Suara itu terdengar familiar. Suara lembut yang berdominan. Namun Virgi enggan menatap asal suara itu. Ia masih tetap tidak menjawab.
Bahunya melengkung ke depan dan terus bergemetar. Ntah itu menggigil karna kedinginan atau juga kesakitan. Kedua rasa itu bercampur aduk, hingga membuatnya tak kunjung tenang.
''Jawab aku!'' Nadanya mulai kasar
Virgi memberanikan diri mengangkat wajahnya kehadapan Pria bermata coklat itu.
''Kau pikir, aku wanita seperti apa?!'' Virgi menggertak.
''Bukan kah kamu butuh uang?'' Tanya Pria itu sekali lagi.
''Bagaimana dia tahu..'' Batin Virgi sekejap.
Matanya langsung membulat, menatap pria itu penuh harapan. Pria itu kelihatan dewasa tampangnya. bisa dikatakan, ia sempurna. Sebelumnya, Virgi tidak pernah melihat Pria ini disekitaran kota ini. Apakah dia pendatang?
''Ikut aku...'' Ia mencengkeram dagu gadis itu kuat. Tubuh atletis dengan dada bidang itu, mengalihkan seluruh pikiran Virgi.
''Egghh... Emm...'' Desahan kecil mulai terdengar dari mulut gadis kecil itu. Ntah mengapa, tubuhnya terasa panas. Cengkeraman pria itu juga sangat keras. Cukup membuatnya kesakitan.
''Panas sekali... mm... ah...'' Desahan itu terdengar lagi.
Mungkin ini efek parfum yang pria itu kenakan. Sengaja pria itu mengenakan parfum tipe A. Yang biasanya digunakan untuk menjatuhkan mangsa-mangsanya.
''Ahh... Panas sekali...''
Lirihan itu membuat seluruh tubuh Pria itu bangkit. Sorot bola mata coklatnya, menatap tajam wajah Virgi yang sudah tak berdaya.
''Ikut dengan ku, aku akan membayar berapapun yang kau pinta.'' Perlahan, tubuh Virgi terangkat. Ia jatuh kepelukan pria itu.
Rambut ikal berkelompok yang basah, menitikkan air di jas pria itu. Ia tak menghiraukan nya. Dan membawa masuk Virgi kedalam mobil.
''Ke kediaman Hartley, sekarang.'' Perintah Pria itu dengan suara lantang.
''Eghhh, emmm... Lepaskan.'' Berulang kali Virgi mencoba memberontak dari eratnya pelukan Pria itu. Namun, tak kunjung terlepas.
Setelah beberapa menit dalam perjalanan yang meresahkan. Akhirnya mobil terhenti di sebuah rumah besar yang jauh dari kota. Ia langsung membawa Virgi masuk kedalam kamar yang cukup mewah.
Matanya amat sayu memandang langit-langit kamar yang dipenuhi Lampu-lampu kecil bercahaya kuning. Pria itu mematikan semua lampu, hingga yang tersisa hanya cahaya kecil yang menebus masuk dari jendela kamarnya.
''Katakan, berapa harga mu..'' Ucapnya dengan suara berat mendominasi. Ia melonggarkan dasi yang terikat di kerahnya perlahan.
Virgi lagi-lagi tak menjawab. Ia terlarut dalam suasana kamar itu. Karpet berbahan wol, serta sprei yang berdasar bulu angsa menambah nyamannya suasana.
''Are you Virg*n?''
Virgi mengangguk.
''Aku harus bayar berapa untuk wanita perawan? 10 Juta? 100 Juta?'' Tanya pria itu sekali lagi. Tubuh dan perutnya yang atletis terasa mencuat.
''1 Milyar.'' Jawab Virgi singkat.
''Mahal sekali, kita lihat seberapa tahan dirimu. Jika sakit, kau bisa menggigit bahu ku.'' Pria itu tertawa kecil, sambil menunjuk bahu nya.
Tangan kirinya merasuk ke punggung Virgi. Ia mulai membuka kancing kemeja nya satu persatu. Disusul oleh ciuman mematikan khas miliknya.
