku pun butuh memahami apa yang terjadi di dalam sini, konyol nggak sih?"kata Sari kemudian. "Tergantung dari bagaimana kamu memandangnya...!"jawab Damar. "Kita ini hanya makhluk, ibaratnya kita ini hanyalah wayang yang siap untuk menerima peran kita, tentu saja tidak mampu untuk menolaknya, siapa pula kita...?"kata-kata Damar terdengar sangat bijak. Setelah itu mereka pun saling pulang ke rumah mereka masing-masing, setelah sebelumnya mereka saling bertukar nomor ponsel. ***** Tak terasa 2 minggu telah berlalu, kini tiba saatnya Nadine dan juga Anan untuk mengambil surat hasil dari pemeriksaan mereka dua minggu yang lalu. Dalam hati Nadine sangat berharap jika hasil tesnya adalah
"Kak ih... Aku nggak suka kakak bilang seperti itu...!" kata Nadine merajuk.Anan semakin mengeratkan pelukannya, tapi dalam hati di tak pernah menyesali kata-katanya barusan. Baginya cinta yang dia berikan untuk Nadine adalah cinta tak bersyarat. Cinta yang akan selalu apa adanya dan selalu menerima segala keadaan.Keesokan harinya, Sesuai keinginan Nadine mereka pun memeriksakan diri berdua ke dokter kandungan, jika Anan santai, beda halnya dengan Nadine.Entah mengapa hatinya diliputi rasa was-was yang sangat mendalam, hatinya gelisah karena dia terus terngiang-ngiang kata-kata dari sang suami."Bagaimana jika seandainya aku tak bisa memberikanmu keturunan kak?" Tanya Nadine tiba-tiba."Tak masalah...!" jawab Anan santai."Tapi kakak adalah anak tunggal dari Mama dan Papa...!" perkataan Nadine tak selesai karena di sanggah terlebih dahulu oleh Anan."Dan aku bukanlah seorang pangeran yang wajib memiliki penerus untuk sebuah kerajaan yang di pimpin, ku kira itu cukup untukku jadikan
Melihat Damar berlalu dengan rasa malu yang ditanggungnya membuat Sari sedikit merasa kasihan dan iba, tapi tak di pungkiri nya juga bahwa dirinya juga merasa jengah dengan tingkah absurd dari Nadine tersebut."Mbok ya sadar to mar, tak bisakah dirimu bermetamorfose menjadi lelaki baik seperti yang lainnya? andai kau itu normal seperti lelaki kebanyakan, mungkin aku akan bersedia menjadi pengganti Nadine...!"Batin Sari.Tapi setelahnya Sari pun langsung mengusap dadanya dan beristighfar berkali-kali karena fikiran konyolnya tersebut. setelah itu dia juga memukul-mukul kepalanya karena tak habis fikir bisa memiliki fikiran seperti itu."Sari Sari, kamu itu jangan ketularan tidak waras, Nadine saja dulu sampai tobat yang bukan soto babat menjadi istrinya,lah kok bisa-bisanya kamu memiliki fikiran menjadi istrinya. Eling Sari eling...!" gumamnya kemudian"Tapi kata pak ustadz kemaren, katanya jodoh tak ada yang tahu...!" katanya kemudian seolah membela diri atas pemikirannya tadi.*****
"Cukup saja lah, aku ingin segera menyelesaikan liburan kita, aku sudah rindu sama Gibran...!"kata Nadine sendu saat mengingat sang putra."Kita pulang besok pagi saja ya? di penerbangan awal...!" jawab Anan menanggapi keinginan sang istri.Nadine mengangguk menyetujui keinginan sang suami, dia cukup senang dan lega karena keinginannya langsung di iyakan dan tak di persulit.Pagi harinya, sesuai janji Anan kepada sang istri mereka pun bertolak dengan penerbangan pertama, tujuan yang awalnya ingin langsung ke tempat wisata yang lain berubah haluan dengan menjemput Gibran untuk di bawa turut serta bersama mereka. Anan pun tak merasa keberatan karena ritual bulan madu yang seharusnya di lakukan pun belum bisa mereka lakukan.Sesampainya di kediaman orangtua Nadine, Ibu Liliana dan suami di buat terkejut dengan kepulangan Nadine dan juga Anan yang tak sesuai jadwal."Aretha? kok kalian pulang cepat? ada apa? ada masalah kah?" tanya Ibu Liliana sudah mewakili kebingungan sang suami."Kami