MasukAltaf menutup pintu ruang rawat Ciara dari luar, membiarkan adiknya sarapan dengan tenang di kamarnya. Kemudian, ia beranjak duduk di sebelah Ranu yang sudah menunggunya di kursi panjang. Belum ada kemajuan berarti dalam hubungan mereka, tetapi keduanya sepakat untuk tetap menjaga kesan baik-baik saja di mata orang lain.“Di mana Ciara tinggal setelah keluar dari rumah sakit?” tanya Ranu lebih dulu bersuara. Namun, tatapannya lurus ke depan tanpa melihat Altaf.“Untuk sementara, aku berencana sewa perawat untuk ngawasin dia di apartemen,” jawab Altaf menatap Ranu dengan sesak yang semakin menghimpit dada, “karena dia juga harus ke psikiater, jadi, aku rasa harus ada tenaga profesional yang ada di sampingnya.”Ranu menghela pelan dan panjang. Ada sedikit rasa lega karena masalah Ciara sudah ada jalan keluarnya.“Bagaimana dengan Farhan?” tanya Ranu lagi.“Dia tetap tinggal sama Cia.”Lagi, Ranu membuang napas dengan ritme yang sama. Namun, kali ini ia tidak memberi komentar apa pun.
Setelah berpisah dengan Felix, senyum Dinda benar-benar tidak bisa ditahan. Terus saja mengembang, sampai-sampai ia harus melipat bibirnya rapat-rapat agar orang-orang tidak menganggapnya gila karena tersenyum sendiri di sepanjang jalan. Namun, sepertinya percuma saja. Setiap kali Dinda teringat cara Felix menatapnya dan obrolan receh mereka yang selalu menimbulkan tawa, senyum itu kembali lolos begitu saja.Jangan-jangan, Dinda memang sudah gila. “Abang!” Kedua mata Dinda melebar seketika, saat melihat Raksa tahu-tahu muncul tepat di hadapannya. Ia sedang berdiri di depan lift, menunggu pintunya terbuka. “Ngagetin!”“Kamu ada hubungan dengan pak Felix?” tanya Raksa tanpa basa-basi dan tegas. “Aku lihat jelas waktu kamu megang tangannya.”Dinda baru saja ingin menjawab dengan meninggikan nada bicaranya, tetapi ia segera menghela kecil. Tetap tersenyum dan profesional.“Memangnya kenapa kalau saya ada hubungan dengan pak Felix?” Dinda bertanya balik. “Saya single, pak Felix juga sing
“Benar, istriku meninggal hampir delapan tahun yang lalu,” ucap Felix tenang saat menjawab pertanyaan pertama Dinda, “tapi, enam bulan sebelumnya kami sudah resmi bercerai dengan proses yang lumayan panjang dan melelahkan.”“Sekali lagi maaf, tapi … kenapa sampai cerai?” tanya Dinda hati-hati, karena masalah ini cukup sensitif. Meski sudah mengetahui hal tersebut dari Alma, tetapi tidak lega rasanya jika tidak mendengar langsung dari mulut pria itu.“Nggak perlu minta maaf,” ujar Felix, “semua pertanyaan ini wajar untuk dilontarkan. Lebih baik semua terbuka sejak awal dan kamu tau langsung dari aku.”“Tapi tetap aja nggak enak kalau nggak minta maaf,” ucap Dinda meringis kecil. “Kalau begitu minta yang lain aja.”Dinda mengerut dahi. “Minta apa?”“Minta dinikahi, misalnya.”Dinda langsung menutup wajah dengan kedua tangan. Menutup mulutnya yang hendak tertawa lepas dan keras. Air matanya pun sudah membasahi kedua mata, karena lagi-lagi ucapan receh Felix membuatnya nyaris kehabisan k
“Tante Alma sama om Danuar tadi malam ke sini,” ucap Altaf ketika Ciara tengah menyantap bubur untuk sarapan paginya, “tapi kamu tidur, jadi, mereka titip salam aja.”“Cuma mereka berdua?” “Jangan berharap lebih,” balas Altaf tegas lalu mengalihkan topik obrolan karena ia tahu apa yang Ciara maksud, “kalau kamu sudah sehat, aku mau kamu pergi ke psikolog. Ranu lagi nyari yang dekat dengan apartemen, biar nggak terlalu jauh.”Altaf melihat jam tangannya. Sejak tadi, ia menunggu Ranu yang rencananya akan datang bersama Naifa dan Raksa. “Aku cuma nanya, nggak berharap lebih.”“Dan nggak perlu ditanyakan juga.”Selera makan Ciara hilang seketika. Ia meninggalkan buburnya yang masih tersisa separuh, lalu kembali berbaring. “Harusnya, aku nggak perlu dibawa ke rumah sakit. Biarin aja mati sekalian.”“Jaga bicaramu, Cia.”Ciara berbalik, memunggungi Altaf. Air matanya langsung menitik tanpa bisa ditahan lagi. “Sekarang, sudah nggak ada lagi yang peduli sama aku. Nggak ada lagi yang sayang
“Makan dulu, Mas,” ujar Ranu sudah menyiapkan seporsi nasi padang di meja. Tadinya ia datang bersama Raksa, tetapi pria itu tidak bisa berlama-lama karena harus segera pergi ke kantor. Ranu juga sudah menyampaikan, jika Naifa belum bisa datang menjenguk Ciara karena masih kelelahan. Mungkin, wanita itu akan menjenguk esok hari. “Dari pagi Mas belum makan. Jangan sampe ada dua orang yang dirawat di rumah sakit.”Mau tidak mau, Altaf menurut meski tidak berselera makan sama sekali. Masalahnya dengan Ranu belum selesai, kini ia pun harus mengurusi Ciara.“Makasih,” ucap Altaf sudah duduk di kursi berhadapan dengan Ranu, “kamu nggak makan?”“Aku masih kenyang,” jawab Ranu kemudian beranjak menuju kursi yang ada di samping ranjang pasien. “Makanlah dulu, habis itu aku mau pulang beresin koper karena kita nggak jadi pergi. Nanti sore, aku ke sini lagi bawain baju sama perlengkapan buat Mas nginap.”Altaf mengangguk pelan sambil menyuap makanannya. Hati benar-benar terasa sesak. Penuh rasa
“Saya … pikir-pikir dulu, Pak,” jawab Dinda tanpa ragu. Dalam hal seperti ini, ia memang tidak akan segan memperjelas semuanya dari awal. Jika suka, Dinda pasti akan langsung menyambutnya. Jika tidak, ia juga tidak akan segan menolaknya seperti Raksa. Namun, untuk kasus Felix, hati Dinda masih diliputi keraguan. Ia tidak bisa menolak, tetapi tidak juga bisa langsung menerima. Secara materi, Felix sudah sangat-sangat memenuhi kriteria Dinda. Untuk penampilan, juga tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, obrolan receh mereka pun selalu nyambung dan seolah tidak ada habisnya. Terkadang, justru Dindalah yang kehabisan kata untuk menghadapi pria matang itu.Namun, status duda beranak satu itulah yang membuat Dinda harus berpikir ulang. Baginya, jika di awal hubungan saja sudah ribet, bagaimana nanti ke depannya?“Kenapa saya harus mikir dulu? karena ada beberapa pertimbangan. Salah satunya, Bapak sudah punya anak,” sambung Dinda menambahkan.“Salah lainnya?” tanya Felix mengangguk paham dan







