Share

5~BC

Author: Kanietha
last update Huling Na-update: 2025-08-23 16:55:48

Bias berjalan pelan menyusuri ruang tamu keluarga Naratama. Terus melangkah memasuki ruang tengah dan berhenti di sana. Ia kembali melihat ke sekeliling dengan seksama. Memperhatikan setiap foto yang tergantung di dinding rumah.

Akhirnya, kini ia menyadari ada sesuatu yang aneh.

Dari semua foto yang terpajang dari ruang tamu hingga ruang keluarga, tidak ada satu pun sosok Cinta ada di dalamnya.

Bias mengusap kasar wajahnya. Pasti ada yang salah dengan keluarga Naratama.

Mengapa hal seperti ini tidak disadarinya sejak awal?

“Loh, Bi,” Briana terburu menuruni tangga, karena asisten rumah tangganya menyampaikan Bias datang seorang diri. “Kan, Cia masih di resto.”

“Saya tau, Tan,” ucap Bias segera menyalami Briana. “Saya ke sini mau cari Cinta. Ada yang harus kami bicarakan.”

“Cinta ...” Briana mengerjap. Menoleh pelan, ke kiri dan ke kanan. “Tapi, Cinta jam segini pasti ada di kantor. Kan, dia kerja.”

“Dia sudah dua hari nggak masuk kantor.” Bias melihat gelagat Briana yang mencurigakan.

“Ooh ...” Briana memaksakan tawanya. “Mungkin ... di kamarnya. Mungkin izin.”

“Bibik bilang Cinta nggak di rumah.”

“Nggak di rumah?” Briana menghela dan tetap memasang senyum pada Bias. “Mungkin, dia lagi di tempat temannya.”

“Dia nggak izin? Nggak ngasih kabar?” cecar Bias tenang.

“Ah, Cinta itu memang seperti itu,” jawab Briana mempersilakan Bias duduk lebih dulu. “Dia suka semaunya dan nggak pernah peduli dengan orang rumah. Keluar masuk sesukanya. Nggak mau diatur dan nggak punya tanggung jawab.”

Bias mengangguk pelan setelah duduk di sofa. Ia tidak berkomentar karena harus memikirkan beberapa hal.

“Tapi, apa yang mau kalian bicarakan?” selidik Briana.

“Masalah malam itu, Tan,” jawab Bias. “Saya harus minta keterangan detail dari Cinta karena kami belum sempat bicara banyak.”

“Kalau itu, Tante nggak bisa bantu,” ujar Briana. “Soalnya Tante juga nggak ngerti dia ada di mana sekarang. Pokoknya susah bicara sama anak itu. Papanya aja juga sudah angkat tangan saking nggak bisa dibilangin.”

“Baik, Tan.” Bias bangkit dari duduknya. Pencariannya ke kediaman Naratama juga tidak ada hasil. “Kalau begitu, saya pergi dulu.”

“Tapi, Bi.” Briana menghampiri dan berjalan bersisian dengan pria itu. “Bagaimana dengan acara sabtu ini? Ibumu benar-benar mau menikahkan kamu dengan Cinta?”

“Mau bagaimana lagi?” Bias menghela. “Saya nggak mungkin lepas dari tanggung jawab.”

“Bagaimana dengan Cia?” buru Briana. “Kalian saling mencintai dan sudah pacaran lama. Harusnya, kamu perjuangkan Cia di depan orang tuamu.”

“Tante.” Bias berhenti di teras rumah. “Anggap pernikahan ini hanya formalitas. Kalau Cia mau bersabar, saya pasti ceraikan Cinta begitu semua masalah tenang. Meski bukan karena Cia, saya pasti juga akan ceraikan Cinta.”

Briana tersenyum kecil, mengusap pelan lengan Bias. “Semoga, semua dilancarkan. Kamu dan Cia bisa kembali bersama.”

“Terima kasih, Tante,” ucap Bias. “Tolong kabari saya kalau Cinta pulang. Atau minta dia telpon saya.”

“Oke.”

~~~~~~~~~~~~~~~

“Tiga hari lagi.” Alma berjalan mondar mandir di teras samping, setelah melakukan yoga pagi hari. “Tapi kenapa keluarga Naratama santai-santai aja? Mereka nggak ada nelpon untuk membicarakan pernikahanmu dengan Cinta.”

Alma menjentikkan jari dan menunjuk putranya yang berdiri di samping kolam renang. Bias sudah mengenakan pakaian kerja dan bersiap berangkat sebentar lagi.

“Gimana dengan Cinta, Bi?” tanya Alma. “Belum juga bisa dihubungi?”

“Nanti, Yosep langsung menghubungi pemrednya,” ujar Bias menenggelamkan kedua tangan di saku celana. Menatap langit pagi yang tampak mendung.

Semakin ke sini, ingatan samar mengenai kejadian malam itu mulai menempel di kepala.

Bias mengingat bagaimana semuanya berawal. Bagaimana ia dan Cinta saling menyentuh di bar malam itu. Sebuah sentuhan kecil, nyaris tanpa niat. Namun, dari sana segalanya berubah.

Bias tahu, ia seharusnya berhenti. Ia juga tahu, seharusnya tidak menanggapi. Namun, setelah sentuhan pertama itu, tubuhnya menolak mundur. Ada dorongan yang lebih kuat dari logika. Dan setelahnya … semua lepas kendali.

Akan tetapi, ada satu ruang kosong yang belum bisa dijelaskan. Sampai detik ini, Bias sama sekali tidak mengingat apa pun yang terjadi di dalam kamar malam itu.

Semuanya gelap. Kosong. Tidak ada satu pun detail yang melekat di kepala selain momen saat ia terbangun dari tidur.

“Cinta seharusnya juga sudah fitting kebaya,” lanjut Alma kemudian duduk di kursi santai. Menatap putranya yang masih saja berdiri tanpa bergeser sedikit pun sejak tadi. “Nggak mungkin, kan, dia melarikan diri? Kan, dia yang dirugikan di sini? Bi!”

“Ya, Ma?” Bias hanya menoleh, tanpa merubah posisinya.

“Kamu dengar Mama?”

“Dengar.” Bias mengangguk. Ia yakin, Cinta tidak melarikan diri, karena gadis itulah yang menjebaknya.

Cinta sendirilah yang meminta Bias memutuskan Ciara dan menikahi gadis itu. Jadi, sangat amat tidak mungkin jika Cinta melarikan diri, sementara keinginannya sudah ada di depan mata.

Akan tetapi, pergi ke mana Cinta sekarang?

Bahkan tidak ada satu pun dari keluarga Naratama yang mengkhawatirkan gadis itu. Jawaban yang diberi Briana, Kiano, maupun Altaf, sangat serupa.

Cinta adalah gadis yang tidak bisa diatur dan suka semaunya.

Apa benar Cinta seperti itu?

“Ma! Aku pergi dulu,” pamit Bias segera menghampiri Alma dan menyalami wanita itu. Bias ingat, ada satu orang anggota keluarga lagi yang belum ia jumpai. “Ada yang harus aku cek. Pagi ini juga. Pergi dulu!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
kompak bgt ya bilang cibta seenaknya, kek altaf apa ngga tau luka yg di tanggung cinta apa altaf suka sama ciara makanya lebih belain cia dr adik kandung sendiri
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
cinta dimana ya,habis ditabrak apa diculik
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
curiga deh klo Cinta diculik sama Cia & Briana.. ayo Bias cepet cari tahu..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Bias Cinta   134~BC

    “Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status