Share

Gadis Korban Perkosaan

Begitu membuka pintu, telah berdiri dua orang di depanku. Satu orang wanita paruh baya, satunya lagi seorang perempuan kisaran usia 20 tahun, sepantaran denganku. Cantik, dan mataku menyipit melihat tangannya memegangi perut yang agak buncit. Hamil atau hanya kelebihan lemak di perutnya? Sepertinya dia hamil. Kalau timbunan lemak, sangat tak masuk akal karena tidak proposional dengan tubuhnya yang kurus.

Siapa mereka? Apa jangan-jangan, dokter yang dipanggil tadi untuk memeriksa perempuan cantik ini, yang ternyata adalah simpanan Mas Yusuf? 

Ah, ini gila. Prasangkaku sudah di level akut. Belum lagi aku dapat jawaban siapa wanita di bilik lain lantai dua, sekarang ada perempuan cantik yang datang ke rumah kami. Hamil pula!

Mas Yusuf, siapa kamu sebenarnya?

"Si, si, siapa?" tanyaku. Sambil mengamati perempuan cantik di hadapan. Jujur, kecantikan yang alami, khas gadis desa tanpa polesan make-up itu membuatku iri dan cemburu.

Kalau aku jadi Mas Yusuf, aku pun pasti juga akan jatuh cinta padanya. Namun, bukankah itu salah. Apa suamiku itu sengaja memilihku sebagai istrinya, karena aku dianggap polos lantaran lulusan pesantren? Dengan begitu aku akan mudah ditipu dan hubungannya dengan perempuan cantik ini berjalan dengan lancar.

"Oh, saya sudah terbiasa ke sini, Bu. Eh, Non." Wanita paruh baya menyahut pertanyaanku. Yang kutanya mereka ini siapa, bukan kegiatan yang biasa mereka lakukan.

Apa ibu ini sengaja menjawab dengan retorika, eh maksudku tauriyah dalam balaghoh. Seperti penjelasan ustazah dulu, ada tipe-tipe orang yang pandai bicara dan mengecoh lawan bicaranya. Ibu ini sengaja membuat pernyataan yang tak jelas maknanya, hingga aku tak memahami itu secara jelas.

"Ke mari? Setiap hari?" Baiklah kuikuti saja permainan ini. 

Kalau benar dugaanku, Mas Yusuf hanya memanfaatkanku, aku tak akan tinggal diam. Tak peduli aku mencintainya atau tidak. Aku akan menjebloskannya ke dalam penjara karena telah menjebak gadis baik-baik sepertiku.

Ibu itu mengangguk. Lalu kualihkan tatapan pada puterinya, dan dia tersenyum padaku. 

Ya Rabb ... cantik sekali. Senyumnya sangat manis. Kenapa sakit melihat wanita lain lebih cantik dariku?

"Kami yang membersihkan rumah ini."

"Oh." Mulutku membulat. Lalu mengajak mereka masuk karena terlalu lama berdiri di depan pintu.

Setelah menutup pintu, dua wanita itu berjalan begitu saja ke arah dapur. Tanpa permisi padaku? Keningku sampai berkerut-kerut. 

Aku pun mengikuti mereka dengan penuh tanya. Barangkali mereka memang sudah terbiasa di rumah ini. Ah, kamu tak boleh lengah Hanna.

Ibu dan anaknya itu berjalan melewati Mas Yusuf yang tampaknya sibuk dengan gawainya. Dia pasti tengah menghubungi dokter itu, mengubah rencana karena aku tak jadi meninggalkan rumah.

"Mari Tuan." Ibu itu mengangguk lalu berjalan begitu saja melewati Mas Yusuf, bersama sang perempuan cantik.

Suamiku hanya membalas anggukannya. Seolah tak peduli pada kehadiran mereka. Ini aneh. Berarti dugaanku salah lagi? Mereka ke sini memang hanya bersih-bersih. Pantas saja rumah ini selalu tampak rapi.

"Dik, Mas berangkat dulu, ya." Mas Yusuf kini bangkit dan mendekat padaku. Pria itu mengulurkan tangan, dan aku segera meraih untuk dicium bagian punggungnya.

"Iya, Mas." 

"Baik-baik di rumah," ucapnya sembari tersenyum mengusap kepalaku.

Dia yang semalam dingin, kenapa bersikap seperti ini? Kamu sangat membingungkan, Mas. Apa kamu sengaja mempermainkanku? Aku terus bertanya dalam hati, dengan tatapan ke arah saku, di mana ponsel itu diletakkan. Kalau saja aku punya indera ke-enam, dan tahu isi semua ponselmu. Pasti hatiku tak segundah ini sekarang.

Ah, kalau punya indera ke-enam, hal pertama yang kulakukan adalah mencari tahu isi bilik di lantai dua. Saking senewen pada pradugaku sendiri aku jadi berpikir yang tidan-tidak.

Langkahku mengikuti Mas Yusuf yang berjalan ke arah pintu. Saat itulah kutanyakan mengenai dua wanita tadi.

"Mas mereka bantu-bantu? Sampai jam berapa?" tanyaku.

"Mas gak tau, Dik. Cuma setelah semua beres Mas izinkan mereka pulang."

"O ...."

"Apa Dik Hanna terganggu dengan mereka? Kalau memang terganggu, biar Mas berhentikan."

"Oh, nggak. Nggak, Mas!" ucapku cepat. "Kasian nanti mereka kehilangan pekerjaan," ucapku yang sok baik. 

Meski itu juga salah satu alasannya, tapi alasan utamanya adalah jelas, aku tak mungkin bisa mengurus rumah sebesar ini sendirian.

"Hem. Ya, sudah. Mas pergi dulu." Pria tampan itu tersenyum tipis. Aku senang dia tersenyum untukku. Hanya untukku. Entah, bagaimana kalau nanti ada kenyataan lain bahwa senyumnya itu juga milik orang lain. Apa aku akan sanggup.

"Assalamualaikum," ucapnya yang menjauh dari pintu.

"Waalaikumsalam."

Aku mendesah menatap punggung lebarnya yang bergerak ke arah mobil.

Mas, Mas. Kamu pria yang nyaris sempurna. Tampan, santun, sholeh dan baik. Kalau saja tak ada bilik itu dan kamu tak menolakku semalam, hidupku pasti sangat sempurna sekarang ini.

Selepas mobil yang dikendarai Mas Yusuf keluar dari pekarangan rumah yang luas dan hilang dari tatapan, aku pun berjalan ke dapur. Barangkali bisa mengorek info dari mereka.

Saat memasuki area dapur wanita paruh baya tengah membereskan meja makan bekas kami sarapan. Sementara perempuan muda tengah mencuci perabot di wastafel.

"Bu ...." panggilku pada si ibu.

"Panggil bibi aja, Non." Si ibu menyahut cepat. Bahkan aku belum selesai bicara.

"Ah, ya. Bibi." Kuturuti kemauannya.

"Maaf saya sambi, ya, Non," ucapnya lagi sambil bergerak ke arah wastafel.

"Iya, Bi," jawabku.

"Oya, Non yang katanya baru nikah sama Tuan?" tanya Bibi itu. 

"Hem, iya, Bi. Baru sehari." Aku tersenyum. Ada perasaan senang karena telah menyandang gelar seorang istri. 

Coba saja kalau teman-temanku di pesantren tahu aku menikah, pasti bakal heboh satu asrama. Sayang, aku putus kontak sejak memutuskan keluar pesantren karena lamaran Mas Yusuf.  

Entah, bagaimana ceritanya Mas Yusuf ini mengenalku. Rasanya aneh karena selama ini aku berada di pesantren. Namun, yang kuyakini, namanya jodoh itu meski yang satu di Artika dan satunya lagi di Antartika, keduanya pasti akan bertemu di pelaminan.

"Non, cantik," puji si Bibi. Saat menoleh ke arah anaknya perempuan mengangguk sambil tersenyum. Seolah mengaminkan ucapan Bibi. Gadis itu tampaknya pemalu.

"Makasih, Bi. Kan aku wanita," kelakarku yang membuat Bibi tersenyum.

"Non beruntung. Dinikahi pria sebaik Mas Yusuf. Anak bibi ...." Wanita itu menoleh ke arah puterinua dengan tatapan kesedihan.

"Ya?"

"Puteri bibi korban perkosaan." Ucapan wanita itu membuatku terkejut.

"Dia jadi sangat pendiam, tak mau bergaul karena malu. Jadi bibi membawanya ke mana-mana." Wajah tua itu mengucap dengan mata berkaca-kaca. 

Ya Tuhan, kasihan sekali mereka. Hidup gadis itu pasti sangat berat.

"Dia sempat frustasi. Jadi gak gitu nyambung diajak ngomong, tapi meski gitu puteri bibi sangat penurut sama ibunya," lanjutnya.

Aku mengembus berat. Tak bisa membayangkan bagaimana menjalani hidup seperti anak Bibi. Rasanya jadi merasa bersalah karena sudah suudzon padanya.

Karena emosi, langkahku bergerak mendekat pada Bibi dan mengusap punggungnya agar mendapat ketenangan.

Sambil melirik pada puterinya yang kini mencuci benda-benda di wastafel dengan menunduk.

"Oya, Bi. Apa Bibi tau tentang gudang di lantai dua?" tanyaku mengalihkan perhatian. Tak tega melihat ekspresi wanita tua itu saat membahas anaknya.

"Gudang, Non? Di lantai dua?" tanyanya kemudian.

Aku pun mengangguk. 

Sementara Bibi malah menggeleng. "Saya dilarang Tuan Yusuf naik ke lantai dua, Non. Tugas kami hanya bersih-bersih di bawah."

"Oh, begitu." Aneh. Kenapa tak boleh dibersihkan juga? Dalam kurun waktu tertentu, pasti tempat itu akan berdebu. Juga perabot di lantai dua kan lumayan banyak.

"Tapi, Bibi tau ada gudang di sana?" tanyaku lagi.

Namun, lagi-lagi Bibi menggeleng. "Kami tidak pernah naik ke lantai dua, Non. Takut jika Tuan tahu, di semua sudut kan ada CCTV."

Aku mendesah. Tak ada info yang bisa kudapat dari Bibi. Padahal tadinya aku berpikir kalau ada yang bersih-bersih rumah, pasti tahu setiap sudut ruang di rumah ini. Namun, rupanya Mas Yusuf juga membatasi gerak mereka. 

Kalau begini tak ada jalan lain selain mendapatkan pasword pintu tersebut, tapi bagaimana cara aku mendapatkannya?

Bersambung

300 lope cuss bab 7😍

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Abdi Muradi
ini cerita kita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status