Share

Bab 6

Penulis: Macan
Keesokan harinya, Lea mengambil cuti dari pekerjaannya.

Dia pergi ke sebuah kuil.

Di dekat ibu kota, ada sebuah kuil bernama Heros yang katanya sangat sakral.

Selama bertahun-tahun, Lea sudah berkali-kali datang ke sana.

Setiap kunjungan, dia selalu berlutut lama di depan altar.

Dia berdoa agar Maybell bisa tenang di alam sana.

Dia juga mendoakan Aaron agar selalu diberi kesehatan dan keselamatan.

Mungkin sekarang adalah kunjungan terakhirnya ke kuil itu.

Kali ini, dia berlutut di bawah pohon bodhi yang ada di halaman kuil.

Konon, siapa pun yang tulus, bisa meminta benda berharga dari kuil itu.

Menjelang malam, tiba-tiba turun hujan lebat.

Angin dingin dan air hujan menghantam tubuh Lea sampai dia merasa lemas dan pusing.

Seluruh tubuhnya terasa sangat nyeri, bahkan di udara sedingin itu, keringat dingin membasahi dahinya.

Lea terus gemetar hingga akhirnya dia muntah darah untuk pertama kalinya.

Meski begitu, Lea tetap bertahan berlutut sepanjang hari dan malam.

Saat pagi menjelang, seorang biksu melihat tubuhnya yang hampir tertimbun salju, lalu menghampirinya.

Barulah biksu itu sadar, ada bercak darah di tempat Lea berada.

"Amitaba, Anda tulus sekali, sedang memohon apa?"

Lea berdiri dengan wajah pucat dan langkah limbung. Dia menyatukan telapak tangannya, lalu memberi salam hormat.

"Aku memohon sepasang lilin panjang umur dan satu jimat keselamatan."

Konon katanya, lilin panjang umur kalau dinyalakan di depan altar orang yang sudah meninggal, bisa memberi berkah supaya arwahnya damai dan bahagia di kehidupan selanjutnya.

Begitu mendapat apa yang dicari, Lea langsung menuju kantor dengan tubuh yang masih gemetar.

Itu satu-satunya hal yang bisa dia tinggalkan untuk mereka sebelum dia benar-benar pergi.

Namun, dia tahu Aaron tidak akan mau menerima pemberian darinya. Jadi, dia hanya bisa diam-diam meletakkan lilin itu di meja kantornya saat istirahat siang, waktu tak ada orang.

Untuk jimatnya, dia berencana menyelipkannya di mobil Aaron nanti jika ada kesempatan.

Setelah turun, Lea tak langsung pulang. Dia ingin tahu apakah Aaron akan membawa pulang lilin tersebut. Jadi, dia menunggu di luar kantor sampai pria itu selesai kerja.

Jam enam lewat tiga puluh, Aaron akhirnya turun sambil membawa kantong berisi lilin pemberiannya.

Mata Lea sempat berbinar, tetapi langsung redup ketika melihat Aaron menyerahkan kantong itu pada asistennya sambil menunjuk ke satu arah.

Arah itu ... tempat sampah.

Lea buru-buru mengikuti si asisten.

Benar saja, Lea melihat orang itu berjalan ke arah tempat sampah dan bersiap melemparkan lilin panjang umur ke sana!

Lea langsung panik ketika melihat asisten itu hampir membuang lilin panjang umur. Dia cepat-cepat menghampiri dan menahannya. "Jangan dibuang!"

Begitu kantong itu kembali ke tangannya, Lea membukanya dan mendapati isinya kosong.

Lalu, dari belakang, suara dingin dan tajam milik Aaron menyusul. "Aku sudah curiga itu kamu."

Pikiran Lea langsung kacau. Dia perlahan berbalik dan melihat lilin itu masih ada di tangan Aaron.

Asisten yang tadi pun berlalu pergi.

Aaron mendekat sambil membawa lilin, nadanya terdengar kejam dan menusuk saat berbicara, "Apa yang kamu lakukan ini ... Kamu kira cukup untuk menebus kesalahanmu ke Maybell?"

"Aku cuma ingin kasih dia satu kenang-kenangan terakhir," jawab Lea lirih, suara gemetar, tak berniat membela diri.

Akan tetapi, tanpa ragu, Aaron mematahkan lilin itu di depan matanya.

"Jangan!"

Lea berusaha menghentikan, tetapi hanya bisa menyaksikan lilin itu patah jadi dua dan dibuang ke tempat sampah, seolah tak ada artinya.

Dalam gerakan itu, tak ada yang menyadari satu benda lagi jatuh dari kantong, yaitu sebuah jimat keselamatan.

Dengan cepat, Aaron menangkapnya. Begitu melihat bentuknya, dia tahu itu jimat keselamatan.

Lea menggenggam tangannya erat, gugup.

Namun, yang terdengar justru suara Aaron, yang lagi-lagi penuh ejekan dan kebencian.

"Setiap hari ngomong soal penyesalan, soal menebus dosa ... tapi malah nyari keselamatan buat diri sendiri? Kamu memang, dari dulu, cuma takut mati."

Aaron tertawa sinis, lalu melempar jimat itu begitu saja.

Jimat itu jatuh tepat ke genangan air di tanah.

"Kamu pikir kamu pantas dapat keselamatan? Seumur hidupmu seharusnya penuh penderitaan."

Setelah itu, Aaron pun pergi. Dingin, tegas, tanpa menoleh.

Tinggallah Lea yang berdiri membeku.

Lea memandangi dua benda yang dia perjuangkan sepenuh hati terbuang begitu saja.

Seperti hidupnya yang pada akhirnya ... tak lebih dari mimpi besar yang tak pernah jadi kenyataan.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 25

    Satu keluarga itu berkendara ke utara. Masih ada waktu sebelum hari pernikahan, jadi mereka sambil berjalan sambil berwisata. Saat kuliah dulu, Lea sangat iri pada teman-teman yang bisa bepergian ke mana-mana karena sebagai anak yatim piatu, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susah payah.Walaupun hubungannya dengan Maybell sangat baik, Lea tetap merasa tidak enak hati menerima ajakan jalan-jalan yang sepenuhnya ditanggung orang lain.Kondisi tubuh Lea sudah pulih dengan baik. Saat melewati provinsi yang terkenal dengan pegunungan, Berg juga mengajak Seline dan dia mendaki gunung. Walaupun prosesnya sangat melelahkan, tetapi ketika berdiri di puncak, mereka merasa sangat lega dan lapang.Rasanya seperti kehidupan baru yang dijalaninya selama setengah tahun terakhir.Setelah tiba di ibu kota, Brielle dengan antusias menjemput mereka ke vila kecil yang mereka beli dengan cara mencicil. Selama beberapa tahun terakhir, Gino bekerja sebagai sales di perusahaan Aaron dan kariernya berkemban

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 24

    "Belum secepat itu. Dokter menyarankan agar aku tetap tinggal di ibu kota selama setengah bulan lagi. Kalau hasil pemeriksaan ulang nggak ada masalah, barulah bisa dibilang sembuh."Aaron mengangguk pelan.Tatapan Aaron terus jatuh di wajah Lea, seolah tidak pernah merasa bosan melihatnya. Ia menatap dengan ekspresi sedih dan murung, seakan ingin mengukir wajah itu dalam-dalam. Lea mengulurkan tangan, menarik tangan Aaron yang mengenakan jam, lalu perlahan membuka pengaitnya dan memandangi luka yang mengerikan itu.Seakan sisi dirinya yang paling buruk terbuka di hadapan gadis itu. Pada saat itu, Aaron justru merasa takut. Aaron ingin menarik kembali tangannya, tetapi Lea menggenggam erat pergelangannya. Tatapan matanya terasa nyata, panasnya seolah membakar sampai ke tulang."Kenapa kamu melakukan ini?""Karena aku membenci diriku sendiri," ucap Aaron lirih. "Kalau bukan karena aku, selama ini kamu nggak akan menderita sebanyak ini."Lea tersenyum dan melepaskan genggamannya."Aaron,

