Share

Bab 7

Penulis: Macan
Lea memungut jimat keselamatan yang sudah basah.

Aaron tidak tahu, di dalamnya tersembunyi secarik kertas kecil yang diam-diam Lea selipkan.

[Semoga Aaron selalu aman, bahagia, dan segalanya berjalan lancar.]

Namun, tulisan tangan itu telah luntur terkena air. Bentuk aslinya sudah tak terlihat lagi.

Rasa amis dan anyir langsung memenuhi tenggorokan, Lea menahan air mata dan memaksa menelannya kembali.

...

Tiga hari kemudian, Lea kembali bekerja di kantor.

Meski luka luar akibat kecelakaan mobil hampir sembuh, kanker lambungnya justru makin parah.

Saat Berg datang menjenguk ke rumah Lea, dia sudah mencoba membujuk Lea berkali-kali, tetapi tetap tak bisa menghentikannya.

Malam itu, Aaron kembali mengajaknya menghadiri jamuan minum.

Orang-orang lain berusaha keras menuangkan minuman untuknya dan Lea pun tak menolak sama sekali.

"Bu Lea sangat kuat, ya. Benaran wanita luar biasa!"

Perut Lea terasa perih seperti terbakar dan di tengah keramaian itu, Aaron hanya diam menatapnya.

Seperti biasa, dari awal sampai akhir, Lea terus minum.

Menjelang akhir acara, diam-diam Lea pergi ke toilet untuk menelan dua butir obat.

Dengan menahan sakit, Lea kembali ke ruang VIP, tetapi mendapati semuanya sudah pulang.

Aaron sudah pergi dan Lea pun tak kaget lagi. Lea mengira pria itu kembali meninggalkannya sendirian. Jadi, Lea diam-diam berjalan keluar berniat pulang dan naik taksi.

Begitu menjejakkan kaki di luar klub, angin dingin langsung menusuk tulangnya.

Lampu-lampu mobil di kejauhan tampak buram di matanya yang sedikit mabuk.

Tanpa sadar, Lea melangkah ke tengah jalan sambil mengangkat tangan ingin menyetop mobil.

"Bip, bip!"

Sebuah mobil melaju kencang. Klaksonnya meraung keras saat melihat sosok yang tiba-tiba muncul.

Langkah Lea terlalu lambat. Saat mobil itu nyaris menabraknya, sebuah tangan tiba-tiba menariknya kembali ke tepi jalan.

Napas hangat menyelimuti tubuhnya.

Begitu menoleh, yang dilihatnya adalah sorot mata tajam Aaron. "Kamu mau kecelakaan lagi?"

Lea terpaku. Otaknya mendadak kosong.

Mereka berdiri sangat dekat. Lea tiba-tiba teringat peristiwa bertahun-tahun lalu, saat beberapa klub kampus mengadakan acara bersama di pantai.

Itu pertama kalinya Lea melihat laut. Dia sangat bersemangat dan pergi mencari kerang di pinggir pantai.

Tanpa sengaja, seekor kepiting menjepit kakinya, membuatnya nyaris terjatuh.

Aaron langsung menahan dan menariknya ke pelukannya. Karena dorongan tubuh, bibir mereka pun bersentuhan.

Lalu, ciuman itu makin dalam, napasnya pun makin berat.

Saat yang lain sibuk menikmati ombak, tak ada yang tahu si siswa paling keren di kampus sedang mencium Lea dengan begitu liar.

Desiran angin laut, nyala api unggun, kehangatan sahabat, dan sisa-sisa masa muda yang mulai memudar.

Dalam kebersamaan yang penuh tawa dan cerita, Lea akhirnya bisa meluapkan perasaan cinta yang lama dipendam.

Tanpa Lea sadari, momen itu adalah puncak kebahagiaannya.

Lea tidak tahu apakah Aaron juga dilanda nostalgia karena pria itu terus menggenggam tangannya tanpa niat melepas.

Namun, suasana tenang itu pecah ketika suara marah terdengar dari belakang.

Chloe datang menjemput Aaron. Dia melihat apa yang sedang terjadi. "Kalian sedang apa?"

Aaron seolah baru sadar dari lamunannya. Dia mendorong Lea menjauh. Untuk sesaat, tampak ekspresi rumit di wajahnya.

Aaron tidak menjelaskan apa-apa, hanya berkata pada Chloe, "Nggak ada apa-apa, ayo kita pergi."

Chloe menatap Lea dengan penuh rasa tidak suka, lalu pergi sambil menggandeng Aaron.

Lea masih berdiri di tempat, bingung antara mabuk atau terjebak dalam kenangan yang tak mau pergi.

Akhirnya, Berg datang menjemputnya dan membawa pulang gadis yang sudah tidak sepenuhnya sadar itu.

Tengah malam, saat baru saja sampai rumah, Lea menerima pesan di ponselnya.

[Teman-teman di ibu kota, hari Sabtu ini kita kumpul di Agora yuk!]

Dalam daftar panjang yang disebut, Lea melihat namanya sendiri dan juga nama Aaron.

Sekarang, hubungan mereka hanya tinggal berupa dua nama yang kebetulan muncul berdampingan dalam pesan grup.

Obrolan grup pun jadi riuh.

Semua orang tampak bersemangat, seolah kembali ke masa setelah lulus, ketika mereka masih berat berpisah.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 25

    Satu keluarga itu berkendara ke utara. Masih ada waktu sebelum hari pernikahan, jadi mereka sambil berjalan sambil berwisata. Saat kuliah dulu, Lea sangat iri pada teman-teman yang bisa bepergian ke mana-mana karena sebagai anak yatim piatu, ia hanya bisa bertahan hidup dengan susah payah.Walaupun hubungannya dengan Maybell sangat baik, Lea tetap merasa tidak enak hati menerima ajakan jalan-jalan yang sepenuhnya ditanggung orang lain.Kondisi tubuh Lea sudah pulih dengan baik. Saat melewati provinsi yang terkenal dengan pegunungan, Berg juga mengajak Seline dan dia mendaki gunung. Walaupun prosesnya sangat melelahkan, tetapi ketika berdiri di puncak, mereka merasa sangat lega dan lapang.Rasanya seperti kehidupan baru yang dijalaninya selama setengah tahun terakhir.Setelah tiba di ibu kota, Brielle dengan antusias menjemput mereka ke vila kecil yang mereka beli dengan cara mencicil. Selama beberapa tahun terakhir, Gino bekerja sebagai sales di perusahaan Aaron dan kariernya berkemban

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 24

    "Belum secepat itu. Dokter menyarankan agar aku tetap tinggal di ibu kota selama setengah bulan lagi. Kalau hasil pemeriksaan ulang nggak ada masalah, barulah bisa dibilang sembuh."Aaron mengangguk pelan.Tatapan Aaron terus jatuh di wajah Lea, seolah tidak pernah merasa bosan melihatnya. Ia menatap dengan ekspresi sedih dan murung, seakan ingin mengukir wajah itu dalam-dalam. Lea mengulurkan tangan, menarik tangan Aaron yang mengenakan jam, lalu perlahan membuka pengaitnya dan memandangi luka yang mengerikan itu.Seakan sisi dirinya yang paling buruk terbuka di hadapan gadis itu. Pada saat itu, Aaron justru merasa takut. Aaron ingin menarik kembali tangannya, tetapi Lea menggenggam erat pergelangannya. Tatapan matanya terasa nyata, panasnya seolah membakar sampai ke tulang."Kenapa kamu melakukan ini?""Karena aku membenci diriku sendiri," ucap Aaron lirih. "Kalau bukan karena aku, selama ini kamu nggak akan menderita sebanyak ini."Lea tersenyum dan melepaskan genggamannya."Aaron,

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 23

    Kakak perempuan Berg dulu meninggalkan posisinya yang dengan susah payah ia raih tanpa ragu sedikit pun, lalu pergi bergabung dengan militer dan menjadi dokter tentara. Ia tidak peduli meski harus memutuskan hubungan dengan keluarganya. Brielle selalu menganggap kakaknya sangat berani, jadi ketika mendengar kabar kematian sang kakak, Brielle merasa sedih untuk waktu yang cukup lama."Kakakku memilih jadi dokter tentara karena suaminya adalah seorang tentara. Seline adalah anak mereka. Nggak lama setelah suaminya meninggal, Seline pun dititipkan padaku."Barulah sekarang Brielle tahu kebenarannya. Mendengar kisah seberat itu membuat hatinya ikut sedih. Ia melirik ke arah Seline yang sedang diam berbaring di samping Lea di ruang rawat."Sekarang, Lea sudah merawat Seline dengan sangat baik, bukan?" Berg tersenyum ringan. "Nggak perlu merasa kasihan padanya. Sekarang, dia sudah punya ibu yang sangat baik dan ke depannya juga akan punya ayah yang baik, yaitu aku. Meskipun Seline mungkin su

