Share

Tujuh

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-19 07:06:22

Beberapa orang yang lewat ikut membantu kami. Syukurlah kami tidak apa-apa karena Mas Karim mengemudikan motornya pelan. Hanya makanan yang tumpah dan tidak terselamatkan. 

Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah. 

"Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan. 

"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku. 

"Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya. 

"Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata. 

"Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti." 

Benar juga apa yang dibilang Mas Karim. Kalau sampai ada yng terlewat dalam memberi nasi berkat ini, tentu nama ibu akan tercoreng. 

"Pegangan yang kuat, As. Jangan sampai kamu jatuh nanti," kata Mas Karim. Ia mengendarai motornya dengan sangat lambat. 

Apa yang kukhawatirkan terjadi, Mbak Sindi marah besar saat kami bilang kalau makanan itu tumpah sebelum sampai tujuan. 

"Sudahlah, Sin. Nggak perlu marah, tinggal minta ganti dan antarkan lagi ke sana. Beres, kan?" Ibu menenangkan Mbak Sindi yang masih mencak-mencak. 

"Masalahnya semuanya sudah pas, Bu. Makanan yang matang sudah habis," jawab wanita yang selalu memaki make up tebal itu berkacak pinggang. 

"Minta orang untuk masak lagi. Orang-orang di sini masih banyak. Kalian berdua tidak apa-apa, kan?" Ibu menghampiriku dan mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ya, saat aku bilang kami jatuh, hanya ibu yang terlihat khawatir dengan keadaanku, yang lainnya cuek. Mas Ubay juga tidak ada. Ia sedang ikut mengantar makanan ke tempat lain. Mbak Sindi malah menyesali makanan yang tumpah itu. 

"Daging sapinya sudah habis, Bu," ucap Mbak Sindi kesal. 

Ibu gegas masuk ke kamar dan tidak lama kemudian ia keluar dengan membawa uang," Danang, tolong kamu beli daging sapi dua kilo." Ibu mengulurkan uang pada kakakku itu. 

"Baik, Bu." 

"Bu, kalau mau beli daging sapi bukannya harus ke pasar yang jaraknya jauh, ya? Kenapa tidak pakai daging ayam saja agar bisa beli di warung Bu Utami yang dekat." Aku mencoba memberi saran. 

Desa ini tidak terletak di pinggir jalan raya besar yang setiap hari ada yang jual daging sapi, adanya hanya daging ayam. 

"Asty, di sini tidak biasa memberi nasi berkat dengan daging ayam. Sudahlah nggak apa-apa, Nang. Pergi saja ke pasar yang ada di kecamatan itu sekarang juga," titah ibu. 

Mas Danang segera berangkat menuruti perintah ibu. 

"Kalau begini caranya, utang ini akan semakin banyak. Kenapa harus pakai acara tumpah segala, sih? Seharusnya acara ini sudah selesai." Mbak Sindi bersungut-sumgut. 

"Aku minta maaf, Sin. Nanti aku dan Asti yang akan menanggung utang lebih banyak," ucap Mas Karim. 

"Huh!" Mbak Dindi melengos dan meninggalkan kami dengan menghentakkan kaki ke lantai dengan cukup keras. 

Acara mengantar makanan yang seharusnya selesai di siang hari, ternyata sampai sore. Memasak  di sini sangatlah cepat karena yang mengerjakan banyak. Mereka seperti dikomando. 

Akhirnya acara selesai tepat pukul tiga sore hari. Orang yang membantu memasak sudah mulai pulang sehingga rumah kembali sepi. 

Tiba-tiba kepalaku pusing dan semakin lama pandanganku semakin buram dan kabur setelah itu tidak ingat apa-apa lagi. 

Mataku perlahan terbuka, kulihat aku sudah berada di kamar dan sudah ada ibu, Mas Ubay, dan para kakak serta kakak ipar. 

Aku berusaha untuk duduk, tetapi Mas Ubay menahanku," Istirahat dulu. Apa yang kamu rasakan, Dek? Pusing?" 

"Enggak, Mas. Mungkin akau hanya kecapekan aja." Aku memijit kepala perlahan. 

"Iya, As. Kamu istirahat saja. Kamu pasti kecapekan karena beberapa hari ini terlalu sibuk apalagi tadi juga jatuh dari motor." Ibu membelai rambutku. Ya, ibu memang sangat menyayangiku karena aku anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Itulah yang membuat para kakakku cemburu dan membenciku. 

"Apa? Kamu tadi jatuh dari motor? Kenapa nggak bilang padaku? Sekarang katakan, mana yang sakit?" Mas Ubah mendadak panik. 

Aku tersenyum, "Aku enggak apa-apa, Mas. Tadi Mas Karim bawa motornya pelan, kok, jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan." 

"Benar?"

"Iya, Mas. Cuma, ini ada luka lecet sedikit." Aku nyengir sambil menunjukkan tanganku yang terkena kerikil. 

"Coba aku lihat!" Mas Ubay menyentuh tanganku. 

"Aduh, sakit, Mas." Aku meringis. Luka itu memang tidak seberapa, tapi lumayan perih. 

"Alah, ini pasti hanya akal-akalanmu saja  agar besok tidak jadi pulang, kan?" ucap Mbak Sindi sinis. 

Ibu melotot dan menatap tajam pada menantu perempuannya itu." Sindi!" 

"Iya, Bu. Maaf." Mbak Sindi melirik dan mengerucutkan bibir. 

"Asty tidak sakit  pun, tetap nggak bisa pulang besok karena ada perubahan mengenai biaya selamatan bapak," kata ibu. 

"Aku tahu dan itu semua gara-gara Asty yang sudah menumpahkan makanan itu. Coba dia nggak jatuh, pasti tadi tidak harus beli daging sapi lagi, kan?" sahut Mbak Sindi. 

"Enggak, Sin. Biaya total kemarin yang 35 juta itu belum termasuk untuk belanja daging sapi yang dua puluh kilo tadi, terus ada utang di warung Bu Utami, menyewa tenda, serta mengganti perkakas yang hilang atau rusak." Ibu menjelaskan panjang lebar. 

Aku melongo mendengar penjelasan ibu, dan sepertinya bukan hanya aku yang kaget mendengar biaya yang harus kami tanggung itu. 

"Utang di warung Bu Utami?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status