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 23

    Kakak perempuan Berg dulu meninggalkan posisinya yang dengan susah payah ia raih tanpa ragu sedikit pun, lalu pergi bergabung dengan militer dan menjadi dokter tentara. Ia tidak peduli meski harus memutuskan hubungan dengan keluarganya. Brielle selalu menganggap kakaknya sangat berani, jadi ketika mendengar kabar kematian sang kakak, Brielle merasa sedih untuk waktu yang cukup lama."Kakakku memilih jadi dokter tentara karena suaminya adalah seorang tentara. Seline adalah anak mereka. Nggak lama setelah suaminya meninggal, Seline pun dititipkan padaku."Barulah sekarang Brielle tahu kebenarannya. Mendengar kisah seberat itu membuat hatinya ikut sedih. Ia melirik ke arah Seline yang sedang diam berbaring di samping Lea di ruang rawat."Sekarang, Lea sudah merawat Seline dengan sangat baik, bukan?" Berg tersenyum ringan. "Nggak perlu merasa kasihan padanya. Sekarang, dia sudah punya ibu yang sangat baik dan ke depannya juga akan punya ayah yang baik, yaitu aku. Meskipun Seline mungkin su

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 22

    Brielle memandang sisi rapuh yang diperlihatkan oleh Aaron dengan bingung. Entah kenapa, dia benar-benar tidak ingin melihat Aaron yang begitu sedih dan putus asa. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kata-kataku ini agak lancang, Pak Aaron, tapi apa Anda pernah berpikir untuk menjelaskan semuanya dengan baik pada Kak Lea? Apa mungkin Seline adalah anak Anda?""Bukan." Aaron tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Andai saja memang begitu."Brielle masih terlalu muda. Dia tidak bisa memahami betapa dalamnya penderitaan dan penyesalan yang tersembunyi di balik helaan napas itu, penyesalan yang akan dibawa Aaron sepanjang hidupnya dan yang takkan pernah bisa dia maafkan pada dirinya sendiri."Patah tulang," ucap dokter setelah membuat diagnosa awal terhadap cedera Aaron, lalu melirik wajahnya. "Kamu masih demam, ya?"Dokter mengulurkan tangan untuk meraba dahinya, tetapi Aaron dengan sopan menahan tangan itu. Dia tahu demamnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat dini hari tadi

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 21

    "Kak!" Terdengar teriakan panik Brielle dari arah tangga. Suaranya bergetar seperti sedang menangis. Dia berlari sambil menggendong Seline yang jelas-jelas sudah pingsan. "Kak, Seline tiba-tiba pingsan!""Tenang," kata Berg dalam hati meski pikirannya kosong. Dia menatap Brielle yang kehabisan tenaga sampai berlutut di depannya serta Seline yang wajahnya merah dan tidak sadarkan diri, sambil terus mengulang dalam hati, "Aku harus tetap tenang."Aaron sepertinya memang belum pergi dari sekitar situ. Begitu mendengar teriakan Brielle, dia langsung berjongkok dan memperhatikan wajah Seline yang merah padam. "Brielle? Jangan menangis! Ini rumah sakit. Ayo, ikut aku ke bagian IGD!""Brielle." Berg membuka pakaian bagian perut Seline dan melihat ruam merah besar di sana. Tiba-tiba dia sadar. "Kamu tadi ajak Seline makan apa?"Kakak perempuan Berg memiliki riwayat alergi, tetapi sebelumnya Seline tidak pernah menunjukkan gejala alergi terhadap apa pun. Karena itu, Berg dan Lea tidak terlalu w

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 20

    Semalam, Aaron bermimpi buruk. Mimpi yang terasa sangat tidak menguntungkan. Saat cahaya pagi baru mulai muncul, dia pun terbangun. Di luar jendela dinginnya seperti sedang melewati zaman es, suhu musim hujan yang puluhan derajat di bawah nol. Dia membuka jendela, membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya tanpa ampun.Seolah-olah itu adalah bentuk hukuman untuk dirinya sendiri.Aaron sangat iri pada Berg. Berg bisa berdiri di sisi Lea dengan terang-terangan, menemaninya melewati berbagai masa sulit, dan membesarkan seorang anak yang manis dan menggemaskan bersama. Itu adalah impian yang sangat dia dambakan saat masih muda, tetapi sekarang sudah mustahil terwujud.Dalam mimpinya, bibir lembut yang pernah Aaron cium berkali-kali, kini mengucapkan kata-kata dingin dan penuh penolakan."Aaron, kamu mau membuatku mati untuk kedua kalinya, ya? Kalau kamu mendekat lagi, aku nggak akan menjalani operasi ini.""Seperti keinginanmu, aku akan mati sekali lagi di depanmu."Wajah Aaron tampak pucat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status