Hati Ze getir terasa, harus dia apakan pesan ini?
Sesuatu melintas begitu saja dalam benak. Lalu jemari dengan cepat mendownload sebuah aplikasi penyadap w******p di Playstore. Setelah membuka aplikasi itu, Ze mencari barcode seperti ketika membuka W******p Web lanjut melakukan scan terhadap ponsel Ardi.
Tak lama, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Sepertinya Ardi kembali untuk mengambil ponsel. Lekas Ze menyimpan kembali benda itu di bawah bantal lalu berjalan sampai ke pintu.
"Ada apa, Mas? Kok balik?"
"Ponsel Mas ketinggalan di sofa kayaknya," ucap Mas Ardi yang sudah memasuki halaman.
"Bentar Mas, coba aku cari dulu."
Degan mengumpulkan segenap rasa tegar Ze berjalan ke ruang tamu, lalu menyibak bantal hingga kembali memegang ponsel Ardi.
"Ada Mas ini di atas sofa," ucapnya pura-pura baru menemukan. Segera Ardi mendekat dan menyerahkan ponsel itu.
"Untung belum jauh. Yaudah Mas berangkat dulu, ya."
"Iya Mas, hati-hati."
Selepas kepergian Ardi, Ze mendapat telpon dari Sandy. Sepupu suaminya.
[Hallo, Dek.]
[Mas Ardi udah berangkat belum Mbak? Aku hampir sampai ke rumah ne.]
[Udah Dek. Baru aja. Yaudah Mbak tunggu ya.]
Ze segera kembali ke kamar lalu memasukkan dua pasang pakaian dalam tas. Memastikan rumah aman, lalu mengunci pintu. Selang lima menit, Sandy sampai. Belum sempat gadisnitu masuk ke dalam, Ze terlebih dahulu menyapanya.
"Dek, bisa antar Mbak nggak?"
"Mau kemana, 'Mbak?"
Ze terdiam sejenak, ia sudah berniat untuk membuntuti Ardi sampai ke Bandung.
"Ke Bandung, Dek."
"Ke Bandung, ngapain? Bukannya Mas Mas
Ardi baru berangkat ke sana?"
"Iya. Justru itu Mbak mau nyusul. Mbak pengen kasih surprise untuk Mas Ardi di sana. Ayolah Dek, temani Mbak bentar."
"Yaudah, deh. Tapi aku cuma bisa nemani semalam doank. Karena besok sore mau ketemu dosen pembimbing untuk konsul proposal."
"Iya semalam aja juga boleh kok. Tapi kalau ditelpon Mas Ardi, jangan bilang kita ke Bandung. Nanti kita cari hotel dekat sama hotel beliau aja."
"Yaudah deh, terserah Mbak aja."
Sandy segera turun dari motornya dan menghidupkan mobil Ardi. Perjalanan dimulai, lebih dua jam akhirnya mereka sampai di Bandung. Ze segera memberitahu Sandy hotel yang dipakai sekolah suaminya sebegai tempat untuk menginap.
Bersyukur, dekat dengan hotel itu ada sebuah penginapan lain yang bisa mereka tuju.
"Mbak, aku istirahat bentar, ya," ucap Sandy yang full nyetir seorang diri. Ze mempersilahkan agar gadis itu beristirahat. Sedang dirinya memilih duduk di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran tak menentu hingga getaran ponsel membuyarkan lamunan.
Lekas jemari meraih benda itu dan membuka chat Ardi dengan Seruni. Dengan jantung yang semakin berdetak kencang wanita tersebut membaca pesan yang ditujukan Ardi untuk wanita masa lalunya.
[Hai.]
Tak lama, sebuah balasan pun tertuju. Ze semakin beristighfar dalam hati.
[Hai.]
[Akhirnya dibalas juga pesanku.]
[Sengaja. Biar kamu tahu gimana rasanya dicuekin.]
[Siapa yang nyuekin.]
[Lupakan aja.]
[Eh, ngomong-ngomong apa kabar, ne?]
[Tidak baik.]
[Kenapa?]
[Karena kamu.]
Ze menelan ludah, rasa sakit semakin dalam menghujam dada. Lelaki yang ia cintai, sedang merayu wanita lain. Dia pejamkan mata perlahan, tak menyangka jika Ardi yang terkenal dingin bisa seperti ini pada wanita lain.
[Karena aku? Apa salahku?]
[Karena kamu terus mengabaikanku. Aku rindu.]
