Share

4~BC

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-08-23 16:55:13

“Ah! Berengsek!” maki Bias setelah melihat CCTV yang berada di bar. Ia sudah melihat dari berbagai sisi, tetapi tidak ada hal yang mencurigakan.

Kondisi makanan, gelas, kaleng, maupun botol minuman yang ada di meja, tidak terlihat terkontaminasi akan hal apa pun. Namun, ia yakin jika seseorang sudah mencampur sesuatu ke dalam makanan atau minumannya. Dan orang itu, adalah Cinta.

Gadis itu sudah jelas-jelas menjebaknya dan memainkan drama yang begitu epik di depan seluruh keluarga besar. Seolah-olah, dirinya adalah satu-satunya korban yang harus dikasihani.

Sementara Bias, adalah orang jahat yang harus mempertanggung jawabkan hal yang mungkin tidak pernah ia lakukan di dalam kamar.

Bias juga sudah mengkonfrontasi Arman, teman yang mengajaknya pergi ke bar malam itu. Namun, pria itu juga tidak mengetahui apa-apa. Yang Arman tahu hanyalah, sikap Bias dan Cinta semakin intim dan mereka berdua memilih untuk melanjutkan semuanya di dalam kamar.

Memangnya, apa hak Arman untuk melarang ketika keduanya ingin pindah ke tempat yang lebih private dan bersenang-senang?

Tidak hanya sampai di sana, Bias juga sempat bicara dengan pelayan dan barista yang bertugas malam itu. Namun, mereka semua juga tidak bisa memberi banyak informasi.

“Apa cuma ini CCTV-nya?” tanya Bias pada staff IT yang menemaninya. “Masih ada yang lain?”

“Nggak ada lagi, Pak.”

“Oke!” Bias bangkit dari duduknya dengan helaan panjang. “Aku pergi dulu! Thanks!”

~~~~~~~~~~~~~

Cinta memacu motornya menyusuri jalan. Di balik helm, napasnya memburu, sesak menahan luka-luka yang selama ini ia telan dalam diam.

Namun, kali ini, tidak lagi.

“Sudah cukup,” gumamnya lirih tetapi tajam. Ia lelah dengan semesta yang terlalu lama membiarkan dirinya bertahan sendirian.

Cinta terus mengutuk perlakuan keluarganya yang memperlakukannya seperti sampah. Bertahun-tahun ia menunduk, berharap diam bisa mengubah hati mereka. Namun kenyataannya, setiap pengorbanan hanya membuatnya semakin diinjak.

Cinta tahu, dirinya bukan lagi tokoh utama dalam dongeng di keluarganya. Ia bukan lagi putri kesayangan yang pernah dibanggakan ayah dan kakaknya. Ia bahkan tidak berharap banyak.

Namun, lelah dan sabar Cinta pun ada batasnya. Ia tidak lagi sanggup ketika Ciara terus-menerus memainkan peran sebagai korban, menarik perhatian dengan drama dan air mata yang selalu berhasil menjadi orang yang tampak paling tersakiti.

Setiap kali Cinta mencoba bersinar, Ciara datang untuk meredupkannya kembali. Dan yang paling menyakitkan, tidak ada satu pun yang mau peduli.

Sampai akhirnya, Cinta tidak sengaja mendengar percakapan Briana dan ayahnya di ruang kerja Kiano. Wanita itu meminta rumah yang saat ini ditempati agar diwariskan kepada Ciara.

Tidak. Tidak bisa.

Cinta tidak lagi bisa tinggal diam.

Rumah itu adalah peninggalan berharga dari mendiang mamanya. Rumah penuh kenangan. Tempat Cinta belajar berjalan, tempat ia tertawa dan menangis, tempat mamanya terakhir kali membelainya sebelum dunia Cinta runtuh.

Memikirkannya saja, dadanya sudah terlampau sesak dengan amarah.

Cinta semakin mempercepat laju kendaraan. Namun, di antara deru mesin dan amarah yang masih saja bergemuruh di dalam dada, ada sesuatu yang mengusik.

Perasaan tidak nyaman karena sebuah kendaraan di belakangnya tidak kunjung menjauh. Justru semakin dekat, terlalu dekat. Setiap kali ia melirik kaca spion, kendaraan itu terus membuntuti, seolah mengikuti setiap geraknya.

Firasat Cinta langsung menyentak. Ada yang tidak beres. Ia menarik gas lebih dalam, mencoba tetap berada di tengah keramaian jalan.

Namun, saat fokusnya tertuju pada kendaraan di belakang, sesuatu justru menghantam keras dari arah yang berbeda.

Brak!

Lalu … gelap.

~~~~~~~~~~~~~~~~

“Ini juga bukan mau Tante, Cia,” ujar Alma menenangkan Ciara yang memeluknya sambil terisak. “Tapi, Tante juga nggak bisa biarin Bias nggak tanggung jawab. Di luar konteks mereka dijebak, Bias dan Cinta sudah tidur bareng.”

“Tapi Tante, mungkin aja Bias sama Cinta nggak ngelakuin apa-apa?” Ciara masih saja ngotot dengan pemikirannya.

Bagaimana bisa terjadi sesuatu, jika Bias maupun Cinta tidak mengingat semua yang telah terjadi malam itu.

Sungguh tidak masuk akal.

“Bias?” panggil Alma pada sang putra yang duduk lesu di depannya. “Mama berusaha nggak percaya, tapi kalau lihat video kamu dengan Cinta yang peluk-pelukan di bar dan ...” Alma sampai tidak bisa meneruskan kalimatnya, saat mengingat tingkah putranya yang menyentuh tubuh Cinta dengan bebas. “Rasanya kalian memang sudah ... seperti, itu.”

Hal yang sama pun memang terbersit di kepala Bias, saat melihat kembali video dan foto-foto yang sudah beredar luas. Bias sungguh berada di luar kendali dan tidak bisa menjauhkan tangannya dari tubuh Cinta selama mereka berada di bar.

Belum lagi perihal bercak merah yang ada di tempat tidur. Bias pasti sudah melakukan hal tersebut dengan Cinta malam itu. Dan dirinya adalah pria pertama bagi Cinta.

Dan jika diingat lagi ... penampilan Cinta malam itu benar-benar berbeda. Cinta terlihat sangat cantik dengan make-up tipis yang dipoles begitu menawan di wajahnya. Belum lagi dengan pakaian merah menyala yang membingkai erat tubuh gadis itu dengan sempurna.

Tidak ada seragam kerja kebesaran dan wide-leg jeans yang selalu Bias lihat ketika bertemu gadis itu.

Sungguh, malam itu Bias melihat sosok Cinta yang berbeda dari biasanya.

“Aku nggak bisa komen masalah ... kamar hotel,” ujar Bias mulai meragukan dirinya sendiri, meski ia tahu Cinta sudah menjebaknya. “Tapi, aku yakin ada yang nyampur makanan kami dengan ... obat.”

“Itu pasti,” timpal Ciara lirih. Melepas pelukannya dari Alma. “Tapi masalahnya, CCTV nggak bisa membuktikan itu semua. Jadi, kita buntu.”

Bias berdecak. Meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja. “Kirimi aku nomor Cinta. Aku mau interogasi dia. Karena aku yakin, dia dalang dari semua ini. Cinta yang sudah ngejebak aku.”

“Aaa ...” Ciara menggumam untuk beberapa saat. “Aku, nggak punya nomor Cinta.”

Bias dan Alma kompak menatap Ciara, penuh tanda tanya.

“Kamu nggak punya nomor hape saudaramu?” tanya Alma.

“Ah, itu Tante.” Ciara menggeleng. Segera mencari alasan lain. “Sudah aku hapus kemarin. Aku marah karena dia sudah ngerebut Mas Bias. Makanya, aku nggak mau lagi nyimpan apa pun yang berhubungan dengan dia.”

“Cia ... Cia.” Bias mengusap kasar dahinya. Ia bisa memaklumi amarah sang kekasih saat ini. “Apa nama perusahaannya? Aku lupa. Media Kita atau Suara Media?” tanyanya kemudian membuka halaman mesin pencarian di ponselnya. “Biar aku telpon ke kantornya.”

“Aku ...” Ciara mendadak gelisah, karena tidak mengetahui apa pun tentang Cinta.

“Yang mana?” tanya Bias tidak sabar.

“Aku ... aku nggak tahu dia kerja di mana.” Ciara menelan ludah. Berusaha kembali mencari alasan yang tepat, tetapi tidak kunjung ia dapat.

“Kamu nggak tahu Cinta kerja di perusahaan mana?” tanya Alma memastikan lagi.

Ciara menggeleng pelan, menatap sekilas pada Bias. “Itu, Tan ... masalahnya, Cinta sering pindah-pindah kerja. Jadi, aku nggak ngerti sekarang dia kerjanya di mana.”

Sementara itu, Bias hanya diam. Tidak lagi bertanya karena jawaban Ciara yang terasa tidak masuk akal.

Biarlah setelah ini Bias mencari tahu sendiri dan akan segera mendesak Cinta untuk mengakui perbuatannya.

Jadi, tunggu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
durjana bgt mamanya si ciara, pengen rumah diwariskan ke cia, hellow kamu punya andil apa sama itu rumah, heh jelas2 tamak,
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
waaahhh..... Ciara parah nih
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
hayoloh sodara kok gak tahu apapun tentang Cinta.. wajar dong kalo Alma & Bias curiga..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bias Cinta   134~BC

    “Jangan terlalu dekat sama Altaf,” pesan Ira setelah turun dari motor dan melepas helmnya, “dia sudah mau nikah, jadi, jangan nyelip di antara Altaf sama calon istrinya.”Dinda melipat bibir. Akhirnya, ia tahu apa yang ada di pikiran Ira ketika mereka tengah melihat rumah. Namun, kenapa ibunya bisa sampai memiliki pemikiran seperti itu?“Aku nggak dekat sama mas Al.” Dinda membela diri karena kenyataannya memang seperti itu. “Kami juga nggak pernah jalan bareng, jadi, yaaa … ya nggak dekat. Ibu jangan salah paham, dia itu cuma nganggap aku adek.”“Kata siapa?”“Kata mas Al sendiri.”“Tapi kamu orang, bukan adeknya.”“Tapi–”“Jangan rusak pertemananmu dengan Cinta yang sudah terjalin bertahun-tahun,” putus Ira. Ia harus memperingatkan Dinda, karena perasaan putrinya tidak sesensitif Ira. “Kalau Altaf single, Ibu nggak ngelarang-larang. Jadi, tolong jangan deket-dekat lagi sama Altaf, ya.”“Tapi, kan, dia nggak ada perasaan sama aku, Bu. Mas Al itu sudah mau nikah. Punya pacar, calon is

  • Bias Cinta   133~BC

    Mulut Ira terbuka lebar saat menatap rumah baru yang dibeli putrinya. Ia menyerahkan helm pada Dinda, lalu berjalan pelan di area teras. Menatap tidak percaya.“Kamu nggak jadi simpanan orang, kan, Din?” Tatapan Ira berubah curiga seketika pada putrinya. Meski mimik wajahnya sedikit bercanda.“Nggaklah, Bu,” jawab Dinda sambil menggandeng lalu membawa ibunya memasuki pintu rumah. Saat mereka datang, pagar sudah terbuka dan Dinda melihat dua orang pria sedang berada di atas atap. Sepertinya, mereka adalah tukang yang diperintahkan untuk mengecek rumah tersebut. Namun, ke mana Altaf? Dinda tidak melihat mobil pria itu terparkir di depan rumah, maupun di carport. “Ini semua hasil jerih payah nuyul sana sini,” lanjut Dinda kemudian terkekeh sambil memasuki rumah barunya. Ira tertawa geli. “Ibu serius nanyanya. Kamu DP berapa puluh juta? Terus, cicilannya nanti sampe berapa tahun? Sanggup bayarnya?”“Doain program yang kuajuin meledak, Bu,” pinta Dinda mulai serius dan enggan menjawab p

  • Bias Cinta   132~BC

    “Senin depan sudah mulai renov,” ujar Altaf setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, “sabtu ini mau dicek yang mana-mana aja yang harus diperbaiki dan ditambah. Kalau kamu mau lihat, nanti bisa datang ke sana. Tapi pagi, sekitar jam tujuh atau setengah delapan.”“Boleh deh, entar aku bawa ibu sekalian.”“Ibumu mau pindah dari rumahnya?” Altaf mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. “Untuk sementara belum mau, karena ibu tinggal di sana sudah lama,” terang Dinda sambil memangku wajah, menatap wajah tampan Altaf. “Tapi, masa’ mau di sana terus-terusan?”“Memang kenapa kalau tinggal terus di sana?” Altaf meletakkan ponselnya di meja. Bersandar dan menatap Dinda. “Tetangga suka ‘berisik’, Mas,” ujar Dinda sambil memanyunkan bibirnya sejenak, “dulu waktu pertama kali jadi reporter, omongan orang pasti nggak enak tiap aku pulang malam. Emang, sih, orangnya baik-baik. Gercep juga kalau ada apa-apa, tapi, ya itu. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm.”Alt

  • Bias Cinta   131~BC

    “Memangnya bu Ira mau pindah ke rumah yang baru?” Bias meletakkan ponsel Cinta di tempat tidur, setelah melihat foto rumah yang akan jadi milik Dinda. “Jahitannya gimana? Terus kalau pindah, nanti nggak ada teman ngerumpi seperti di gangnya.”“Sebenarnya Bu Ira masih keberatan, tapi Dinda tetap ngotot mau beli rumah,” terang Cinta sambil menyelimuti Cibi yang sudah terlelap di kasur miliknya. Ide untuk mematikan lampu utama kamar dan membiarkan hanya lampu tidur yang menyala, ternyata cukup membantu Cibi terlelap lebih cepat. Hal itu membuat Cinta memiliki waktu santai sedikit lebih banyak, yang bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan Bias. Bias menyingkap selimutnya, membiarkan Cinta masuk dan berbaring di sampingnya. “Anggap aja aset kalau begitu,” ucap Bias kemudian memeluk Cinta dengan erat, “terus gimana nasib proposalku tentang anak kedua?”Cinta tertawa pelan. “Ditolak. Kita tetap dengan rencana awal. Tunggu Cibi lima tahun baru program lagi. Atau … tiga tahunan deh.”“Maksudk

  • Bias Cinta   130~BC

    Dinda melepas helm dan menatap rumah yang ada di depannya dengan ekspresi tidak percaya. Ia lantas berdiri, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Cinta. Sembari menunggu panggilannya dijawab, ia melihat ke lingkungan di sekitarnya. Yang dimasukinya memang bukan perumahan elite para pejabat atau artis. Namun, bagi Dinda, rumah yang ia datangi ternyata lebih besar dari ekspektasinya.“Eh, Bu,” ujar Dinda setelah mendengar sapaan Cinta di ujung sana, “aku sudah di depan rumah yang alamatnya kamu kasih. Tapi nggak salah ini? Rumahnya besar. Mungkin, tipe tujuh puluhan apa, ya? Satu M nyampe kali ini harganya.”“Kamu nggak salah alamat?”“Nggak. Sudah aku pastiin,” ucap Dinda kembali melihat nomor rumah yang menempel di tiang pagar beton. “Blok C nomor 10. Ini deretan rumah besar. Kalau yang blok dalam, kayaknya baru yang standar-standar, tipe empat limaan. Mana nggak ada orang lagi di sini. Nggak salah hari atau jam, kan, ya?”“Tadi malam Altaf bilangnya besok,” ucap Cinta tanpa ragu, “jam

  • Bias Cinta   129~BC

    “Apa kamu nggak punya kegiatan lain?” Altaf berdiri di depan televisi. Menghalangi pandangan Ciara yang berbaring di sofa panjang. “Tiap hari cuma rebahan dan nggak ngapa-ngapain?”“Terus aku harus apa?” Ciara menatap lesu pada Altaf. “Uang hasil sitaan sudah dikembalikan, kan? Itu bisa kamu jadikan modal buat mulai usaha lagi.”“Aku lagi pengen istirahat.” Ciara bangkit perlahan dengan rambut yang acak-acakan. “Harusnya kamu bisa maklumin aku, Mas. Calon suamiku dirampas, mama sama papa masuk penjara, usahaku bangkrut, dan … orang-orang yang sudah aku anggap teman, sekarang malah menjauh.”“Itu artinya, mereka bukan temanmu,” terang Altaf bertolak pinggang. Ia bukannya tidak bersimpati dengan nasib Ciara, tetapi Altaf tidak bisa membiarkan adiknya itu terus-terusan seperti ini. Ciara sudah terlalu banyak di manja, sehingga tidak tahu bagaimana cara hidup mandiri.“Kamu harusnya bersyukur, karena sudah ditunjukkan mana yang benar-benar teman dan mana yang nggak.”Ciara berdecak. Meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status