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 22

    Brielle memandang sisi rapuh yang diperlihatkan oleh Aaron dengan bingung. Entah kenapa, dia benar-benar tidak ingin melihat Aaron yang begitu sedih dan putus asa. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin kata-kataku ini agak lancang, Pak Aaron, tapi apa Anda pernah berpikir untuk menjelaskan semuanya dengan baik pada Kak Lea? Apa mungkin Seline adalah anak Anda?""Bukan." Aaron tersenyum pahit dan menggelengkan kepala. "Andai saja memang begitu."Brielle masih terlalu muda. Dia tidak bisa memahami betapa dalamnya penderitaan dan penyesalan yang tersembunyi di balik helaan napas itu, penyesalan yang akan dibawa Aaron sepanjang hidupnya dan yang takkan pernah bisa dia maafkan pada dirinya sendiri."Patah tulang," ucap dokter setelah membuat diagnosa awal terhadap cedera Aaron, lalu melirik wajahnya. "Kamu masih demam, ya?"Dokter mengulurkan tangan untuk meraba dahinya, tetapi Aaron dengan sopan menahan tangan itu. Dia tahu demamnya disebabkan oleh penyalahgunaan obat dini hari tadi

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 21

    "Kak!" Terdengar teriakan panik Brielle dari arah tangga. Suaranya bergetar seperti sedang menangis. Dia berlari sambil menggendong Seline yang jelas-jelas sudah pingsan. "Kak, Seline tiba-tiba pingsan!""Tenang," kata Berg dalam hati meski pikirannya kosong. Dia menatap Brielle yang kehabisan tenaga sampai berlutut di depannya serta Seline yang wajahnya merah dan tidak sadarkan diri, sambil terus mengulang dalam hati, "Aku harus tetap tenang."Aaron sepertinya memang belum pergi dari sekitar situ. Begitu mendengar teriakan Brielle, dia langsung berjongkok dan memperhatikan wajah Seline yang merah padam. "Brielle? Jangan menangis! Ini rumah sakit. Ayo, ikut aku ke bagian IGD!""Brielle." Berg membuka pakaian bagian perut Seline dan melihat ruam merah besar di sana. Tiba-tiba dia sadar. "Kamu tadi ajak Seline makan apa?"Kakak perempuan Berg memiliki riwayat alergi, tetapi sebelumnya Seline tidak pernah menunjukkan gejala alergi terhadap apa pun. Karena itu, Berg dan Lea tidak terlalu w

  • Biarlah Kita Berakhir di Sini   Bab 20

    Semalam, Aaron bermimpi buruk. Mimpi yang terasa sangat tidak menguntungkan. Saat cahaya pagi baru mulai muncul, dia pun terbangun. Di luar jendela dinginnya seperti sedang melewati zaman es, suhu musim hujan yang puluhan derajat di bawah nol. Dia membuka jendela, membiarkan hujan jatuh membasahi dirinya tanpa ampun.Seolah-olah itu adalah bentuk hukuman untuk dirinya sendiri.Aaron sangat iri pada Berg. Berg bisa berdiri di sisi Lea dengan terang-terangan, menemaninya melewati berbagai masa sulit, dan membesarkan seorang anak yang manis dan menggemaskan bersama. Itu adalah impian yang sangat dia dambakan saat masih muda, tetapi sekarang sudah mustahil terwujud.Dalam mimpinya, bibir lembut yang pernah Aaron cium berkali-kali, kini mengucapkan kata-kata dingin dan penuh penolakan."Aaron, kamu mau membuatku mati untuk kedua kalinya, ya? Kalau kamu mendekat lagi, aku nggak akan menjalani operasi ini.""Seperti keinginanmu, aku akan mati sekali lagi di depanmu."Wajah Aaron tampak pucat.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status