Pov Rania
Awal Kisah Pertemuan Reno dan Rania
Aku Rania, menikah dengan Reno bukan karena terpaksa ataupun dijodohkan. Kami bertemu saat duduk di bangku SMP.
Kami hanya berteman biasa. Tapi rumah kami berdekatan. Sehingga Reno sering mengajakku pulang bersama dengan dibonceng sepedanya. Aku selalu menolak tawaran itu, karena aku malu jika harus berboncengan dengan bukan mahramku.
Maksud Reno sih baik, dia kasihan jika aku harus berjalan kaki yang lumayan jauhnya, sekitar dua kilometer.
Namun, aku tetap pada pendirianku. Lebih baik pulang sendiri berjalan kaki.
Sepulang sekolah dia selalu menemaniku berjalan kaki. Hingga sampai saat kami lulus SMP tidak ada hubungan spesial di antara kami. Tetap hanya teman biasa.
Reno sering main ke rumahku, sejak kami satu sekolah di SMP, ada saja alasannya, tanya tugas sekolah atau sekedar pinjam catatan. Dalihnya tadi telat mencatat karena guru terlalu cepat menjelaskan. Tentunya kedua orang tua kami sudah saling mengenal, karena jarak rumahku dan Reno tidak terlalu jauh, hanya tersekat dua rumah.
Saat SMA kami memilih sekolah yang berbeda. Reno lebih memilih masuk sekolah teknik, untuk mengejar cita-citanya menjadi arsitek. Sedangkan aku memilih SMA Negeri.
Karena cita-citaku tidak terlalu muluk. Aku tidak ingin merepotkan kedua orang tuaku. Kasihan jika mereka harus banting tulang mencari nafkah untuk membiayaiku sekolah.
Dari lahir saja aku sudah menyusahkan mereka. Malahan aku ingin punya kerja sambilan supaya bisa membantu kedua orang tuaku.
Akhirnya aku berjualan kue yang dibawa setiap berangkat sekolah. Malamnya setelah belajar, aku persiapkan semua bahan-bahan, jadi besok pagi tinggal eksekusinya saja.
Aku membuat kue lumpia, risoles dan pastel. Kue - kue itu bisa dipersiapkan malam hari, besok sebelum subuh aku sudah bangun. Menggoreng kue-kueku, sambil menanak nasi. Untuk memasak, aku belum diizinkan oleh ibu, karena beliau tidak ingin aku kelelahan.
Setelah semua selesai, aku mandi, shalat subuh, dan mempersiapkan semuanya sebelum berangkat ke sekolah.
Alhamdulillah dari hasil berjualan, aku bisa sedikit menabung.
Setelah mendapatkan sekitar tiga juta, uang itu aku berikan kepada kedua orang tuaku.
Mereka terharu. Ibu menolak, katanya aku disuruh menyimpan saja uang itu, untuk kebutuhanku nanti kuliah.
Aku bukan anak yang sangat pandai, tapi aku juga tidak terlalu bodoh. Jadi lumayan sejak SD, SMP dan SMA aku selalu mendapatkan beasiswa.
Dengan begitu tidak terlalu memberatkan kedua orang tuaku.
Uang saku yang diberikan ibu, lebih sering aku simpan. Karena aku juga bukan anak yang boros.
Ketika kelas tiga SMA aku bingung, apakah aku harus meneruskan sekolahku? Sedangkan biaya kuliah pasti tidaklah murah, dan ujian UMPTN untuk masuk kuliah negeri juga tidak mudah.
Aku berharap lebih bisa masuk universitas negeri karena kuliah di sana lebih ringan biayanya.
Ternyata ada tes PMDK, jadi kita bisa masuk ke universitas negeri dengan hasil rapor.
Akhirnya guruku mendaftarkan aku ke salah satu universitas negeri di kotaku.
Selain itu, jika kita lulus, kita juga akan mendapatkan beasiswa sampai lulus kuliah.
Alhamdulillah, aku diterima kuliah di universitas negeri, jurusan akuntansi. Biaya masuk kuliah gratis, biaya semester juga gratis, biaya ujian juga gratis.
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, betapa besar kasih sayangmu.
Aku hanya perlu memikirkan biaya buku dan praktik. Insyaallah bisa dengan berjualan kue.
Reno ternyata juga diterima di universitas negeri, dia berhasil masuk jurusan arsitektur, tapi lewat jalur UMPTN, bukan PMDK.
Akhirnya kami bertemu lagi di kampus. Walaupun kami beda jurusan, Reno sering main ke gedung kuliahku.
Aku lihat dia sepertinya belum punya pacar. Kenapa, ya?
Apa dia tipe pemilih ya? Rasanya itu bukan urusanku. Lebih baik aku fokus kuliah, supaya bisa membanggakan kedua orang tuaku.
Reno masih sering menawariku pulang bersama, sekarang dia sudah membawa mobil Awalnya aku menolak, karena tak mau berduaan dengannya di dalam mobil.
Akhirnya Reno memutuskan, dia akan menjemput adiknya dulu, baru menjemputku, sehingga kami bisa pulang bersama.
Sekolah Reni—adik Reno—dekat dengan kampus kami, jadi aku tidak perlu menunggu lama. Apalagi Reno sudah berpesan, "Jangan pulang dulu ya, tunggu aku.”
Awalnya Reni ramah padaku. Dia mau mengobrol dan cerita tentang kisah kisahnya di sekolah, bahkan menanyakan tentang pelajaran yang tidak dia mengerti. Reni masih kelas 1 SMA.
Tapi lama-kelamaan Reni lebih pendiam ketika di dalam mobil, saat Reno menjemputnya.
"Hai Reni, apa kabar?" sapaku.
Dia tidak menjawab, hanya menunduk, sibuk dengan gawainya.
"Masuk, Rania. Keburu hujan, nih," kata Reno.
"Iya, Ren," jawabku.
Karena Reni diam saja dan sibuk dengan gawainya, aku pun diam, tidak berani lagi berkata sepatah kata pun. Mungkin sesekali melirik ke wajah Reni, untuk mengamati ekspresinya.
Tiba-tiba aku melihat air mata jatuh membasahi pipinya. Cepat dia mengusapnya, sepertinya agar tak nampak olehku ataupun Reno.
Aku segera memalingkan muka, takut ketahuan kalau sedang mengamati Reni.
Apa yang terjadi pada Reni ya?
Semakin hari, perilaku Reni semakin membuatku kurang nyaman. Akhirnya aku memutuskan untuk menolak tawaran dari Reno untuk pulang bersamanya.
---------------------------------
Tak terasa, akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku, dengan nilai yang memuaskan.
Kudengar juga Reno lulus bersamaan denganku. Aku turut senang mendengar informasi itu.
Sore hari sepulang dari kuliah, kulihat ada Reno duduk di teras rumah ditemani ibuku.
"Tuh, Nak Reno. Rania sudah pulang, ya sudah ibu masuk dulu, ya," kata ibu.
"Baik, Bu," kata mas Reno.
Setelah ibu masuk, aku pun menanyakan ada keperluan apa Reno datang kesini. Dia bilang nanti malam mau mengajakku jalan-jalan keluar, sebagai perayaan kecil atas kelulusan kami.
Awalnya aku menolak, tapi dia bilang, kalau dia mengajak sahabatnya juga. Aku mengangguk mengiyakan.
-----------++++-----------
Malam hari Reno dan sahabatnya menjemputku. Lalu kami menuju sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat tinggal kami.
"Tunggu sebentar, ya," kata sahabatnya.
Tak lama, keluar seorang wanita muda, cantik, sepertinya usianya sama dengan kami juga. Lalu dia masuk dan duduk di kursi belakang dengan aku.
"Reno, kenalkan dia Disti, calon istriku," kata Bima yang merupakan sahabat Reno.
"Hai Disti, apa kabar?" sapa Reno.
"Alhamdulillah baik, Kak," jawab Disti.
"Disti, kenalkan juga, dia Rania, tetangganya Reno," sambung Bima.
"Salam kenal, Rania," tanganku terulur bersalaman dengan Disti.
"Salam kenal juga, Kak," kata Disti.
"Wah, alhamdulillah ya, semoga dimudahkan menuju pernikahan," doaku untuk Disti.
"Aamiin, terima kasih Kak Rania," kata Disti lagi.
Reno membawa kami ke restoran yang terkenal mahal dan eksklusif di kota kami.
Ternyata Bima tidak duduk satu meja dengan kami, dia duduk di meja sebelah kami, dengan Disti.
"Kenapa mejanya dipisah?" tanyaku pada Reno
"Mereka mau membicarakan pernikahan dengan orang tua mereka, masa kita mau ikutan sih. Malu dong," kata Reno.
"Oke deh," jawabku datar dan agak kecewa. Lalu aku duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Reno.
Bab 5Pov RaniaReno Melamar Rania"Rania, sebenarnya sejak awal aku bertemu, aku sudah suka sama kamu," kata Reno.Aku diam, menunduk mendengarkan kata-katanya. Karena sampai saat ini, aku belum ada keinginan untuk berpacaran apalagi menikah. Karena tujuan utamaku adalah membahagiakan kedua orang tua. Aku bingung harus jawab apa kalau tiba-tiba Reno menyampaikan hal yang paling kutakutkan itu.Belum sempat Reno melanjutkan kata-katanya, pelayan datang memberikan buku menu dan bertanya kepada kami, makanan dan minuman apa yang akan dipesan."Permisi, Kak. Silakan dipilih, makanan dan minumannya, " kata sang pelayan."Menu spesialnya hari ini apa?" tanya Reno."Spesial menu hari ini, fried rice terderloin steak with mozarella sauce kak," ujarnya."Rania mau?" tanya Reno padaku.
Seseorang Melamar RaniaPagi ini, kulihat ibu sibuk, berbagai macam bahan makanan tertata di dapur. Ayam, sayuran, telur, tahu, tempe, banyak sekali. Seperti akan kedatangan tamu saja.“Kok diem aja, Sayang, buruan mandi lalu bantu ibu,” perintah ibu padaku.“Baik, Bu,” jawabku dan segera berlalu ke kamar mandi lalu menunaikan salat subuh.Setelah melaksanakan kewajibanku, aku menemui ibu. “Hari ini akan ada tamu istimewa, bantu ibu ya, Sayang,” ucap ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang.“Siap, Ibuku sayang,” balasku dengan sopan.Pagi ini kesibukanku diisi dengan membantu ibu memasak. Jadi aku putuskan untuk tidak berjualan kue hari ini. Kue setengah matang yang sudah kusiapkan, bisa kusuguhkan untuk tamu ibu saja. Siapa tahu mereka suka dan tertarik untuk memesan di kemudian hari.Tak
Bab 7Reno patah hatiShock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.Ibu menyampaikan padaku, untuk
Bab 8Hari pernikahan Rania dan Mas AlifHari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja
Bab 10Rahasia RaniaAku bisa merasakan cinta yang luar biasa bila bersamamu. Namun kini kau telah pergi menjauh, tak dapat kurasakan lagi cintamu. Mengapa aku tak bisa menghapus cinta ini? Mengapa hadirmu selalu menjadi bayang-bayangku?Rania, aku mencintaimu. Aku menyesal karena gagal mendapatkan cintamu. Seandainya kau tahu bahwa sampai detik ini rasa itu tetap ada dan tetap sama seperti awal kita bertemu.Bayang-bayang Rania terus menari di dalam pikuranku. Segera kupacu mobilku agar bisa sampai lebih cepat ke kantor, karena aku ingin segera menghubungiku Rania. Kenapa harus menunggu sampai kantor? Bukankah sekarang aku sedang sendiri? Aku bisa segera menghubunginya.Kutepikan mobil ke tempat yang aman lalu kuraih gawaiku dan menghubungi nomer Rania. Nada panggil tersambung, berkali-kali berbunyi, tapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kenapa lama sekali Rania menerima teleponku, membuat
Bab 11Terungkapnya rahasia RaniaKami berjalan memasuki lift, setelah pintu terbuka. Kulihat Rania menekan tombol angka tiga. Aku masih bertanya-tanya, sakit apa Mas Alif hingga Rania memaksaku untuk datang kesini. Apa Mas Alif terbaring di rumah sakit ini?Pintu lift terbuka, Rania keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya di belakang. Dekat dugaanku benar, karena sampai detik ini tak kulihat sosok Mas Alif. Kami duduk di sofa ruang tunggu, disana terdapat beberapa pintu, setiap pintu bertuliskan nama dokter dan gelarnya serta nama ruangannya.Kubaca salah satunya poli anak dr. Harjoedi Hadiningrat. Ada juga poli obgyn dr. Dewi Kumala Sari. Sekitar lima menit kami menunggu, kemudian seorang suster menghampiri kami.“Silahkan masuk Bu Rania, dokter Dewi sudah menunggu anda,” ucapnya.“Terima kasih mbak,” jawab Rania.Rania semak
Bab 12Awal kembalinya kebahagiaan RenoAlarmku berbunyi, menandakan pukul tiga pagi. Aku memulai rutinitasku, bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian menunaikan sholat dan melanjutkan dengan lantunan bacaan Al-Qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang, segera kudirikan sholat subuh dan meminta petunjuk yang terbaik untuk jalan hidupku.Baru kuingat aku belum sempat melihat kiriman dari Mas Alif, kubuka aplikasi hijau, dan memeriksa nama Mas Alif, ada kiriman tangkapan layar berupa bukti transfer ke rekeningku, sebesar dua puluh juta rupiah. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, batinku.Akhirnya aku sampai juga di bandara Ngurah Rai, sebentar lagi aku cek in dan segera terbang ke kota tercinta menemui ayah, ibu dan si bawel Reni.“Reno, Reno, tunggu,” kudengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan, ketika aku hendak memasuki pintu cek in bandara. Mungkin ak