Share

113~BC

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-11-13 22:40:24

“Papa sudah ketangkap minggu kemarin,” lapor Ciara pada Briana saat menjenguk wanita itu.

Saat ini, satu-satunya yang menjadi support system Ciara hanyalah Briana seorang. Meski perbuatan mamanya tidak bisa dibenarkan, tetapi ia tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa wanita itu tetap ibunya. Ada bagian dalam dirinya yang masih ingin memeluk, meski yang lain sangat membencinya.

“Aku cuma dibolehin ketemu satu kali sama mas Al,” lanjut Ciara, “itu pun aku mohon-mohon dulu sama dia karena mas Al ngelarang kami untuk nemui papa.”

“Akhirnya …” Briana tidak bisa berkata banyak. Saat ini, ia benar-benar muak dengan sikap Kiano. Terlebih, ketika pria itu kabur dan dengan tega mengambil simpanan milik Ciara, anaknya sendiri. “Tapi, Altaf benar. Kalian nggak perlu lagi temui papamu. Dia benar-benar sudah mengecewakan kita semua.”

“Mama juga sudah ngecewain aku, tapi aku tetap ke sini buat jenguk Mama.”

Briana menatap datar pada Ciara. Ada sesak yang tidak bisa terungkap, karena kini
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (28)
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Hmmm Jgn nekat Deh Al ngga berkah klo ibu Naifa ngga restuin
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Kan kan kena lagi kamu Bias makanya jagn bawel cukup nyimak aja napah haha
goodnovel comment avatar
virna putri
Duh jangan nekat dong nanti ibu nya tambah murka.. tp gmn ya drpd tjd hal2 yg mengenakan duluan heheh.. bisa aja khilaf kannnn.. siapapun jodohnya althaf smg klrga nya bisa menerima althaf dgn kondisinya yg skrg.. bisa mensupport.. pasangan bucin ayok pulang, pamer mesra ana bikin mupeng xixi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

  • Bias Cinta   128~BC

    Altaf tersenyum kecil setelah menutup pintu mobilnya. Dengan segera ia menghampiri Raksa, yang baru menghentikan motor sport-nya di depan pagar. “Kirain sudah datang, Mas,” sapa Altaf setelah Raksa membuka helm full face-nya. Raksa menghela sejenak, sambil mengacak-acak rambutnya. “Ada sedikit trouble di kantor, makanya aku baru sampe.” Telunjuknya kemudian mengarah ke pagar. “Ranu sudah tau kamu datang?”“Belum,” jawab Altaf, “barusan mau telpon, tapi aku lihat kamu duluan.”“Aku buka pagar bentar kalau gitu.” Raksa meletakkan helmnya di tangki motor, lalu pergi membuka pagar. “Mobilmu bawa masuk nggak?”“Di depan aja, Mas.”“Oke.” Raksa membawa motornya ke carport, sekaligus mempersilakan Altaf masuk. “Aku harap semuanya selesai setelah ini. Kalian bisa nikah dan bahagia.”“Bu Naifa nggak ada cerita apa-apa?” tanya Altaf, berharap ada informasi lain yang diberikan Raksa. Sesuatu yang bisa membuat perasaannya sedikit lega. Raksa menggeleng. Menunggu Altaf menutup pagar, sementara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status