Kami menatap nanar makanan yang sudah tumpah dan kotor itu. Lelaki bertubuh tinggi itu mengambil makanan itu dan memang sudah tidak ada yang bisa dimakan karena sudah bercampur tanah.
"Kita buang saja." Mas Karim mengambil makanan itu dan menepikan di tepi jalan.
"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang akan kita beri makanan ini?" tanyaku.
"Kita pulang dan minta lagi, yuk." Mas Karim kembali men-starter motor dan memintaku untuk duduk di belakangnya.
"Apakah kita akan bilang kalau makanan ini tumpah sebelum sampai tujuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bayangan omelan dari kakak ipar sudah menari-nari di pelupuk mata.
"Tentu saja, As. Kalau kita nggak bilang, otomatis orang-orang ini tidak akan mendapat nasi berkat dan sudah pasti ibu yang akan terkena sasaran gunjingan orang. Kita pulang dan minta ganti."
Benar juga apa yang dibilang Mas Karim. Kalau sampai ada yng terlewat dalam memberi nasi berkat ini, tentu nama ibu akan tercoreng.
"Pegangan yang kuat, As. Jangan sampai kamu jatuh nanti," kata Mas Karim. Ia mengendarai motornya dengan sangat lambat.
Apa yang kukhawatirkan terjadi, Mbak Sindi marah besar saat kami bilang kalau makanan itu tumpah sebelum sampai tujuan.
"Sudahlah, Sin. Nggak perlu marah, tinggal minta ganti dan antarkan lagi ke sana. Beres, kan?" Ibu menenangkan Mbak Sindi yang masih mencak-mencak.
"Masalahnya semuanya sudah pas, Bu. Makanan yang matang sudah habis," jawab wanita yang selalu memaki make up tebal itu berkacak pinggang.
"Minta orang untuk masak lagi. Orang-orang di sini masih banyak. Kalian berdua tidak apa-apa, kan?" Ibu menghampiriku dan mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ya, saat aku bilang kami jatuh, hanya ibu yang terlihat khawatir dengan keadaanku, yang lainnya cuek. Mas Ubay juga tidak ada. Ia sedang ikut mengantar makanan ke tempat lain. Mbak Sindi malah menyesali makanan yang tumpah itu.
"Daging sapinya sudah habis, Bu," ucap Mbak Sindi kesal.
Ibu gegas masuk ke kamar dan tidak lama kemudian ia keluar dengan membawa uang," Danang, tolong kamu beli daging sapi dua kilo." Ibu mengulurkan uang pada kakakku itu.
"Baik, Bu." "Bu, kalau mau beli daging sapi bukannya harus ke pasar yang jaraknya jauh, ya? Kenapa tidak pakai daging ayam saja agar bisa beli di warung Bu Utami yang dekat." Aku mencoba memberi saran. Desa ini tidak terletak di pinggir jalan raya besar yang setiap hari ada yang jual daging sapi, adanya hanya daging ayam. "Asty, di sini tidak biasa memberi nasi berkat dengan daging ayam. Sudahlah nggak apa-apa, Nang. Pergi saja ke pasar yang ada di kecamatan itu sekarang juga," titah ibu. Mas Danang segera berangkat menuruti perintah ibu. "Kalau begini caranya, utang ini akan semakin banyak. Kenapa harus pakai acara tumpah segala, sih? Seharusnya acara ini sudah selesai." Mbak Sindi bersungut-sumgut."Aku minta maaf, Sin. Nanti aku dan Asti yang akan menanggung utang lebih banyak," ucap Mas Karim.
"Huh!" Mbak Dindi melengos dan meninggalkan kami dengan menghentakkan kaki ke lantai dengan cukup keras. Acara mengantar makanan yang seharusnya selesai di siang hari, ternyata sampai sore. Memasak di sini sangatlah cepat karena yang mengerjakan banyak. Mereka seperti dikomando. Akhirnya acara selesai tepat pukul tiga sore hari. Orang yang membantu memasak sudah mulai pulang sehingga rumah kembali sepi. Tiba-tiba kepalaku pusing dan semakin lama pandanganku semakin buram dan kabur setelah itu tidak ingat apa-apa lagi. Mataku perlahan terbuka, kulihat aku sudah berada di kamar dan sudah ada ibu, Mas Ubay, dan para kakak serta kakak ipar. Aku berusaha untuk duduk, tetapi Mas Ubay menahanku," Istirahat dulu. Apa yang kamu rasakan, Dek? Pusing?" "Enggak, Mas. Mungkin akau hanya kecapekan aja." Aku memijit kepala perlahan. "Iya, As. Kamu istirahat saja. Kamu pasti kecapekan karena beberapa hari ini terlalu sibuk apalagi tadi juga jatuh dari motor." Ibu membelai rambutku. Ya, ibu memang sangat menyayangiku karena aku anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Itulah yang membuat para kakakku cemburu dan membenciku. "Apa? Kamu tadi jatuh dari motor? Kenapa nggak bilang padaku? Sekarang katakan, mana yang sakit?" Mas Ubah mendadak panik. Aku tersenyum, "Aku enggak apa-apa, Mas. Tadi Mas Karim bawa motornya pelan, kok, jadi nggak perlu ada yang dikhawatirkan." "Benar?""Iya, Mas. Cuma, ini ada luka lecet sedikit." Aku nyengir sambil menunjukkan tanganku yang terkena kerikil.
"Coba aku lihat!" Mas Ubay menyentuh tanganku. "Aduh, sakit, Mas." Aku meringis. Luka itu memang tidak seberapa, tapi lumayan perih."Alah, ini pasti hanya akal-akalanmu saja agar besok tidak jadi pulang, kan?" ucap Mbak Sindi sinis.
Ibu melotot dan menatap tajam pada menantu perempuannya itu." Sindi!" "Iya, Bu. Maaf." Mbak Sindi melirik dan mengerucutkan bibir. "Asty tidak sakit pun, tetap nggak bisa pulang besok karena ada perubahan mengenai biaya selamatan bapak," kata ibu. "Aku tahu dan itu semua gara-gara Asty yang sudah menumpahkan makanan itu. Coba dia nggak jatuh, pasti tadi tidak harus beli daging sapi lagi, kan?" sahut Mbak Sindi. "Enggak, Sin. Biaya total kemarin yang 35 juta itu belum termasuk untuk belanja daging sapi yang dua puluh kilo tadi, terus ada utang di warung Bu Utami, menyewa tenda, serta mengganti perkakas yang hilang atau rusak." Ibu menjelaskan panjang lebar. Aku melongo mendengar penjelasan ibu, dan sepertinya bukan hanya aku yang kaget mendengar biaya yang harus kami tanggung itu. "Utang di warung Bu Utami?""Utang di warung Bu Utami? Utang apa, Bu? Dan kapan? Kalau utang itu ibu yang ambil sebelum Bapak meninggal, jelas itu bukan tanggungan kami lagi. Itu tanggungan ibu sendiri, jangan bawa-bawa kami. Pokoknya kami hanya akan menanggung biaya mulai dari Bapak meninggal hingga hari ini!" kata Mbak Sindi dengan nada tinggi. Mbak Sindi ini hanya menantu di sini, tetapi gayanya ... "Iya, benar kata Mbak Sindi. Kalau memang utang itu diambil bukan untuk keperluan biaya selamatan bapak, jelas itu sudah beda jalur," sahut Vita—istrinya Mas Danang yang merupakan kakakku langsung. Ibu menatap kedua menantu perempuannya itu, lalu mengendikkan bahu. "Iya, Bu. Lagi pula ibu utang di sana buat apa? Bukankah uang pensiunan bapak itu cukup kalau hanya untuk kalian berdua, ya?" timpal Mas Gani. Ibu masih terdiam dan sesekali melirikku. Aku juga tidak habis pikir, ibu utang di warung Bu Utami itu untuk apa? Benar kata Mas Gani kalau bapak punya uang pensiunan. Ya, dulu bapak adalah seorang guru ne
"Gani, seharusnya kalau hanya rokok, nggak usahlah diomongin di sini. Kamu, kan, bisa bayar sendiri?" sahut Mas Karim kesal. Mbak Sindi melotot," Ya nggak bisa gitu, Mas. Rokok itu untuk kepentingan selamatan juga. Apalagi ambilnya juga dua slop, sudah berapa duit itu?" "Ya udahlah, hitung saja semuanya. Nanti jadikan satu dengan utang utama yang sudah menjadi hampir 40 juta," jawab ibu. Mbak Sindi dan Mas Gani terlihat menghela napas bersamaan, mereka lega karena uang rokok tidak ditanggungnya sendiri seperti permintaan Mas Karim. "Kalau rokok itu juga masuk ke daftar utang yang harus kita tanggung bersama, aku juga mau lapor," sahut Mbak Vita semringah. Kami semua saling berpandangan. "Lapor apa lagi, Vit? Apakah kamu juga ikut utang di warung Bu Utami. Bilang saja, nanti akan kita bayar bersama," sahut ibu. "Jadi gini, tadi saat aku mengantar makanan ke luar desa, aku beli bensin dua liter dan itu pakai uangku sendiri, tetapi berhubung perjalanan ini dalam rangka kepentingan
Mbak Sindi menggebrak meja setelah Mas Karim membacakan berapa utang yang harus kami bayar. Ia merebut kertas yang dibawa Mas Karim. "Coba dihitung sekali lagi, Mas? Barangkali ada yang salah," sahut Mas Danang. Wajahnya terlihat sangat tegang. "Itu lihat saja sendiri." Mas Karim menunjuk kertas catatan yang sekarang ada di tangan Mbak Sindi dan segera diambil oleh Mas Danang untuk dilihat secara seksama. "Mas, apa benar harga daging sapi totalnya segini?" tanya Mas Nurma dengan dahi berkerut. Ia ikut membaca tulisan itu. "Daging sapi memang mahal, Mbak. Sekilo nya selalu di atas seratus ribu. Ya, aku tahu kamu pasti kaget saat melihat kenyataan bahwa daging sapi adalah pengeluaran yang paling banyak karena habis satu kwintal sampai kemarin. Wajar saja kalau lebih dari sepuluh juta hanya untuk beli daging sapi saja," ucap Mbak Sindi. "Maklum, lah, Mbak, kalau Mbak Nurma tidak tahu harga daging sapi karena memang tidak pernah beli, tidak seperti kita yang memang sudah biasa beli
Mata yang berembun, kini sudah tidak tahan untuk tidak menangis melihat wanita yang terus menunduk sambil terus memeluk jenazah yang sudah tertutup kain itu. Ia menangis sampai tidak mengeluarkan suara, sementara dua anak yang berada di sampingnya juga menangis semakin kencang apalagi saat melihat banyak orang yang memenuhi rumahnya. Tangis wanita itu semakin terdengar pilu saat jenazah suaminya diangkat untuk dimandikan dan selanjutnya dikafani, disalatkan, dan dikuburkan nanti siang. Aku mengulurkan tangan untuk mengajak anak-anak yang kuperkirakan masih berusia empat dan dua tahun itu. Aku ingin mengajak yang sudah besar dan ibu mengajak yang masih kecill. Namun, bocah itu menggeleng, apalagi belum pernah melihatku sebelumnya. Ia justru semakin nempel dengan ibunya. "Kita pulang dulu sebentar, As." Ibu berbisik dan menggandeng tanganku. Saat aku sampai di luar, sebuah mobil pikap berwarna hitam berhenti di halaman. Dua orang wanita turun dari mobil. Itu adalah mobil yang membaw
Bukan tanpa alasan jika aku tidak mengenal Rida karena dia sudah banyak berubah. Dulu, ia adalah siswa paling populer di kelas karena kecantikannya, bahkan menjadi rebutan para cowok meski pada saat itu masih cinta monyet. Namun, sekarang ia hanyalah seorang wanita biasa dengan pakaian ala kadarnya. Satu hal yang membuatku yakin kalau itu Rida adalah tahi lalat di atas bibir yang menjadi ciri khasnya. Wanita itu mendongak dan mengusap air matanya yang sudah membengkak karena terus menangis tiada henti." Kamu siapa? Sepertinya bukan orang sini?" Aku tersenyum," Rida, ini aku, Asty. Apakah kamu sudah lupa?" Keningnya berkerut lalu mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia menggeleng. "Makan dulu, Mbak." Seseorang menepuk pundakku dari belakang dan saat aku menoleh ia memberiku sebuah piring yang sudah berisi nasi, satu potong ayam, separuh telur, sambal goreng kentang, dan kerupuk. "Saya nggak lapar, Mbak." Aku menolak pemberiannya. "Enggak boleh begitu. Kita semua sedan