Ze kembali menarik napas dalam. Hancur sudah harapannya untuk sampai ke Jannah bersama suami tercinta. Kata rindu yang tak pernah tertuju untuknya kini terungkap untuk wanita lain.
[Kau sudah beristri, Mas. Apa wajar aku membalas inboxmu itu?]
[Memangnya kenapa? Aku hanya mengatakan apa yang kurasa, aku merindukanmu. Apa itu salah? Atau aku harus minta ijin istriku untuk merindukanmu?]
Tak dapat terbendung, air mata mengalir di kedua pelupuk. Jadi begini Mas Ardi jika bersama wanita itu? Rasanya tak sanggup kumeneruskan, tapi harus kuat, demi mengumpulkan bukti.
[Oke, anggap saja tak perlu ijin. Terus apa yang kamu mau? Mengakui bahwa dalam hal ini aku bersalah?]
[Iya, harus.]
[Nggak pernah berubah. Dasar manja.]
[Aku manja hanya denganmu.]
[Benarkah? Lalu istrimu?]
[Dia ... rumahku.]
[Kalau begitukah kenapa masih menginginkan rumah yang lain?]
[Dimana?]
[Apanya?]
[Ketemu?]
[Pertanyaanku yang tadi belum kamu jawab.]
[Sudah jangan bahas rumah tanggaku. Fokus pada kita.]
[Okelah]
[Terus dimana?]
Ze menanti balasan wanita itu.
[Di hotel.]
"Aaaaaa ...!"
Ze menjerit kuat membaca tawaran tempat bertemu yang diberikan Seruni, sesak terasa di dada membaca balasan itu.
"Mbak, ada apa?"
Sandy terkejut karena teriakan Ze.
"Nggak Dek, cuma tangan Mbak kejepit pintu."
"Oh perlu diobatin nggak?"
"Nggak usah, Mbak obatin sendiri aja. Kamu tidur lagi aja ya."
"Oke, Mbak."
Ze kembali menatap layar ponsel. Kira-kira seperti apa tanggapan Ardi.
[Kapan?]
[Aku bercanda, Mas. Kita ketemuan di Cafe biasa ya. Malam ini jam sembilan.]
[Oke.]
[Bye.]
[Bye.]
Ada rasa lega karena Seruni tidak serius mengajak ketemuan di hotel. Tapi tetap saja mereka sudah melanggar.
*
Malam membentang, sedari tadi Ze tak bisa duduk tenang. Menunggu jam tepat berdetak di pukul sembilan rasanya benar-benar melelahkan.
"Mbak kenapa sih daritadi kelihatan gelisah gitu?"
"Deg-degan nunggu jam sembilan," jawabnya dengan perasaan yang tak tergambarkan. Bisakah ia memergoki mereka malam ini, atau akan terlewatkan dan harus merelakan malam ini?
Ze menghela napas panjang.
"Emang kejutannya apa sih yang mau Mbak berikan untuk Mas Ardi? Soalnya daritadi aku lihat, Mbak nggak beli apapun."
"Kejutan itu 'kan nggak selalu berwujud benda, Sayang. Dengan kehadiran Mbak di sisinya, semoga akan menjadi kejutan yang lebih membahagiakan buat Mas Ardi."
"Cuit, cuit, yang jomlo nganan dulu ah."
Sandy membercandai, tapi Ze hanya bisa tersenyum kecil. Hati masih porak-poranda.
Tepat ketika detak jam di dinding menunjukkan tiga puluh menit kurang dari pukul sembilan malam, Ze mengajak Sandy ke hotel yang ditempati Ardi.
Mobil Mas Agung masih terparkir di parkiran, mereka berhenti tak jauh dari hotel itu.
"Mbak nggak turun?" tanya Sandy yang kelihatan lebih deg-degan.
"Tunggu sebentar lagi."
Sudah tepat jam sembilan, tapi Ardi belum juga keluar. Dan tidak ada kendaraan lainnya yang memasuki hotel.
"Ini udah lewat pukul sembilan, Mbak. Nanti Mas Ardi keburu tidur."
"Sabar dulu, ada tanda nanti."
"Tanda apa, Mbak?"
Tiba-tiba mobil Mas Agung keluar dari pekarangan hotel dan melewati mobil Ze yang diparkir di tempat sedikit gelap.
"Ikuti mobil itu, Dek."
"Lo nggak jadi kasih kejutan?"
"Itu yang di dalam mobil itu Mas Ardi, Dek."
"Benaran?"
"Oya, cepatan. Nanti keburu hilang jejak."
"Oke."
Sandy segera tancap gas. Hati Ze masih gemuruh tak karuan.
Bagaimana jika di dalam mobil itu bukan Mas Ardi? Tapi tidak mungkin. Mereka janjian di luar hotel, artinya suamiku harus pinjam mobil temannya untuk bisa ke tempat tersebut. Bismillah, semoga dugaanku benar.
Mobil Mas Agung berhenti di sebuah hotel lainnya. Karena kejebak sebuah mobil, Ze dan Sandy harus menunggu sejenak untuk bisa menyusul ke hotel itu.
"Mbak turun sendiri atau aku harus ikut?"
"Mbak sendiri aja, kamu tunggu di mobil ya."
"Oke."
Setelah lebih sepuluh menit, mereka terbebas dari macet. Ze turun dan berjalan menuju resepsionis. Mengumpulkan keberanian untuk menanyakan kemana lelaki yang baru masuk beberapa menit yang lalu.
Tak lama ...
"Ze?"
Ze terperangah menatap siapa yang kini ada di depan mata.
***
Bersambung
Bersambung.
"Om Alex?""Ze, apa kabar? Ngapain di sini, sama Ardi?"Ze gelagapan."Iya Om, sama Mas Ardi dan sepupunya.""Lo kok rame-rame, ada acara apaan, sih?""Nggak ada sih Om, Mas Ardi lagi ada tugas di sini. Yaudah aku minta ikut aja, pas kebetulan sepupunya juga ada di rumah jadi ya diangkut sekalian.""Oh gitu, terus Ardi sekarang mana? Udah lama Mas nggak ketemu?""Sebenarnya saya kemari sama sepupunya Mas Ardi doank, Om. Suamiku nggak ikut, beliau tinggal di hotel, capek habis acara pembukaan katanya.""Jadi kamu sama sepupunya Ardi nginap di hotel juga? Kenapa nggak nginap di rumah Om aja. Rumahnya luas lo.""Iya Om, In Syaa Allah lain kali, soalnya besok udah langsung balik kok.""O gitu.""Om Alex kerja di sini?""Iya 'kan, udah dari
Namaku Zearetha Bilbis. Aku terlahir sebagai yatim. Dan tepat enam tahun usiaku, ibu yang paling kusayangi ikut bersama ayah menghadap Yang Maha Kuasa. Paman dan istrinya lah yang membesarkanku. Mereka hanya punya satu orang anak perempuan dan sangat ikhlas untuk menggantikan mama dalam merawatku.Dua tahun yang lalu, tepatnya di malam syahdu selepas memberlangsungkan pernikahan."Kamu mau 'kan kita menundanya?"Sebuah pertanyaan aneh yang muncul dari bibir seorang lelaki bergelar suami. Bagiku aneh dia bertanya begitu, sebab ini adalah malam pertama kami. Malam dimana semua pengantin berlomba-lomba mencari pahala. Tapi dia, justru meminta agar kami menundanya.Saat itu, aku setuju saja. Awalnya kupikir karena kami butuh waktu untuk saling kenal, sebab ya pernikahan ini terjadi atas perjodohan. Ibunya teman baik dengan istri pamanku. Arsyi anak paman tak mungkin lagi dijodohkan berhubung dia sudah pu
"Siapa Seruni, Mas?"Pertanyaanku membuatnya terhenyak.Kukeluarkan ponsel dan menampakkan semua foto yang terambil semalam saat di rumah sakit."Kenapa diam, Mas? Aku butuh kejujuran. Kita menikah bukan sehari, tapi dua tahun. Apa selama itu kamu tidak sedikitpun menganggapku sebagai istri, hingga tega memeluk dan mengusap pipi wanita lain?"Aku tak dapat menahan ego yang seketika melonjak, kutumpahkan segala sakit yang membelenggu di dada. Air mata kubiarkan merebak dari kedua sudut.Mas Ardi yang mendengar amukanku seketika bangkit dan meminta agar aku memelankan suara."Tenang Ze, kita memang perlu bicara. Tapi Mas harap kamu bisa mengontrol emosimu. Ada Mamaku yang harus kita jaga perasaannya di rumah ini."Aku menarik napas dan memilih duduk di atas ranjang. Mas Ardi ikut duduk di sebelahku. Kedua tangannya saling menyatu lalu
POV ArdiAku mengenal cinta, tepatnya ketika duduk di bangku kuliah. Namanya Seruni. Cantik dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di kampus. Dia juga punya segudang prestasi, mulai dari olimpiade antar kampus hingga penghargaan bergengsi lainnya yang diadakan baik di dalam maupun di luar universitas.Banyak yang kagum padanya, tapi entah kenapa dia memilihku sebagai kekasih. Tapi semua hancur saat kedua orang tua Seruni justru menjodohkannya dengan lelaki lain.Aku seperti kehilangan arah hidup. Melihatnya bersanding di pelaminan bersama lelaki lain rasanya begitu menyesakkan dada.Tapi berselang beberapa bulan setelah itu, Mama yang khawatir aku bakalan kehilangan semangat hidup segera mencari pengganti Seruni.Namanya Zearetha Bilbis. Gadis shalihah dengan latar belakang agama yang kuat. Dia memang menantu idaman, tapi tidak bisa menjadi istri idaman untukku. Semua ini
"Apa Ardi ada di rumah Ze? Soalnya tadi Om lihat dia ada di salah satu rumah makan di Bandung sama perempuan, Om kira sama kamu. Tapi Om nggak bisa berhenti soalnya lagi antar bos."***"Dalam agama Islam, pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan.Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk rumah tangga saja. Ada beberapa tujuan pernikahan yang seharusnya dipahami oleh umat muslim. Salah satu diantaranya adalah membentengi diri dan menundukkan pandangan.Pernikahan merupakan ibadah yang bertujuan untuk menjaga kehormatan diri dan terhindar dari hal-hal yang dilarang agama. Menikah juga dapat membuat kita lebih mudah untuk menundukkan pandangan sehingga lebih mudah terhindar dari zina. Sebagaimana yang terse
Harusnya aku tak di sini, entahlah hati jadi kepikiran Ze. Ingin rasanya memberi kabar, tapi bukankah kami sudah bercerai. Padahal serapapun cueknya aku selama ini. Jika terlambat pulang selalu memberi tahu. Itu sesuai permintaan Ze. Alasan simple banget, supaya makanan bisa hangat saat dihidangkan dan yang paling penting supaya dia Ze terus melek menanti kepulangan suami tercinta.Benak Ardi terus meracau.Jujur, selama ini wanita itu cukup memberi perhatian. Hanya saja Ardi sendiri yang berusaha menolak segala perhatian itu. Dengan satu tujuan untuk menjaga cinta kepada Seruni. Ah, mungkin lebih tepatnya untuk menghindari jatuh cinta pada Ze.Dan jika biasa Ze lah yang selalu khawatir, maka malam ini sempurna kekhawatiran itu dirasakan Ardi. Tapi kenapa?"Ponselku diambil mantan suamiku, Mas. Dia kejam banget, maksa aku nerima dia
Ardi tersentak dari tidur, dia melirik jam."Astaghfirullah, jam tujuh?"Dengan bersegera lelaki itu beranjak dari atas ranjang, lalu berlari cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Padahal hari ini adalah hari penting dimana dia akan menjadi pemimpin upacara dalam rangka memperingat Hari Kelahiran Pancasila. Tapi kenapa bisa terlambat?Ardi mendesah sebal.Usai membersihkan diri, dia menggelar sajadah. Semenjak menikah, bertemu sang khalik selalu rutin dilakukan. Meski terlambat, rasanya aneh jika dahi belum menyentuh sajadah saat bangun tidur."Assalamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah."Walau sebentar harus menyempatkan diri menengadahkan tangan."Ya Allah-"Ucapan Ardi terhenti. Jika biasa dia kerap meminta agar Allah membuka kesempatan agar suatu saat
"Hallo.""Hallo Mas, kamu dimana?""Aku di sekolah, lagi banyak kerjaan. Kenapa?""Mas bisa ke hotel nggak?"Suara Seruni terdengar terengah-engah."Kamu kenapa?"Kini wanita itu justru terisak."Mantan suamiku mau ketemu sama kamu, Mas. Kamu bisa kemari 'kan?"Perasaan Ardi langsung tak enak."Dia sudah tahu keberadaanmu?""Sudah, Mas. Dia menunggumu di hotel ini."Ardi menarik napas dalam. Seruni akan dalam bahaya, jika ia abaikan dan mengikuti kata hati untuk menemui Ze. Mungkin mengabaikan mantan istri saat ini adalah jalan keluar terbaik."Iya, katakan aku akan datang sesaat lagi."Segera Ardi membanting setir menuju hotel. Lima belas menit perjalanan, dia sampai di parkiran. Pelan menarik napas dan bers