Share

2. Memergoki Mas Ardi

Hati Ze getir terasa, harus dia apakan pesan ini? 

Sesuatu melintas begitu saja dalam benak. Lalu jemari dengan cepat mendownload sebuah aplikasi penyadap w******p di Playstore. Setelah membuka aplikasi itu, Ze mencari barcode seperti ketika membuka W******p Web lanjut melakukan scan terhadap ponsel Ardi.

Tak lama, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Sepertinya Ardi kembali untuk mengambil ponsel. Lekas Ze menyimpan kembali benda itu di bawah bantal lalu berjalan sampai ke pintu.

"Ada apa, Mas? Kok balik?"

"Ponsel Mas ketinggalan di sofa kayaknya," ucap Mas Ardi yang sudah memasuki halaman.

"Bentar Mas, coba aku cari dulu."

Degan mengumpulkan segenap rasa tegar Ze berjalan ke ruang tamu, lalu menyibak bantal hingga kembali memegang ponsel Ardi.

"Ada Mas ini di atas sofa," ucapnya pura-pura baru menemukan. Segera Ardi mendekat dan menyerahkan ponsel itu.

"Untung belum jauh. Yaudah Mas berangkat dulu, ya."

"Iya Mas, hati-hati."

Selepas kepergian Ardi, Ze mendapat telpon dari Sandy. Sepupu suaminya.

[Hallo, Dek.]

[Mas Ardi udah berangkat belum Mbak? Aku hampir sampai ke rumah ne.]

[Udah Dek. Baru aja. Yaudah Mbak tunggu ya.]

Ze segera kembali ke kamar lalu memasukkan dua pasang pakaian dalam tas. Memastikan rumah aman, lalu mengunci pintu. Selang lima menit, Sandy sampai. Belum sempat gadisnitu masuk ke dalam, Ze terlebih dahulu menyapanya.

"Dek, bisa antar Mbak nggak?"

"Mau kemana, 'Mbak?"

Ze terdiam sejenak, ia sudah berniat untuk membuntuti Ardi sampai ke Bandung.

"Ke Bandung, Dek."

"Ke Bandung, ngapain? Bukannya Mas Mas

Ardi baru berangkat ke sana?"

"Iya. Justru itu Mbak mau nyusul. Mbak pengen kasih surprise untuk Mas Ardi di sana. Ayolah Dek, temani Mbak bentar."

"Yaudah, deh. Tapi aku cuma bisa nemani semalam doank. Karena besok sore mau ketemu dosen pembimbing untuk konsul proposal."

"Iya semalam aja juga boleh kok. Tapi kalau ditelpon Mas Ardi, jangan bilang kita ke Bandung. Nanti kita cari hotel dekat sama hotel beliau aja."

"Yaudah deh, terserah Mbak aja."

Sandy segera turun dari motornya dan menghidupkan mobil Ardi. Perjalanan dimulai, lebih dua jam akhirnya mereka sampai di Bandung. Ze segera memberitahu Sandy hotel yang dipakai sekolah suaminya sebegai tempat untuk menginap.

Bersyukur, dekat dengan hotel itu ada sebuah penginapan lain yang bisa mereka tuju.

"Mbak, aku istirahat bentar, ya," ucap Sandy yang full nyetir seorang diri. Ze mempersilahkan agar gadis itu beristirahat. Sedang dirinya memilih duduk di dekat jendela, memandang ke luar dengan pikiran tak menentu hingga getaran ponsel membuyarkan lamunan.

Lekas jemari meraih benda itu dan membuka chat Ardi dengan Seruni. Dengan jantung yang semakin berdetak kencang wanita tersebut membaca pesan yang ditujukan Ardi untuk wanita masa lalunya.

[Hai.]

Tak lama, sebuah balasan pun tertuju. Ze semakin beristighfar dalam hati.

[Hai.]

[Akhirnya dibalas juga pesanku.]

[Sengaja. Biar kamu tahu gimana rasanya dicuekin.]

[Siapa yang nyuekin.]

[Lupakan aja.]

[Eh, ngomong-ngomong apa kabar, ne?]

[Tidak baik.]

[Kenapa?]

[Karena kamu.]

Ze menelan ludah, rasa sakit semakin dalam menghujam dada. Lelaki yang ia cintai, sedang merayu wanita lain. Dia pejamkan mata perlahan, tak menyangka jika Ardi yang terkenal dingin bisa seperti ini pada wanita lain.

[Karena aku? Apa salahku?]

[Karena kamu terus mengabaikanku. Aku rindu.]

Ze kembali menarik napas dalam. Hancur sudah harapannya untuk sampai ke Jannah bersama suami tercinta. Kata rindu yang tak pernah tertuju untuknya kini terungkap untuk wanita lain.

[Kau sudah beristri, Mas. Apa wajar aku membalas inboxmu itu?]

[Memangnya kenapa? Aku hanya mengatakan apa yang kurasa, aku merindukanmu. Apa itu salah? Atau aku harus minta ijin istriku untuk merindukanmu?]

Tak dapat terbendung, air mata mengalir di kedua pelupuk. Jadi begini Mas Ardi jika bersama wanita itu? Rasanya tak sanggup kumeneruskan, tapi harus kuat, demi mengumpulkan bukti.

[Oke, anggap saja tak perlu ijin. Terus apa yang kamu mau? Mengakui bahwa dalam hal ini aku bersalah?]

[Iya, harus.]

[Nggak pernah berubah. Dasar manja.]

[Aku manja hanya denganmu.]

[Benarkah? Lalu istrimu?]

[Dia ... rumahku.]

[Kalau begitukah kenapa masih menginginkan rumah yang lain?]

[Dimana?]

[Apanya?]

[Ketemu?]

[Pertanyaanku yang tadi belum kamu jawab.]

[Sudah jangan bahas rumah tanggaku. Fokus pada kita.]

[Okelah]

[Terus dimana?]

Ze menanti balasan wanita itu.

[Di hotel.]

"Aaaaaa ...!"

Ze menjerit kuat membaca tawaran tempat bertemu yang diberikan Seruni, sesak terasa di dada membaca balasan itu.

"Mbak, ada apa?"

Sandy terkejut karena teriakan Ze.

"Nggak Dek, cuma tangan Mbak kejepit pintu."

"Oh perlu diobatin nggak?"

"Nggak usah, Mbak obatin sendiri aja. Kamu tidur lagi aja ya."

"Oke, Mbak."

Ze kembali menatap layar ponsel. Kira-kira seperti apa tanggapan Ardi.

[Kapan?]

[Aku bercanda, Mas. Kita ketemuan di Cafe biasa ya. Malam ini jam sembilan.]

[Oke.]

[Bye.]

[Bye.]

Ada rasa lega karena Seruni tidak serius mengajak ketemuan di hotel. Tapi tetap saja mereka sudah melanggar.

*

Malam membentang, sedari tadi Ze tak bisa duduk tenang. Menunggu jam tepat berdetak di pukul sembilan rasanya benar-benar melelahkan.

"Mbak kenapa sih daritadi kelihatan gelisah gitu?"

"Deg-degan nunggu jam sembilan," jawabnya dengan perasaan yang tak tergambarkan. Bisakah ia memergoki mereka malam ini, atau akan terlewatkan dan harus merelakan malam ini?

Ze menghela napas panjang.

"Emang kejutannya apa sih yang mau Mbak berikan untuk Mas Ardi? Soalnya daritadi aku lihat, Mbak nggak beli apapun."

"Kejutan itu 'kan nggak selalu berwujud benda, Sayang. Dengan kehadiran Mbak di sisinya, semoga akan menjadi kejutan yang lebih membahagiakan buat Mas Ardi."

"Cuit, cuit, yang jomlo nganan dulu ah."

Sandy membercandai, tapi Ze hanya bisa tersenyum kecil. Hati masih porak-poranda.

Tepat ketika detak jam di dinding menunjukkan tiga puluh menit kurang dari pukul sembilan malam, Ze mengajak Sandy ke hotel yang ditempati Ardi.

Mobil Mas Agung masih terparkir di parkiran, mereka berhenti tak jauh dari hotel itu. 

"Mbak nggak turun?" tanya Sandy yang kelihatan lebih deg-degan.

"Tunggu sebentar lagi."

Sudah tepat jam sembilan, tapi Ardi belum juga keluar. Dan tidak ada kendaraan lainnya yang memasuki hotel.

"Ini udah lewat pukul sembilan, Mbak. Nanti Mas Ardi keburu tidur."

"Sabar dulu, ada tanda nanti."

"Tanda apa, Mbak?"

Tiba-tiba mobil Mas Agung keluar dari pekarangan hotel dan melewati mobil Ze yang diparkir di tempat sedikit gelap.

"Ikuti mobil itu, Dek."

"Lo nggak jadi kasih kejutan?"

"Itu yang di dalam mobil itu Mas Ardi, Dek."

"Benaran?"

"Oya, cepatan. Nanti keburu hilang jejak."

"Oke."

Sandy segera tancap gas. Hati Ze masih gemuruh tak karuan.

Bagaimana jika di dalam mobil itu bukan Mas Ardi? Tapi tidak mungkin. Mereka janjian di luar hotel, artinya suamiku harus pinjam mobil temannya untuk bisa ke tempat tersebut. Bismillah, semoga dugaanku benar.

Mobil Mas Agung berhenti di sebuah hotel lainnya. Karena kejebak sebuah mobil, Ze dan Sandy harus menunggu sejenak untuk bisa menyusul ke hotel itu. 

"Mbak turun sendiri atau aku harus ikut?"

"Mbak sendiri aja, kamu tunggu di mobil ya."

"Oke."

Setelah lebih sepuluh menit, mereka terbebas dari macet. Ze turun dan berjalan menuju resepsionis. Mengumpulkan keberanian untuk menanyakan kemana lelaki yang baru masuk beberapa menit yang lalu.

Tak lama ...

"Ze?"

Ze terperangah menatap siapa yang kini ada di depan mata.

***

Bersambung

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status