Obat? Siapa yang sakit? Sejauh ini aku melihat Mas Yusuf sehat-sehat saja. Dan lagi bukankah dia bilang tak lagi punya keluarga. Lalu untuk siapa obat itu?
Jangan-jangan ....
Lagi, pikiran ini traveling ke mana-mana. Walau bagaimana aku wanita biasa. Perlu kejelasan terhadap sebuah hubungan. Apa aku tak berhak tahu semua tentang dirinya?
Selama Mas Yusuf bicara pada dokter, aku terdiam dan berusaha mencerna apa yang sebenarnya mereka obrolkan.
"Tapi aman kan, Dok?" tanya suamiku.
Untuk siapa obat itu? Sakit apa sampai dokter yang menanganinya?
Anehnya, kalau aku tak boleh tahu, kenapa dia tak pergi menjauh saat bertelepon? Apa dia sengaja membuatku berpikir buruk tentangnya?
Ah, suami macam apa yang begitu?
"Oh, ya sudah kalau begitu, Dok. Ehm, nanti saya hubungi lagi. Saya tunggu," ucapnya mengakhiri panggilan.
"Kok nggak pakai salam?" Aku mengaduk nasi goreng di piring, bicara seolah sedang bermonolog.
"Hah?" Mas Yusuf kini kembali fokus padaku.
"Hem?" Aku mendongak. Melihat dua matanya melebar ke arahku.
"Ya, seharusnya saling sapa dengan salam."
"Hukumnya wajib?" tanyanya santai sambil kembali menyendok makanan lalu mengunyah perlahan.
"Ya, em. Enggak. Sih. Cuma ...."
"Ya, sudah. Walau aku bukan lulusan pesantren seperti kamu, tapi aku ngerti mana yang wajib dan nggak. Mana yang ditinggalkan dosa, dan mana yang nggak." Pria menjelaskan dengan tenang.
Ada apa dengannya? Apa dia tersinggung karena mendapat nasehat dari istrinya.
"Oh." Mulutku membulat. Menghadapi orang seperti Mas Yusuf harus sabar.
Meski dia adalah suamiku, pemahaman kami belumlah sama. Nanti, secara perlahan aku akan mengingatkannya bagaimana seorang muslim bisa mendapat pahala di setiap amaliyahnya, jika diniatkan ibadah dan mengikuti sunnah Rasul.
Dan alangkah baiknya saling mendoakan dengan mengucap salam. Tak harus mondok untuk membi'ahkan diri dengan sunnah. Islam kan bukan cuma di Pesantren.
Sepertinya Mas Yusuf salah memahamiku. Dia pikir aku merendahkannya mungkin, itu kenapa dia membahas mengenai hukum. Dia bahkan tak lagi menyematkan panggilan 'Dik' saat bicara. Ah, aku jadi sensitif begini. Gondok! Meski kupaksa senyum ke arahnya.
Sabar Hanna. Sabar ....
"Oya, hari ini Mas antar ke rumah Papa dan Mama, ya." Pria itu kini mengalihkan perhatian.
"Hem?"
"Bukannya, ponakan Dik Hanna sedang ulang tahun," sambungnya.
Sekarang dia manggil Dik Hanna, bukan pakai kamu. Dari sini aku mulai bisa membaca karakternya, cara bicaranya berubah kala merasa direndahkan. Yang artinya dia tak suka.
Aku sudah sering bertemu karakter seperti ini. Hanya saja, belum pernah sampai membuatku penasaran lantaran memiliki ruangan rahasia, ditambah sikapnya yang penuh tanya.
"Loh tauk?" Aku bertanya datar. Seolah tak curiga apa pun padanya.
"Iya, sekalian aja maksudnya. Kan Mas kerja searah dengan rumah Papa. Mas juga ingin lebih dekat dengan mereka." Pria itu kembali menjelaskan.
Heh. Aku tahu maksudmu, Mas. Aku yakin ini ada kaitannya dengan panggilan dokter tadi.
Buat apa juga kamu dekat sama keluargaku, Mas? Sedang niat dekat sama aku aja nggak. Kamu terus menolakku. Bahkan sejak bangun tidur sampai sekarang, tak kulihat tatapan dari matamu yang mengatakan bahwa kamu menginginiku sebagai seorang wanita.
"Oh, soal itu. Tapi, kami sudah janjian ngerayain di sini, Mas. Sesama keluarga saja. Katanya sekalian mau icip rumah baruku." Aku bicara sealami mungkin. Tentu saja aku belum bicara pada mereka mengenai ini.
Namun, bukan masalah jika harus meyakinkan mereka. Yang penting aku bisa memergoki Mas Yusuf.
Kenapa aku sangat yakin, di dalam bilik kedap suara itu, ada seseorang yang Mas Yusuf sembunyikan di sana. Dan dia sedang sakit. Itu kenapa Mas Yusuf meminta dokter datang membawa obat untuknya. Itu kenapa dia sangat bersemangat ingin mengantarkan ke rumah orang tuaku.
"Ah ... begitu rupanya," ucapnya pasrah. Aku bisa melihat raut kecewa di wajah suamiku. Yakin, deh. Kali ini Mas Yusuf pasti tengah memikirkan cara bagaimana menyimpan rahasianya agar tetap aman.
"Oya, siapa yang sakit, Mas. Tampaknya Mas sangat khawatir dengan pasien itu."
"Oh, itu peliharaan, Dik." Mas Yusuf tersenyum.
Cih. Peliharaan. Apa aku sebodoh itu? Jadi ini alasan kenapa dia dengan percaya diri menjawab telepon di depanku. Dia pikir, Hanna adalah perempuan alim, sholehah, penurut pada suami dan ... bodoh.
Ya, seperti pikiran kebanyakan orang, kalau santri itu punya pemikiran terbelakang dan mudah dikelabuhi. Padahal, di dalam asrama kami dididik hidup dengan keras, mandiri dan berinteraksi dengan banyak manusia. Dan aku ... adalah Hanna, bertahun-tahun hidup dengan mempelajari karakter dari sikap dan ekspresi di wajah-wajah mereka.
"Oh." Kini giliran mulutku yang membulat. Seolah percaya begitu saja padanya.
Mungkin ada bagusnya juga pria itu tak menyentuhku, dengan begitu ... saat aku tahu rahasianya nanti, dan menjadi sebab perpecahan kami hingga kami berpisah, aku masih bisa mempersembahkan mahkotaku pada suami yang memang benar-benar mencintaiku karena Allah.
Sedang asyik bicara, bel pintu berbunyi. Dahiku mengerut mendengar suara itu. "Siapa, ya?"
Mas Yusuf bangkit akan membukanya. Namun, dengan cepat kusergah.
"Biar aku saja, Mas. Mas Yusuf lanjutkan makan." Aku tersenyum sembari berdiri.
Pria itu pun mengangguk.
Begitu membuka pintu, telah berdiri dua orang di depanku. Satu orang wanita paruh baya, satunya lagi seorang perempuan kisaran usia 20 tahun, sepantaran denganku. Cantik, dan mataku menyipit melihat tangannya memegangi perut yang agak buncit. Hamil atau hanya kelebihan lemak di perutnya? Sepertinya dia hamil. Kalau timbunan lemak, sangat tak masuk akal karena tidak proposional dengan tubuhnya yang kurus.
Siapa mereka? Apa jangan-jangan, dokter yang dipanggil tadi untuk memeriksa perempuan cantik ini, yang ternyata adalah simpanan Mas Yusuf?
Ah, ini gila. Prasangkaku sudah di level akut. Belum lagi aku dapat jawaban siapa wanita di bilik lain lantai dua, sekarang ada perempuan cantik yang datang ke rumah kami. Hamil pula!
Mas Yusuf, siapa kamu sebenarnya?
Bersambung
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s