Awalnya aku kesal saat melihat wanita yang ada di hadapanku ini adalah orang yang sudah membuatku malas ke sekolah karena perbuatannya. Ingatanku kembali melayang di masa saat aku masih memakai seragam putih biru. "Asty, kenapa kamu belum bangun juga? Ini sudah siang, Nak." Ibu menarik selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku memejamkan mata dan memiringkan tubuh untuk membelakangi ibu, tetapi ibu menarik pundakku." Ini sudah siang, As. Waktunya berangkat sekolah, mentang-mentang sedang libur salat terus jam segini belum bangun?" Aku bangun dan mendongak menatap ibu," Bu, apa boleh aku pindah sekolah saja? Aku malas sekolah di sana lagi," Dahi ibu berkerut," Pindah? Asty, pindah sekolah itu tidak mudah, harus mengurus surat-surat dan tentunya harus menbayar di sekolah yang baru nanti. Sebaiknya kamu bertahan sekolah di sana saja, ya?" "Ta--tapi, Bu... " "Enggak ada tapi-tapian, kamu bisa pindah nanti setelah SMA." Ibu tersenyum seraya melangkahkan kakinya keluar. Aku menelan l
Kusam? Iya, kulit dan wajah Rida memang kusam, tidak bersih seperti yang ia banggakan dulu. Kata ibu, Rida sering ikut suaminya ke sawah meski harus membawa serta anaknya yang masih kecil-kecil. Aku yang tidak pernah ke sawah saja tidak bisa membayangkan betapa repotnya ke sawah bersama anak kecil. "Maafkan aku, As, kalau malah curhat sama kamu. Habis aku bingung mau curhat sama siapa lagi. Aku tidak tahu harus membagi beban ini pada siapa? Tidak ada yang peduli denganku, bahkan ibuku sendiri. " Ia mulai sesenggukan. "Iya, enggak apa-apa. Aku juga nggak keberatan, kok. Jadi, kamu sudah bayar utang buat selamatan suami kamu? Kenapa terlihat sedih begitu?" tanyaku dengan dahi mengernyit. "Iya, mau tidak mau aku harus membayar utang ini karena aku kasihan dengan suamiku jika utangnya tidak segera dibayar, tapi untuk bayar utang itu aku harus_," Wanita yang memakai kerudung panjang itu mendongak dengan tatapan menerawang. Ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya lagi. Segera ku usap pun
Aku menatap lekat mata Mbak Sindi yang telah dikuasai amarah yang tidak kutahu apa penyebabnya. Aku yang memberi pinjaman dan sama sekali tidak merugikannya, kenapa harus dia yang marah? "Duduk dulu, Mbak, Mas. Syukurlah kalian berdua datang ke sini. Ibu sudah sangat merindukan kalian." Kupaksakan diri untuk tersenyum setelah sekian detik kami saling tatap tanpa mengucap sepatah kata pun. "Aku ke sini bukan karena mau ketemu ibu, tetapi hanya ingin meminta agar kamu tidak usah ikut campur dengan urusan utangnya si Rida. Biarkan saja ia punya utang dengan menggadaikan sawah miliknya, toh, kamu juga tidak rugi!" Mbak Sindi berjalan dengan angkuh. Ia kini menunjuk mukaku dengan jari telunjuknya hingga jarak wajah dan jari tangannya hanya beberapa inci saja. Aku menggeleng, dia bilang aku tidak boleh ikut campur, tetapi ia sendiri juga ikut campur dengan masalah ini. "Mbak, aku memang tidak rugi jika Rida menggadaikan sawahnya pada juragan yang entah siapa namanya itu," "Namanya jur