Bias berjalan pelan menyusuri ruang tamu keluarga Naratama. Terus melangkah memasuki ruang tengah dan berhenti di sana. Ia kembali melihat ke sekeliling dengan seksama. Memperhatikan setiap foto yang tergantung di dinding rumah.
Akhirnya, kini ia menyadari ada sesuatu yang aneh.
Dari semua foto yang terpajang dari ruang tamu hingga ruang keluarga, tidak ada satu pun sosok Cinta ada di dalamnya.
Bias mengusap kasar wajahnya. Pasti ada yang salah dengan keluarga Naratama.
Mengapa hal seperti ini tidak disadarinya sejak awal?
“Loh, Bi,” Briana terburu menuruni tangga, karena asisten rumah tangganya menyampaikan Bias datang seorang diri. “Kan, Cia masih di resto.”
“Saya tau, Tan,” ucap Bias segera menyalami Briana. “Saya ke sini mau cari Cinta. Ada yang harus kami bicarakan.”
“Cinta ...” Briana mengerjap. Menoleh pelan, ke kiri dan ke kanan. “Tapi, Cinta jam segini pasti ada di kantor. Kan, dia kerja.”
“Dia sudah dua hari nggak masuk kantor.” Bias melihat gelagat Briana yang mencurigakan.
“Ooh ...” Briana memaksakan tawanya. “Mungkin ... di kamarnya. Mungkin izin.”
“Bibik bilang Cinta nggak di rumah.”
“Nggak di rumah?” Briana menghela dan tetap memasang senyum pada Bias. “Mungkin, dia lagi di tempat temannya.”
“Dia nggak izin? Nggak ngasih kabar?” cecar Bias tenang.
“Ah, Cinta itu memang seperti itu,” jawab Briana mempersilakan Bias duduk lebih dulu. “Dia suka semaunya dan nggak pernah peduli dengan orang rumah. Keluar masuk sesukanya. Nggak mau diatur dan nggak punya tanggung jawab.”
Bias mengangguk pelan setelah duduk di sofa. Ia tidak berkomentar karena harus memikirkan beberapa hal.
“Tapi, apa yang mau kalian bicarakan?” selidik Briana.
“Masalah malam itu, Tan,” jawab Bias. “Saya harus minta keterangan detail dari Cinta karena kami belum sempat bicara banyak.”
“Kalau itu, Tante nggak bisa bantu,” ujar Briana. “Soalnya Tante juga nggak ngerti dia ada di mana sekarang. Pokoknya susah bicara sama anak itu. Papanya aja juga sudah angkat tangan saking nggak bisa dibilangin.”
“Baik, Tan.” Bias bangkit dari duduknya. Pencariannya ke kediaman Naratama juga tidak ada hasil. “Kalau begitu, saya pergi dulu.”
“Tapi, Bi.” Briana menghampiri dan berjalan bersisian dengan pria itu. “Bagaimana dengan acara sabtu ini? Ibumu benar-benar mau menikahkan kamu dengan Cinta?”
“Mau bagaimana lagi?” Bias menghela. “Saya nggak mungkin lepas dari tanggung jawab.”
“Bagaimana dengan Cia?” buru Briana. “Kalian saling mencintai dan sudah pacaran lama. Harusnya, kamu perjuangkan Cia di depan orang tuamu.”
“Tante.” Bias berhenti di teras rumah. “Anggap pernikahan ini hanya formalitas. Kalau Cia mau bersabar, saya pasti ceraikan Cinta begitu semua masalah tenang. Meski bukan karena Cia, saya pasti juga akan ceraikan Cinta.”
Briana tersenyum kecil, mengusap pelan lengan Bias. “Semoga, semua dilancarkan. Kamu dan Cia bisa kembali bersama.”
“Terima kasih, Tante,” ucap Bias. “Tolong kabari saya kalau Cinta pulang. Atau minta dia telpon saya.”
“Oke.”
~~~~~~~~~~~~~~~
“Tiga hari lagi.” Alma berjalan mondar mandir di teras samping, setelah melakukan yoga pagi hari. “Tapi kenapa keluarga Naratama santai-santai aja? Mereka nggak ada nelpon untuk membicarakan pernikahanmu dengan Cinta.”
Alma menjentikkan jari dan menunjuk putranya yang berdiri di samping kolam renang. Bias sudah mengenakan pakaian kerja dan bersiap berangkat sebentar lagi.
“Gimana dengan Cinta, Bi?” tanya Alma. “Belum juga bisa dihubungi?”
“Nanti, Yosep langsung menghubungi pemrednya,” ujar Bias menenggelamkan kedua tangan di saku celana. Menatap langit pagi yang tampak mendung.
Semakin ke sini, ingatan samar mengenai kejadian malam itu mulai menempel di kepala.
Bias mengingat bagaimana semuanya berawal. Bagaimana ia dan Cinta saling menyentuh di bar malam itu. Sebuah sentuhan kecil, nyaris tanpa niat. Namun, dari sana segalanya berubah.
Bias tahu, ia seharusnya berhenti. Ia juga tahu, seharusnya tidak menanggapi. Namun, setelah sentuhan pertama itu, tubuhnya menolak mundur. Ada dorongan yang lebih kuat dari logika. Dan setelahnya … semua lepas kendali.
Akan tetapi, ada satu ruang kosong yang belum bisa dijelaskan. Sampai detik ini, Bias sama sekali tidak mengingat apa pun yang terjadi di dalam kamar malam itu.
Semuanya gelap. Kosong. Tidak ada satu pun detail yang melekat di kepala selain momen saat ia terbangun dari tidur.
“Cinta seharusnya juga sudah fitting kebaya,” lanjut Alma kemudian duduk di kursi santai. Menatap putranya yang masih saja berdiri tanpa bergeser sedikit pun sejak tadi. “Nggak mungkin, kan, dia melarikan diri? Kan, dia yang dirugikan di sini? Bi!”
“Ya, Ma?” Bias hanya menoleh, tanpa merubah posisinya.
“Kamu dengar Mama?”
“Dengar.” Bias mengangguk. Ia yakin, Cinta tidak melarikan diri, karena gadis itulah yang menjebaknya.
Cinta sendirilah yang meminta Bias memutuskan Ciara dan menikahi gadis itu. Jadi, sangat amat tidak mungkin jika Cinta melarikan diri, sementara keinginannya sudah ada di depan mata.
Akan tetapi, pergi ke mana Cinta sekarang?
Bahkan tidak ada satu pun dari keluarga Naratama yang mengkhawatirkan gadis itu. Jawaban yang diberi Briana, Kiano, maupun Altaf, sangat serupa.
Cinta adalah gadis yang tidak bisa diatur dan suka semaunya.
Apa benar Cinta seperti itu?
“Ma! Aku pergi dulu,” pamit Bias segera menghampiri Alma dan menyalami wanita itu. Bias ingat, ada satu orang anggota keluarga lagi yang belum ia jumpai. “Ada yang harus aku cek. Pagi ini juga. Pergi dulu!”
“Kami sadar, apa yang terjadi bukanlah hal yang pantas ditiru. Untuk itu, kami dengan tulus memohon maaf atas kegaduhan yang ada, dan menegaskan bahwa kami telah mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara yang sepatutnya. Terima kasih.”Bias mematikan televisi yang baru ditontonnya dengan remote. Bersandar pada sofa, lalu menatap Danuar yang juga baru menyaksikan pernyataan Cinta di televisi.“Kenapa Cinta nggak ngomong sama aku, kalau dia melakukan wawancara kemarin?” celetuk Bias merasa kesal sendiri.“Lupakan itu sebentar, Bi,” ujar Danuar meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya sebentar. “Tapi melihat sikap Cinta, Papa sepertinya percaya kalau kamu dijebak.”“Itu dia!” seru Bias memukul keras pahanya sendiri. “Sudah kubilang, aku dijebak, tapi Papa sama mama nggak percaya. Mama justru bilang wajar kalau Cinta minta kunikahi karena kami sudah ‘tidur’ berdua malam itu.”“Tapi kamu memang ‘tidur’ dengan Cinta, kan?”“Aku nggak ingat, Pa!”“Kita singkirkan itu dulu,” pinta Danuar me
“Bang! Cinta masuk!” seru Dion, berdiri di ambang pintu ruang Kepala Departemen Produksi Suara Media, Raksa. “Ada di mejanya!”“Panggil dia.” Raksa menjentikkan jari lalu menunjuk Dion. “Dan kamu, siapkan kamera. Kita akan wawancara eksklusif dengan dia 15 menit lagi.”“Di mana, Bang?”“Di ruangan saya,” jawab Raksa. “Biar saya yang wawancara.”“Sip!” Dion mengacungkan ibu jari pada Raksa, lalu pergi menghampiri Cinta yang sibuk dengan layar komputernya. “Wei! Pengantin baru, nih! Eh, gue masih nyimpan foto sama video lo dengan Bias.”Cinta menatap Dion sambil memangku wajah. Tidak mau peduli dan memikirkan skandal yang sudah diciptakannya satu minggu yang lalu. “Simpan baik-baik. Karena yang di internet sudah di-take down sama orangnya Manggala.”Dion tertawa keras. “Nggak ada malu-malunya lo, ya!”“Nasi sudah jadi bubur.” Cinta pun ikut terkekeh. “Jadi, ya, sudah. Sekalian aja dibikin bubur ayam biar enak.”“Ah! Gila lo.” Dion kemudian menunjuk ruangan Raksa. “Lo dipanggil air raksa
“Sayang …” Ciara langsung berlari menghampiri Bias yang baru memasuki unitnya. Memeluk erat dan menumpahkan tangisnya.Sementara Bias, hanya bisa terpaku di tempat dan membiarkan sang kekasih meluapkan semua kesedihan di pelukannya. Menunggu Ciara menghabiskan tangisnya, barulah ia membawa gadis itu menuju sofa. Duduk dan memangkunya.“Sekali lagi maaf,” ucap Bias setelah melepas topi dan maskernya. Ia merapikan anak rambut yang terhambur di wajah Ciara, lalu memberi kecupan singkat pada pipi gadis itu. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”“Aku tau.” Ciara merebahkan diri di tubuh Bias. “Aku yakin kamu dijebak dan semua ini salahnya Cinta.”“Andai mamaku nggak maksa, aku juga nggak bakal nikahin dia,” ujar Bisa mengusap lembut lengan kekasihnya. “Masalah foto sama video yang tersebar juga masalah gampang. Tapi, mamaku …”“Tapi aku tetap nggak rela kalau kamu tidur satu kamar, apalagi satu ranjang sama dia.”“Itu nggak akan terjadi,” ujar Bias penuh keyakinan, karena Cint
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi