Share

Tampan tapi Dingin

Dari tangan kanan yang tak lagi tertutup apapun itu, aku bisa melihat bekas luka cakaran lebih jelas dari kemarin. Argh, bikin penasaran saja bekas cakaran siapa itu? Setelah nanti kami mulai akrab aku pasti akan menanyakannya. Rasanya sangat aneh jika tiba-tiba aku menanyakan itu sekarang.

Kenapa dia keramas segala? Kami bahkan tak melakukan apapun. Apa yang sebenarnya kamu perbuat di bilik itu Mas? Bermain dengan wanita lain? Atau kamu sedang melakukannya sendiri? Itu kenapa Mas Yusuf tak mau menyentuhku.

Lelaki itu terus berjalan ke arah almari, ia tampak tak memahami maksudku. Aku jadi bingung sendiri mau bertanya lagi. Masa iya aku tanya 'Kamu tidur sama siapa?' 

Kami bahkan belum seakrab itu, belum lagi dia yang tak mau menyentuhku juga penolakannya yang meruntuhkan seluruh harga diriku semalam. Padahal aku sudah mau cuek dan tak peduli soal dia masuk bilik itu, tapi kenapa malah sekarang keramas dan membuat pikiranku travelling ke mana-mana? Ini membuatku gila!

"Maksudku, kenapa Mas Yusuf em keramas?" Kan aku jadi tambah canggung. 

"Memangnya gak boleh?" tanya pria yang tengah menyisir rambut di depan cermin. Bicaranya sangat santai. Pantulan bayangan pria tampan itu kini tengah menatap padaku.

Heran. Apa memang hati dan otaknya terbuat dari batu sampai tak peka begitu? Apa dia tak tahu aktifitas keramas buat suami istri berarti mereka telah junub sebelumnya. Aku saja yang belum lama lulus pesantren ngerti. 

Atau karena aku saja yang terlalu bersemangat mempelajari kitab Qurrotul Uyun dan Fathul Izar? Jadi pikiranku seputar itu. Astagfirullah.

"Em. Maksudku, apa Mas semalam ... waktu aku tidur, ada di tempat lain dan melakukan sesuatu yang em, em. Em ...."

Mas Yusuf sampai berbalik dan melihat ke arahku. Menunggu lanjutan kalimat yang memang sangat sulit kuucapkan. Karena jika kalimat ini terlontar, bukan hanya jadi pertanyaan, tapi juga tuduhan bahwa dia sudah berselingkuh.

"Em?" 

"Em, apa Mas melakukan sesuatu yang mengharuskan mandi?" tanyaku ragu sambil memegangi rambutku sendiri.

Pria itu malah mendecak menaikkan sebelah bibirnya. Hiss. Ekspresi apa itu? Apa dia paham tapi tak mau jujur? Atau memang menertawakan pertanyaanku yang membuatnya geli? Kalau paham, harusnya dia marah karena aku berpikiran buruk tentangnya. Ini malah ....

"Sudah. Ayo, ambil air wudhu, Dik. Kita sholat bareng," ucapnya dengan mengalihkan perhatian. Tubuhnya kembali berbalik menghadap lemari, membukanya, dan mengambil pakaian dari sana.

Aku pun bangkit dengan isi kepala yang penuh pertanyaan. Bukan hanya apa yang terjadi di dalam bilik, tapi juga sikap Mas Yusuf yang misterius. Apa aku salah, menganggapnya tak pandai berbohong? Kenyataanya sekarang, pria itu bicara dengan sikap yang alami.

Atau jangan-jangan dugaan yang lain benar, dia ... seorang psikopat?

_____________

Mata ini terus melihat ke arah tangga, sambil memasak di dapur. 

Tak tenang karena Mas Yusuf tadi masih di kamar, katanya ada file yang harus diselesaikan sebelum berangkat ke kantor. 

Apa dia sedang masuk bilik aneh seperti tadi malam lagi? Pikiranku terus melayang ke sana. Aku menggeleng. Menepis pikiran buruk dan kembali fokus menyiapkan sarapan untuknya.

'Istigfar Hanna! Banyak-banyak ingat Allah biar gak suudzon muluk!'

Aku berdiri di depan meja besar yang sudah tertata bahan-bahan dari kulkas. Kalau memperhatikan sekeliling, banyak perabot mahal, letaknya rapi dan bersih. Rasanya tak mungkin jika Mas Yusuf tidak punya pembantu.

Aku mendesah sembari menyalakan kompor. Menata semua bahan yang sudah kusiapkan di dekat benda yang telah menyala tersebut, agar lebih mudah saat memasukkannya ke dalam wajan. Semuanya kulakukan dengan cepat, agar bisa segera naik ke atas. Melihat apa yang dilakukan suamiku.

Usai menyiapkan makan, aku segera melepas celemek dan bergerak cepat ke lantai. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara, dengan begitu bisa memergokinya saat berada di dalam bilik.

Namun, sampai di depan kamar, dugaanku salah. Mas Yusuf masih sibuk dengan laptop dengan pakaian yang sudah rapi. Syukurlah dugaanku salah. 

Namun, bukan berarti aku tak penasaran dengan segala hal yang menyangkut bilik di ujung koridor itu. Mataku kini menatap ke arah pintu bilik lalu beralih ke Mas Yusuf di dalam kamar kami.

Melihatnya serius begitu, aura ketampanannya makin bersinar. Hidung bangir, rahang kokoh yang ditumbuhi jambang halus. Belum lagi mata elangnya yang sepadan dengan alis tebal, menatap tajam ke laptop. Bagaimana aku tak jatuh cinta?

Tak salah orang tuanya memberi nama Yusuf, seperti nama seorang Nabi yang Allah beri kelebihan dengan faras yang rupawan.

Sayang, meski kami telah menikah, aku belum bisa menaklukkannya, dan aku sangat yakin ini ada kaitannya dengan sesuatu di dalam bilik itu. Itu kenapa aku harus mencari tahu, bagaimanapun caranya!

"Mas, sarapan sudah siap," ucapku yang membuatnya seketika menoleh.

"Hah? Ya." Pria itu tersenyum tipis. 

Namun, tak kubalas senyum itu. Aku harus jaim. Pura-pura cuek dan tak mengharapkannya berlebihan. Jangan sampai dia sadar bahwa istrinya seorang bucin, karena kalau hal itu sampai terjadi, dia akan memanfaatkan perasaanku untuk berbuat semaunya sendiri, termasuk tak mau berbagi tahu soal bilik itu. Padahal kami suami istri, yang seharusnya tak boleh ada rahasia yang mengganggu hati pasangannya.

Mas Yusuf menikmati makanannya. Bahkan tanpa dia bicara, aku bisa tahu pria itu sedang memuji masakanku.

Padahal, tadinya aku ingin bermanja-manja, menanyakan bagaimana rasa masakanku dengan gaya centil menggodanya. Namun, kejadian di kamar semalam, membuatku malu sendiri bahkan sekadar membahas soal perasaan.

"Ehm. Mas itu tangannya kenapa?" tanyaku memberanikan diri, memecah kebisuan.

Sebenarnya aku bukan tipe wanita pendiam atau pun pemalu. Suasana canggung dan sepi adalah hal aneh buatku. Itu kenapa aku mencari-cari topik untuk bicara. Kurasa tepat menanyakan hal itu sekarang. Ini juga bukan bahasan sensitif yang menyangkut nafkah batin.

Mas Yusuf memelankan gerakan tangannya yang memegang sendok, lalu menatap ke arahku. Lagi, pria itu tersenyum. Manis, meski mulutnya sedikit blepotan karena bumbu yang menempel di bibirnya yang kemerahan. 

"Ini?" Mas Yusuf mengangkat tangan ke depan, memperlihatkan lebih jelas padaku.

Aku mengangguk, sambil menopang dagu dengan dua tangan di atas meja.

"Em. Ini hanya bekas cakaran kucing." 

"Kucing?" Kenapa aku tak percaya. Luka itu lebih mirip cakaran tangan manusia. Apa karena bilik itu aku jadi tidak percaya banyak hal yang Mas Yusuf katakan?

"Ya, sepertinya dia tak ingin aku menyentuhnya," sambungnya lagi dengan nada datar.

Di waktu yang sama, ponsel pria itu berbunyi. Pria itu pun mengangkatnya.

"Halo, Dok. Sudah ada obatny?" tanya Mas Yusuf pada orang di ujung telepon.

Keningku berkerut mendengarnya. Obat? Siapa yang sakit? Sejauh ini aku melihat Mas Yusuf sehat-sehat saja. Dan lagi bukankah dia bilang tak lagi punya keluarga. Lalu untuk siapa obat itu? 

Jangan-jangan ....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status