Share

4. Di hadapan Orang Tuanya

Namaku Zearetha Bilbis. Aku terlahir sebagai yatim. Dan tepat enam tahun usiaku, ibu yang paling kusayangi ikut bersama ayah menghadap Yang Maha Kuasa. Paman dan istrinya lah yang membesarkanku. Mereka hanya punya satu orang anak perempuan dan sangat ikhlas untuk menggantikan mama dalam merawatku.

Dua tahun yang lalu, tepatnya di malam syahdu selepas memberlangsungkan pernikahan.

"Kamu mau 'kan kita menundanya?"

Sebuah pertanyaan aneh yang muncul dari bibir seorang lelaki bergelar suami. Bagiku aneh dia bertanya begitu, sebab ini adalah malam pertama kami. Malam dimana semua pengantin berlomba-lomba mencari pahala. Tapi dia, justru meminta agar kami menundanya.

Saat itu, aku setuju saja. Awalnya kupikir karena kami butuh waktu untuk saling kenal, sebab ya pernikahan ini terjadi atas perjodohan. Ibunya teman baik dengan istri pamanku. Arsyi anak paman tak mungkin lagi dijodohkan berhubung dia sudah punya tunangan, hanya tersisa aku. Gadis berusia tiga puluh tahun yang belum jua cocok dengan pinangan manapun.

Dua bulan pernikahan, kami masih terlihat canggung. Meski satu ranjang tapi tak pernah bersama.

Memasuki bulan ketiga, dia masih dingin. Ternyata Mas Ardi membuat pengakuan, bahwa alat kelaminnya sedang bermasalah.

"Apa harus ke dokter?" tanyaku kala itu.

"Mas sudah mengkonsumsi obat herbal jadi tidak perlu lagi ke dokter," jawabnya yang menurutku tidak masuk akal karena aku tidak pernah melihatnya mengkonsumsi obat apapun.

Dari sana, dia memutuskan untuk pindah kamar, katanya supaya lebih aman demi penyembuhan kelainan pada alat reproduksinya. 

Aku kembali bersabar hingga masuk bulan kelima, dia mendatangiku. Malam itu dia minta ijin untuk melakukan hal yang seharusnya ia lakukan di malam pertama kami. 

Tanpa berpikir aneh, aku langsung setuju. Dan setelah malam itu, dia memutuskan untuk kembali sekamar denganku, dengan alasan penyakit yang dia derita sudah sembuh.

Hubungan kami sangat baik, walaupun dia kelihatan dingin. Bahkan hingga dua tahun pernikahan, jalan pikirnya masih sangat sulit kuterka.

Kupikir semua itu tabiat. Tapi kenapa, dia tidak suka aku mendekatinya dan hanya akan mendekatiku ketika dia mau?

Awalnya aku menolak, tapi perlahan sudah terbiasa. Dan hari ini aku baru tahu ternyata dia mendekatiku pada saat rasa rindu untuk wanita itu tengah merasuk jiwa.

Ternyata aku hanya pelampiasan.

Oke jika memang dia adalah cinta pertama suamiku, tapi apa kurangku hingga tidak bisa menggeser posisi wanita itu di hatinya? 

Sakit, tak dapat kugambarkan bagaimana lagi wujud hati ini. Ingin aku menyerang mereka semalam, yang sudah tega mendua di belakang. Tapi apa yang kudapat, wanita itu akan menang. 

Kenapa memangnya, lepaskan saja dia. Pengkhianat tak bisa diberi ampun.

Tidak, tidak.

Bukan perpisahan yang kuinginkan dari pernikahan ini. Tapi mengembalikan hati Mas Ardi yang telah salah melangkah.

Bisakah? 

Entah, aku hanya mampu menggantungkan harap pada Illahi agar bersedia menjaga keutuhan rumah tangga ini.

*

"Udah Mbak ketemuannya?"

"Mbak kehilangan jejak Mas Ardi, San."

"Astaghfirullah, yok aku bantu cari, Mbak."

"Nggak usah, kita balik aja."

"Serius Mbak? Nggak jadi kasih surprise?"

"Nggak, nanti di rumah aja deh."

"Oh gitu, yaudah."

Kami kembali ke hotel. Satu setengah jam berlalu, akhirnya pesan dari lelaki itu sampai padaku. Kubuka dengan perasaan berkecamuk, antara marah dan sakit. Tapi entah kenapa tak ada satu titik pun air mata yang mau singgah di pipi. 

[Udah tidur?]

Aku menelan ludah, menarik napas dan menggerakkan jemari untuk mengirim balasan.

[Belum.]

[Mas telpon, ya.]

[Iya.]

Dua tahun bersama, saat dia dinas keluar kota tak pernah kudapati dia menelpon lebih dulu. Harus aku. Tapi kali ini, apa dia terlalu berbahagia hingga perlakuannya padaku juga berubah?

[Lagi ngapain?]

[Duduk, Mas.]

[Kenapa belum tidur, kan udah jam sebelas?]

[Perasaanku sedang nggak enak, Mas.]

[Kenapa?]

[Entahlah, aku merasa seperti ada sesuatu yang mencoba mengusik hidupku.]

[Siapa?]

Suaranya tampak bergetar.

[Aku belum bisa membacanya, Mas.]

[Hem, udah shalat?]

[Udah.]

[Yasudah, tidurlah. Supaya pikiran lebih tenang.]

[Iya.]

[Ze?]

[Hem.]

[Maaf, ya.]

[Untuk apa?]

[Untuk semuanya.]

Kali ini kalbuku bergetar, yang sedaritadi sangat kuat kini mulai goyah. 

[Iya.] Suaraku mulai bergetar.

[Selamat tidur.]

[Selamat tidur, Mas.]

Kuletakkan ponsel di atas meja, bangkit memandangi diri di depan cermin. Apa aku kurang cantik atau kurang perhatian? Hingga Mas Ardi masih terpesona dengan wanita masa lalunya itu?

*

Pagi membentang, aku dan Sandy sudah bersiap-siap akan kembali ke Jakarta. 

Mas Ardi?

Entahlah, semoga dia bisa tidak terlena dengan bisikan iblis yang menyesatkan.

Baru satu jam perjalanan, ibu mertua menelpon.

[Hallo Ze, dimana?]

[Lagi di jalan Ma, sama Sandy.]

[Ze, tolong datang ke rumah Mama, ya. Ada yang Mama mau bicarakan sama kamu dan Ardi.]

[Tentang apa, Ma?]

[Nanti di rumah Mama beritahu, datang ya, Ze. Ardi sudah Mama telpon tadi katanya pulang dari Bandung nanti langsung ke rumah Mama.]

[Iya, Ma.]

Aku menutup telpon, ada apa kiranya, kenapa begitu membuat rasa penasaran membumbung tinggi?

Sampai di rumah pukul satu siang, Sandy langsung pamit pulang ke kosannya karena akan bertemu dospen sore ini. Setelah beristirahat sejenak, aku langsung bersiap-siap ke rumah ibu mertua.

Tepatnya sore selepas ashar, aku berangkat. Sampai di sana, begitu terhenyak melihat ibu mertua terbaring di atas ranjang.

"Astaghfirullah, Mama kenapa?"

"Mama kenapa, Ma? Maaf satu bulan ini aku dan Mas Ardi nggak sempat berkunjung."

"Iya, Mama tahu kok Ardi sedang sibuk. Makasih ya kamu udah mau mendampingi anak Mama. Mama bahagia banget lihat Ardi yang sekarang."

Aku memaksakan diri tersenyum, walau sejujurnya air mata mendesak ingin keluar. Kukerjapkan mata beberapa kali supaya tidak ada cairan yang merembes dari pelupuk. 

Dari kecil aku sudah kehilangan sosok seorang Mama, kini setelah menikah Allah memberi ibu mertua rasa ibu kndung. Beliau adalah wanita yang istimewa. Tapi jika mengingat anaknya, hati terasa perih.

Ibu mertua terlihat lemah, ia memintaku untuk menanti kepulangan Mas Ardi. Sebab ada sesuatu yang ingin disampaikan tapi dengan kami ada di hadapannya. Aku hanya duduk menanti. 

Sedang ibu mertua tidak sanggup banyak bicara. Tepat jam sembilan malam, Mas Ardi sampai.

Syukurlah, mama menjadi alasan ia tidak berlama-lama lagi di Bandung.

"Ma ...."

Mas Ardi menyalami sang ibu dan mencium telapak kaki wanita itu. Ada sesuatu yang membuat kedua netra ini kembali menghangat. Dialah lelaki yang terlihat begitu mulia, tapi tega mengkhianati istrinya.

Mas Ardi memandangiku sejenak dan tersenyum, aku hanya menunduk tanpa membalas senyumannya. Kembali terasa sakit jika mengingat apa yang sudah dia lakukan bersama wanita bernama Seruni.

"Mama kenapa? Maaf sebulan ini Ardi nggak sempat pulang."

"Tidak apa-apa, Sayang. Mandilah dulu supaya lebih segar."

Mas Ardi mengangguk.

"Pergilah temani suamimu," ucap beliau padaku. Rasanya enggan tapi kuikuti jua permintaannya. Aku menyusul Mas Ardi ke kamar.

"Mama kenapa?" tanyanya sembari membuka kancing baju.

"Penyakit jantungnya kumat."

Mas Ardi terdiam sejenak. Baju yang ia kenakan telah terlepas.

"Habis ini kita bawa Mama ke rumah sakit."

Aku hanya terdiam, membiarkannya berlalu ke kamar mandi. Diri rebah di atas ranjang. Rasanya lelah dan tidak ingin melayaninya.

Tapi sebagai wanita yang masih bergelar istri, aku masih punya tanggung jawab. Kuabaikam rasa sakit dan melayani Mas Ardi seperti biasa. Keluar dari kamar untuk membuatkan segelas teh hangat. Kembali duduk di atas ranjang menunggunya selesai membersihkan diri.

"Shalat dulu aja, Mas," tawarku padanya begitu Mas Ardi keluar dari kamar mandi. Ia mengangguk tapi tak lekas naik ke atas sajadah. Justru memandangku beberapa lama.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

Mas Ardi menggeleng dan naik ke atas sajadah. Aku menunggui. Usai shalat, kami kembali ke kamar Mama.

"Kita ke rumah sakit ya, Ma."

"Nggak usah, Mama udah minum obat kok. Mama cuma mau bicara sama kamu dan Ze. Kemarilah."

Aku dan Mas Ardi duduk berdampingan.

"Bagaimana rumah tangga kalian? Apa selama ini ada masalah?"

"Bukankah hal ini sudah Mama tanyakan setiap bulan?"

Ibu mertua tersenyum.

"Iyaya, Mama lupa."

"Kami baik-baik aja, Ma."

"Syukurlah. Oya, bagaimana kandunganmu, apa sudah berisi?"

Dua netra ini membelalak, lalu aku dan Mas Ardi saling bertatapan sejenak.

"Belum rejeki, Ma," jawab Mas Ardi.

"Sudah ke dokter?"

"Belum, Ma."

"Coba periksa ke dokter. Jika salah satu diantara kalian tidak subur, bisa segera diobati. Mama pengen menimang cucu."

Aku terdiam, Mas Ardi tampak menggenggam jemari sang ibu.

"Iya, Ma. Nanti aku akan ajak Ze ke dokter."

"Terima kasih, Sayang. Sekarang kamu Ze."

"Iya, Ma."

"Katakan dengan jujur apa selama ini Ardi pernah menyakitimu?"

Aku seketika menatap Mas Ardi.

"Nggak, Ma."

Mama menghela napas.

"Mama senang dengarnya. Pokoknya kalian harus bisa melewati badai rumah tangga dengan baik, hingga bisa menua bersama. Mama sama Ayah dulu juga gitu, kami dijodohkan. Sama-sama nggak cinta bahkan sudah punya pilihan hati masing-masing. Tapi Alhamdulillah, setelah melewati tahun pertama pernikahan, rasa cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Memupuk subur hingga kini. Mama yakin kalian akan mengikuti jejak kami, asalkan terus bina komukasi yang baik. Dan jangan gengsi-gengsian."

Mas Ardi menggenggam tanganku. Aku menatapnya dengan hati terluka.

"Kami akan menjalankan amanah ini, Ma?"

Kembali ia menatapku.

"Terima kasih, Anakku."

*

Entah bagaimana akhir kisah kami, yang aku tahu menikah adalah ibadah terlama seumur hidup. Aku akan mengabdikan diri pada lelaki yang kini sudah menjadi imamku. Lantas, bagaimana jika pernikahan bukan lagi tentang cinta dan pengabdian, tapi untuk menjaga perasaan orang lain?

Sudah sepuluh menit kami duduk di kamar tanpa sapa. Ia sibuk dengan laptopnya dan aku getar getir ingin meluapkan perasaan.

Akhirnya, kuberanikan diri.

"Siapa Seruni, Mas?"

Pertanyaanku membuatnya terhenyak, jemari yang sedari tadi menekan tombol keyboard seketika terhenti. Ia kini menatapku.

Kukeluarkan ponsel dan menampakkan semua foto yang kuambil semalam saat dia rumah sakit.

"Katakan dengan jujur Mas, siapa Seruni?"

***

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
udah tingal aja suami tamak itu sudah punya istri klirik perempuan lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status