LOGINDinda menguap keras saat baru menutup pintu rumah. Melihat Ira tengah sibuk merapikan kain jahitan, ia pun menghampiri. Langsung berbaring di lantai, di depan mesin jahit.“Mandi, tidur,” ucap Ira sambil melipat beberapa kain yang sudah dipotongnya, “sudah makan belum?”Dinda kembali menguap, mengangguk pelan. Ia bingung, bagaimana harus memberitahu perihal rumah yang sudah lengkap dengan isinya pada Ira. Bisa-bisa, Ira meminta Dinda untuk tidak menempati rumah tersebut, jika tahu Altaf yang membeli seluruh isi di dalamnya. “Bu, nggak usah nerima jahitan lagi, ya,” pinta Dinda menatap Ira dengan mata yang berat, “selesai pesanan yang ini, kita pindah biar nggak ada tanggungan. Atau, nanti kita pasang aja di depan kalau ibu pindah rumah. Jadi, langganan Ibu bisa datang ke rumah baru kalau mau jahit baju.”“Kalau kamu kerja, Ibu gimana? Kesepian, nggak ada tetangga.”Dinda menghela panjang saat mendengar alasan yang sama dari ibunya. “Terus gimana? Kerjaanku juga makin banyak. Kalau bo
Dinda mendorong pagar rumahnya lalu masuk untuk memarkirkan motor di carport. Setelah menutup dan mengunci pagar kembali, ia terdiam. Pandangannya tertuju pada rumah impiannya yang selesai direnovasi, dan terasa jauh lebih hidup dari sebelumnya.Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor, Dinda sengaja mampir untuk melihat langsung hasil akhirnya. Selama proses renovasi, ia hanya menerima foto dan video dari Altaf serta tukang. Selebihnya, inilah pertama kalinya ia benar-benar menginjakkan kaki kembali ke rumah itu.Beban pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini membuat Dinda nyaris tidak punya waktu luang. Bahkan untuk sekadar menyempatkan untuk melihat tempat yang sudah lama ia impikan. Kini, Dinda berdiri di hadapan rumahnya sendiri dengan rasa bangga yang menghangatkan dada, meski harus menyicil beberapa tahun lagi. Akan tetapi, saat menyadari jendela ruang tamunya tertutup gorden dari dalam, Dinda pun buru-buru membuka pintu rumah dan terpaku. Dinda menahan napas saat matanya menangk
“Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is
Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p
“Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt
“Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk







