“Ah! Berengsek!” maki Bias setelah melihat CCTV yang berada di bar. Ia sudah melihat dari berbagai sisi, tetapi tidak ada hal yang mencurigakan.
Kondisi makanan, gelas, kaleng, maupun botol minuman yang ada di meja, tidak terlihat terkontaminasi akan hal apa pun. Namun, ia yakin jika seseorang sudah mencampur sesuatu ke dalam makanan atau minumannya. Dan orang itu, adalah Cinta.
Gadis itu sudah jelas-jelas menjebaknya dan memainkan drama yang begitu epik di depan seluruh keluarga besar. Seolah-olah, dirinya adalah satu-satunya korban yang harus dikasihani.
Sementara Bias, adalah orang jahat yang harus mempertanggung jawabkan hal yang mungkin tidak pernah ia lakukan di dalam kamar.
Bias juga sudah mengkonfrontasi Arman, teman yang mengajaknya pergi ke bar malam itu. Namun, pria itu juga tidak mengetahui apa-apa. Yang Arman tahu hanyalah, sikap Bias dan Cinta semakin intim dan mereka berdua memilih untuk melanjutkan semuanya di dalam kamar.
Memangnya, apa hak Arman untuk melarang ketika keduanya ingin pindah ke tempat yang lebih private dan bersenang-senang?
Tidak hanya sampai di sana, Bias juga sempat bicara dengan pelayan dan barista yang bertugas malam itu. Namun, mereka semua juga tidak bisa memberi banyak informasi.
“Apa cuma ini CCTV-nya?” tanya Bias pada staff IT yang menemaninya. “Masih ada yang lain?”
“Nggak ada lagi, Pak.”
“Oke!” Bias bangkit dari duduknya dengan helaan panjang. “Aku pergi dulu! Thanks!”
~~~~~~~~~~~~~
Cinta memacu motornya menyusuri jalan. Di balik helm, napasnya memburu, sesak menahan luka-luka yang selama ini ia telan dalam diam.
Namun, kali ini, tidak lagi.
“Sudah cukup,” gumamnya lirih tetapi tajam. Ia lelah dengan semesta yang terlalu lama membiarkan dirinya bertahan sendirian.
Cinta terus mengutuk perlakuan keluarganya yang memperlakukannya seperti sampah. Bertahun-tahun ia menunduk, berharap diam bisa mengubah hati mereka. Namun kenyataannya, setiap pengorbanan hanya membuatnya semakin diinjak.
Cinta tahu, dirinya bukan lagi tokoh utama dalam dongeng di keluarganya. Ia bukan lagi putri kesayangan yang pernah dibanggakan ayah dan kakaknya. Ia bahkan tidak berharap banyak.
Namun, lelah dan sabar Cinta pun ada batasnya. Ia tidak lagi sanggup ketika Ciara terus-menerus memainkan peran sebagai korban, menarik perhatian dengan drama dan air mata yang selalu berhasil menjadi orang yang tampak paling tersakiti.
Setiap kali Cinta mencoba bersinar, Ciara datang untuk meredupkannya kembali. Dan yang paling menyakitkan, tidak ada satu pun yang mau peduli.
Sampai akhirnya, Cinta tidak sengaja mendengar percakapan Briana dan ayahnya di ruang kerja Kiano. Wanita itu meminta rumah yang saat ini ditempati agar diwariskan kepada Ciara.
Tidak. Tidak bisa.
Cinta tidak lagi bisa tinggal diam.
Rumah itu adalah peninggalan berharga dari mendiang mamanya. Rumah penuh kenangan. Tempat Cinta belajar berjalan, tempat ia tertawa dan menangis, tempat mamanya terakhir kali membelainya sebelum dunia Cinta runtuh.
Memikirkannya saja, dadanya sudah terlampau sesak dengan amarah.
Cinta semakin mempercepat laju kendaraan. Namun, di antara deru mesin dan amarah yang masih saja bergemuruh di dalam dada, ada sesuatu yang mengusik.
Perasaan tidak nyaman karena sebuah kendaraan di belakangnya tidak kunjung menjauh. Justru semakin dekat, terlalu dekat. Setiap kali ia melirik kaca spion, kendaraan itu terus membuntuti, seolah mengikuti setiap geraknya.
Firasat Cinta langsung menyentak. Ada yang tidak beres. Ia menarik gas lebih dalam, mencoba tetap berada di tengah keramaian jalan.
Namun, saat fokusnya tertuju pada kendaraan di belakang, sesuatu justru menghantam keras dari arah yang berbeda.
Brak!
Lalu … gelap.
~~~~~~~~~~~~~~~~
“Ini juga bukan mau Tante, Cia,” ujar Alma menenangkan Ciara yang memeluknya sambil terisak. “Tapi, Tante juga nggak bisa biarin Bias nggak tanggung jawab. Di luar konteks mereka dijebak, Bias dan Cinta sudah tidur bareng.”
“Tapi Tante, mungkin aja Bias sama Cinta nggak ngelakuin apa-apa?” Ciara masih saja ngotot dengan pemikirannya.
Bagaimana bisa terjadi sesuatu, jika Bias maupun Cinta tidak mengingat semua yang telah terjadi malam itu.
Sungguh tidak masuk akal.
“Bias?” panggil Alma pada sang putra yang duduk lesu di depannya. “Mama berusaha nggak percaya, tapi kalau lihat video kamu dengan Cinta yang peluk-pelukan di bar dan ...” Alma sampai tidak bisa meneruskan kalimatnya, saat mengingat tingkah putranya yang menyentuh tubuh Cinta dengan bebas. “Rasanya kalian memang sudah ... seperti, itu.”
Hal yang sama pun memang terbersit di kepala Bias, saat melihat kembali video dan foto-foto yang sudah beredar luas. Bias sungguh berada di luar kendali dan tidak bisa menjauhkan tangannya dari tubuh Cinta selama mereka berada di bar.
Belum lagi perihal bercak merah yang ada di tempat tidur. Bias pasti sudah melakukan hal tersebut dengan Cinta malam itu. Dan dirinya adalah pria pertama bagi Cinta.
Dan jika diingat lagi ... penampilan Cinta malam itu benar-benar berbeda. Cinta terlihat sangat cantik dengan make-up tipis yang dipoles begitu menawan di wajahnya. Belum lagi dengan pakaian merah menyala yang membingkai erat tubuh gadis itu dengan sempurna.
Tidak ada seragam kerja kebesaran dan wide-leg jeans yang selalu Bias lihat ketika bertemu gadis itu.
Sungguh, malam itu Bias melihat sosok Cinta yang berbeda dari biasanya.
“Aku nggak bisa komen masalah ... kamar hotel,” ujar Bias mulai meragukan dirinya sendiri, meski ia tahu Cinta sudah menjebaknya. “Tapi, aku yakin ada yang nyampur makanan kami dengan ... obat.”
“Itu pasti,” timpal Ciara lirih. Melepas pelukannya dari Alma. “Tapi masalahnya, CCTV nggak bisa membuktikan itu semua. Jadi, kita buntu.”
Bias berdecak. Meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja. “Kirimi aku nomor Cinta. Aku mau interogasi dia. Karena aku yakin, dia dalang dari semua ini. Cinta yang sudah ngejebak aku.”
“Aaa ...” Ciara menggumam untuk beberapa saat. “Aku, nggak punya nomor Cinta.”
Bias dan Alma kompak menatap Ciara, penuh tanda tanya.
“Kamu nggak punya nomor hape saudaramu?” tanya Alma.
“Ah, itu Tante.” Ciara menggeleng. Segera mencari alasan lain. “Sudah aku hapus kemarin. Aku marah karena dia sudah ngerebut Mas Bias. Makanya, aku nggak mau lagi nyimpan apa pun yang berhubungan dengan dia.”
“Cia ... Cia.” Bias mengusap kasar dahinya. Ia bisa memaklumi amarah sang kekasih saat ini. “Apa nama perusahaannya? Aku lupa. Media Kita atau Suara Media?” tanyanya kemudian membuka halaman mesin pencarian di ponselnya. “Biar aku telpon ke kantornya.”
“Aku ...” Ciara mendadak gelisah, karena tidak mengetahui apa pun tentang Cinta.
“Yang mana?” tanya Bias tidak sabar.
“Aku ... aku nggak tahu dia kerja di mana.” Ciara menelan ludah. Berusaha kembali mencari alasan yang tepat, tetapi tidak kunjung ia dapat.
“Kamu nggak tahu Cinta kerja di perusahaan mana?” tanya Alma memastikan lagi.
Ciara menggeleng pelan, menatap sekilas pada Bias. “Itu, Tan ... masalahnya, Cinta sering pindah-pindah kerja. Jadi, aku nggak ngerti sekarang dia kerjanya di mana.”
Sementara itu, Bias hanya diam. Tidak lagi bertanya karena jawaban Ciara yang terasa tidak masuk akal.
Biarlah setelah ini Bias mencari tahu sendiri dan akan segera mendesak Cinta untuk mengakui perbuatannya.
Jadi, tunggu saja.
“Kami sadar, apa yang terjadi bukanlah hal yang pantas ditiru. Untuk itu, kami dengan tulus memohon maaf atas kegaduhan yang ada, dan menegaskan bahwa kami telah mempertanggungjawabkan semuanya dengan cara yang sepatutnya. Terima kasih.”Bias mematikan televisi yang baru ditontonnya dengan remote. Bersandar pada sofa, lalu menatap Danuar yang juga baru menyaksikan pernyataan Cinta di televisi.“Kenapa Cinta nggak ngomong sama aku, kalau dia melakukan wawancara kemarin?” celetuk Bias merasa kesal sendiri.“Lupakan itu sebentar, Bi,” ujar Danuar meraih cangkir kopinya, lalu menyesapnya sebentar. “Tapi melihat sikap Cinta, Papa sepertinya percaya kalau kamu dijebak.”“Itu dia!” seru Bias memukul keras pahanya sendiri. “Sudah kubilang, aku dijebak, tapi Papa sama mama nggak percaya. Mama justru bilang wajar kalau Cinta minta kunikahi karena kami sudah ‘tidur’ berdua malam itu.”“Tapi kamu memang ‘tidur’ dengan Cinta, kan?”“Aku nggak ingat, Pa!”“Kita singkirkan itu dulu,” pinta Danuar me
“Bang! Cinta masuk!” seru Dion, berdiri di ambang pintu ruang Kepala Departemen Produksi Suara Media, Raksa. “Ada di mejanya!”“Panggil dia.” Raksa menjentikkan jari lalu menunjuk Dion. “Dan kamu, siapkan kamera. Kita akan wawancara eksklusif dengan dia 15 menit lagi.”“Di mana, Bang?”“Di ruangan saya,” jawab Raksa. “Biar saya yang wawancara.”“Sip!” Dion mengacungkan ibu jari pada Raksa, lalu pergi menghampiri Cinta yang sibuk dengan layar komputernya. “Wei! Pengantin baru, nih! Eh, gue masih nyimpan foto sama video lo dengan Bias.”Cinta menatap Dion sambil memangku wajah. Tidak mau peduli dan memikirkan skandal yang sudah diciptakannya satu minggu yang lalu. “Simpan baik-baik. Karena yang di internet sudah di-take down sama orangnya Manggala.”Dion tertawa keras. “Nggak ada malu-malunya lo, ya!”“Nasi sudah jadi bubur.” Cinta pun ikut terkekeh. “Jadi, ya, sudah. Sekalian aja dibikin bubur ayam biar enak.”“Ah! Gila lo.” Dion kemudian menunjuk ruangan Raksa. “Lo dipanggil air raksa
“Sayang …” Ciara langsung berlari menghampiri Bias yang baru memasuki unitnya. Memeluk erat dan menumpahkan tangisnya.Sementara Bias, hanya bisa terpaku di tempat dan membiarkan sang kekasih meluapkan semua kesedihan di pelukannya. Menunggu Ciara menghabiskan tangisnya, barulah ia membawa gadis itu menuju sofa. Duduk dan memangkunya.“Sekali lagi maaf,” ucap Bias setelah melepas topi dan maskernya. Ia merapikan anak rambut yang terhambur di wajah Ciara, lalu memberi kecupan singkat pada pipi gadis itu. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu.”“Aku tau.” Ciara merebahkan diri di tubuh Bias. “Aku yakin kamu dijebak dan semua ini salahnya Cinta.”“Andai mamaku nggak maksa, aku juga nggak bakal nikahin dia,” ujar Bisa mengusap lembut lengan kekasihnya. “Masalah foto sama video yang tersebar juga masalah gampang. Tapi, mamaku …”“Tapi aku tetap nggak rela kalau kamu tidur satu kamar, apalagi satu ranjang sama dia.”“Itu nggak akan terjadi,” ujar Bias penuh keyakinan, karena Cint
“Apa ini?” tanya Bias saat menerima sebuah tas ransel dari Yosep di ambang pintu kamar.“Tas mbak Cinta,” jawab Yosep. “Kata Denok, cuma ini barangnya di apart yang kemarin malam diantar temannya. Obat-obatnya juga sudah ada di dalam.”“Tas ini …” Bias menatap ke dalam kamar sekilas. Kemudian, ia membuka cepat resletingnya. Melihat ke dalam, lalu melihat pakaian yang jumlahnya hanya beberapa potong saja. “Ini semua bajunya Cinta? Nggak salah? Tasnya lusuh dan … yakin? Telpon Denok lagi.”“Sudah saya pastiin, Mas,” jawab Yosep mantap. “Kata Denok, Mbak Cinta, kan, nggak ada pulang ke rumah sejak datang ke apart. Jadi, barangnya, ya, cuma yang ada di dalam tas itu.”“Oke, pergilah.”Bias menutup pintu. Kembali memasuki kamar dan meletakkan tas milik Cinta di tempat tidur. Ia mengeluarkan ponsel, lalu berbaring perlahan dan menghubungi Ciara. Kekasihnya itu pasti sangat bersedih dan mengurung diri di kamar menangisi nasib hubungan mereka.Namun, panggilannya tidak kunjung diangkat.Tatap
Alma menghempas hasil rontgen yang sudah dilihatnya di meja. Menatap Bias yang duduk di hadapannya di lobi apartemen. Sementara Cinta, sudah lebih dulu pergi ke atas atas titahnya, ditemani oleh seorang asisten rumah tangga.Setelah mendengar keterangan Bias, ternyata kondisi Cinta memang seperti yang terlihat. Bahkan, seharusnya gadis itu berjalan dengan bantuan kruk, agar kakinya tidak dipaksa menopang beban sebelum benar-benar pulih.“Hubungi pak Kiano sama bu Briana,” titah Alma memijat pelipisnya sebentar. “Pastikan mereka besok datang ke tempat acara, supaya semua berjalan lancar. Bilang ke Cia supaya nggak usah datang, karena Mama nggak mau ada drama.”“Tapi … bagaimana kalau nanti Cinta ternyata nggak hamil?” tanya Bias bersedekap dan duduk tegak.“Kamu mau cerai?” tebak Alma tersenyum miring. “Baru sebulan nikah tapi sudah mau cerai? Begitu maksudmu, kan?”“Kalau memang dia nggak hamil, untuk apa pernikahan ini diteruskan?”“Yakin dalam satu bulan kamu nggak akan ‘nyentuh’ Ci
“Kita pergi sebentar lagi,” ujar Bias ketika memasuki ruangannya. Ia berdiri tepat di depan Cinta yang masih duduk di tempatnya. Menatap selidik, pada wanita licik yang sudah memainkan drama yang begitu epik. “Untuk sementara, kamu ada dalam pengawasan kami.”“Pengawasan?” tanya Cinta agak bingung.“Ya!” Bias bersedekap. “Kami khawatir, ada yang mau mencelakakan kamu lagi sebelum pernikahan kita dilaksanakan.”“Nggak ada bu Alma di sini.” Cinta menoleh sebentar ke arah pintu yang sedikit terbuka. “Jadi, nggak usah pura-pura baik. Jujur aja, kamu yang nyuruh orang buat nabrak aku? Karena—”“Jangan pernah menuduh tanpa bukti!” Bisa menunduk cepat. Kedua tangannya bertumpu pada lengan sofa yang diduduki Cinta. “Dan jangan main-main denganku, apalagi keluargaku.”“Aku memang nggak punya bukti apa-apa,” sahut Cinta tidak gentar sedikit pun. Meski sempat terkejut dengan sikap Bias yang menunduk secara tiba-tiba. “Karena pesuruhmu sepertinya cukup pintar.”“Heh dengar!” Bias menepuk pelan pi