''Bagus juga cara berciuman mu. Aku kira, gadis seperti mu belum memiliki pengalaman.'' Gurau Pria itu.
Nafas Virgi terdengar berburu. Begitu juga dengan Pria itu. Tatapan mata coklat membakar suasana. Virgi hampir hanyut di dalamnya, ia mencoba tak jatuh dalam pesona Pria itu.
''Aku akan mulai permainannya. Ingat apa yang ku katakan.''
''Ah, hurry!''
''Dasar, gadis yang tak sabaran.''
Bibir seksi milik pria itu mulai mengecup bibir manis Virgi perlahan, tangannya mulai bergerilya di atas lekukan tubuh Virgi.
''Tuan...'' Virgi meringis menahan sakit.
''Panggil aku, Tuan Louise. Kau milikku sekarang.''
''Tuan Louise... nama yang tidak asing.''
**
Permainan tadi malam berakhir 4 Jam lebih. Virgi bahkan hampir kehilangan kesadaran. Sementara Louise yang lelah, merebahkan dirinya disamping Virgi.
Ia terus menatap wajah manis Virgi dengan cap kepemilikan.
Virgi yang lemas hanya bisa melirik Louise tajam. Louise langsung mengerjapkan matanya saat ia menyadari sesuatu. Tampang wajahnya bak serigala yang puas memakan mangsanya.
Sepersekian detik Luise segera mempersiapkan dirinya untuk pergi ke kantor. Ia berpesan kepada seluruh penjaga rumah untuk mengawasi Virgi. Gadis yang sudah di cap miliknya.
''Nona... bangun.'' Ucap salah seorang wanita dengan lembut, ia menggoyangkan tubuh Virgi.
''Sebentar...'' Virgi menggeliat malas. Seluruh tubuhnya terasa patah.
***
Segala sesuatu sudah dipersiapkan untuk Virgi, khusus untuk Virgi. Gaun berwarna peach lembut menyatu dengan tubuhnya. Para pembantu dalam rumah mewah itu menggeleng kan kepalanya berulang kali, memperhatikan manisnya Virgi.
''Lihat lah diriku yang malang ini.'' Celetuk Virgi dihadapan cermin.
''Aku ingin pulang..'' Gumam nya
''Nona, kami sudah berjanji pada Tuan. Anda akan tetap disini.'' Ucap salah seorang pembantu yang mendengar perkataan Virgi barusan.
''Seenaknya saja. Aku juga harus bekerja,'' Gerutu Virgi
''Pokoknya, aku harus keluar dari rumah ini!''
''Nona, ini surat dari Tuan Louise.'' Wanita muda bermata sipit menyodorkan sebuah amplop, yang tak tahu apa isinya.
Virgi menerimanya dengan tangan kosong. Ia mengintip isi amplop tersebut. Betapa terkejutnya dia, melihat sebuah secarik kertas cek senilai 1 Milyar.
''Yang benar saja? Dia membayar ku 1 Milyar? Siapa pria ini sebenarnya?'' Batin Virgi terkejut, namun perasaannya sangat berbunga-bunga.
.
.
.
Seribu satu cara dilakukannya untuk keluar dari rumah mewah itu. Lebih tepatnya seperti kastil bangsawan. Tempat itu lumayan jauh dari kota. Butuh berjalan 1KM untuk menuju terminal bis kota. Terpaksa, kaki-kaki mungilnya berjalan menempuh jarak jauh. Tak peduli gaun bagian bawah nya yang robek.
''Akhirnya aku tiba di rumah.'' Virgi menghela nafas panjang sebelum menarik knop pintunya.
KLAAK
Pintu terbuka.
Betapa terkejutnya Virgi melihat seorang Pria yang tengah duduk di sofa ruang utama. Ia kelihatan tenang dengan kaki yang diletakkan di meja. Virgi kesal, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa setelah mengetahui pria itu ternyata adalah Louise.
Matanya di pejamkan paksa, keningnya berkerut. Rahangnya mulai mengeras. Rasa sabar dalam dirinya sudah habis. Pria mengenakan baju elegan itu melangkah kehadapan Virgi.
''Sudah kubilang 'kan?'' Tangannya mencengkeram dagu Virgi. Kuku-kuku yang tak terlalu panjang itu juga ikut menusuk. Ia meremas nya erat.
''Lepaskan!'' Teriak Virgi
''Kecilkan suara mu. Kau tidak takut, kalau teman mu Victor mengetahui ini? Bahkan, perawan mu kau serahkan pada ku.'' Ia berbisik tepat ditelinga Virgi. Suaranya berat, tatapan matanya menjadi dingin.
PLAAAK
Satu tamparan bersarang di pipi Louise. Virgi dibuat nya naik pitam atas perkataan Louise barusan. Menurutnya, kemarin malam hanya kesalahan semata.
''Berani sekali kamu menampar ku. Kamu tidak tahu aku siapa?''
Virgi menunduk, gigi nya menahan bibirnya sendiri. Tangannya di kepal, mencoba menahan emosi yang ingin meluap.
''Bawa dia!'' Perintah Louise dengan suara lantang. 4 Pria bertubuh bodyguard datang secepat mungkin.
BRUUUK
Tubuh Virgi terhempas di bangku belakang mobil. Disusul oleh Louise yang masuk kedalam mobil.
''Lepaskan aku!'' Virgi berteriak kencang. Namun sepertinya, tidak ada orang yang mendengar teriakannya.
''Berhenti berteriak. Itu hanya akan merusak pita suara mu.'' Ucap Louise dengan aura dingin menusuk.
Ia melonggarkan dasi yang terikat dikerahnya. Jas abu-abu yang dikenakannya pun terbuka. Kedua tangannya menahan bahu Virgi.
''Apa yang kamu inginkan!''
''Jadilah wanita ku.''
Habis kesabaran Virgi, ia memutuskan panggilan itu dan membanting gawai ke lantai tanpa ada rasa bersalah. "Kenapa tidak menyuruh rayen saja?! Kau menyusahkan ku! Arhgggg bagaimana kalau ada seseorang yang mengikuti ku, lalu aku disebut seorang wanita pelac*r," Virgi panik tak terduga. Suara nya memenuhi isi kamar. Virgi akhir nya memberani kan diri turun ke dapur. Beberapa pembantu terlihat antusias membantu menjelaskan tataan dapur, walaupun diantara nya juga ada yang menyimpan rasa benci dengan Virgi. "Begini nona, Tuan Louise lebih suka yang telur nya lebih banyak." Jelas salah seorang di antara mereka. Virgi merasa canggung, ntah berapa banyak pembantu disini. Ada pula yang berparas cantik dan bertubuh bagus. sayang sekali harus menjadi babu disini, pikir Virgi sejenak. "Ck, dia ingin membua
"Seharusnya aku yang mengatakan itu, sayang." Gumam Louise seraya mengelus pipi halus Virgi yang masih mengembang. Namun Virgi terlihat sudah memejam kan mata nya, itu tanda nya Virgi mengucapkan kata kata nya barusan dengan setengah kesadaran. Louise terpaksa menghela nafas nya kasar karna kecewa. "Ck, aku akan membuat mu mengatakan itu lagi," Louise berdecak kesal. Ia memejam kan mata nya paksa, sembari membiarkan tangan nya berada di bawah kepala Virgi. *** Tepat di saat fajar baru memunculkan diri nya, Louise sudah beranjak dari ranjang nya. Ia menembus dingin nya hawa pagi. Kucuran air hangat menyambut nya, bak di drama korea di menangis di bawah nya. Ntah mengapa, air mata nya menitik jatuh. Dia sendiri tidak tahu apa alasan nya. "Mungkin aku terlalu menaruh harapan dengan nya? Arhggg, gila. Hanya karna gadis itu, aku bisa gila!" Celetuk Louise dalam hati nya.
"Apakah pria seperti bisa memberi belas kasihan? Bahkan kau memenjarakan ku layak nya hewan," Lirih Virgi yang masih menunduk kan kepalanya. PLAAAK Hati Louise panas saat mendengar kata kata itu. Dia hanya menginginkan Virgi, tapi malah sebaliknya. Semua perlakuan nya menyiksa Virgi, dari fisik maupun mental. "Hiks," Ringis Virgi yang menahan panas di pipi nya, begitu panas saat tangan itu hinggap. "Diam!" Bisik Louise dengan nada bicara yang berburu, dia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Benar saja, ketukan langkah sepatu bergema di tanah kering itu. Terlihat seorang pria dengan tampang gagah dan dada bidang yang tak kalah jauh dari Louise. Virgi hanya menunduk tanpa melihat asal suara itu. "Virgi?" Panggil Victor dengan raut wajah kelihatan bingung saat memperhatikan Virgi yang tengah tersungkur tanpa mengangkat kepala nya.
"Helena, adalah ibuku. Ibu kandung ku, dia sosok wanita yang ramah, manis, dan ceroboh hingga menggantikan sosok ayah ku dengan si tua gila." Lirih Louise dengan pandangan datar kebawah. Virgi tertegun melihatnya, ada aura kesedihan memancar di wajah nya. Sebesar apapun Louise menutupi nya, tetap saja ia tidak bisa berbohong. "Maafkan aku, telah bertanya lancang." Virgi menunduk dalam penuh penyesalan. Louise menghela nafas sembari meletakkan cangkir kopi nya di meja. "Virgia Halena. Kau lebih cocok, dipanggil Halen. Itu nama yang indah bukan?" Tanya Louise memecah kegugupan. Kedua bola mata Virgi terbelalak dibuat nya, apa Louise benar benar mencari informasi tentang dirinya? "Emm.. anu, aku lebih suka di panggil Virgi daripada Halen. Mungkin karna masa lalu ku," Suara Virgi terbata. Tentu saja ia gugup jika menatap masa lalu nya kembali, apalagi di hadapan pri
"Gedung arena stylist. Biasanya di penghujung musim dingin, hingga musim semi. beberapa Stylist perancang busana dari keluarga bangsawan lain akan bertanding disini," Jelas Louise panjang. Virgi sama sekali tidak merespon ucapan Louise. "Itu lah mengapa, keluarga Hartley terkenal dalam bidang busana. Sepanjang sejarah, keluarga Hartley tidak pernah mencetak kekalahan. Karna satu rancangan yang terkenal. 'Mawar besi." Tambah Louise menjelaskan, namun raut wajahnya terlihat lusuh. "Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Virgi heran melihat raut wajah Louise yang berubah drastis. "Aku akan merancang mawar besi sebagai duplikat yang hilang kemarin. Rancangan ini sangat sulit, apalagi bordiran permata mawar besi yang hanya dimiliki pewaris keluarga Hartley," Jelas Louise panjang. Virgi tak habis fikir, mengapa Louise menjelaskan semuanya. Padahal dirinya sendiri tak berminat ikut campur dengan urusan kelu
Siang hari tiba, masih dengan keadaan yang sama. Cuaca siang ini begitu menyengat karna mulai memasuki musim kemarau. Musim panas atau dingin, sifat Louise tetap dingin. Melebihi es di kutub utara, begitu ujaran para karyawan disana. "LOUISE!" Panggil seorang pria tua sembari membanting pintu ruangan pribadi Louise. Louise tak heran, jika ayah tiri nya bisa lolos di hadapan security di depan gedung. "Perlahan, pria tua." Ucap Louise tenang, kedua tangan nya masih terlipat di depan dada bidang nya. "Bagaimana dengan rancangan mawar besi?" Tanya ayah tiri Louise dengan nada bicara tak berburu. "Masih dalam progres," Jelas Louise singkat. Masih dengan nada bicara yang tenang. Ditambah lagi ekspresi wajahnya seperti tidak terjadi apa apa. "Cih, kau berjanji seminggu rancangan itu akan selesai. Aku memegang janji itu, aku bahkan tak segan segan mencici