Share

7. Dahayu

Author: Hakayi
last update Last Updated: 2022-02-10 19:19:44

Dermaga kini dipenuhi oleh tangisan para remaja yang gagal menuju pulau Perguruan Matahari. Kakek Sangkala dan Dahayu semakin gelisah. Mereka masih mencemaskan Bimantara. Mereka masih tidak tahu apakah remaja itu sudah sampai ke pulau itu atau masih sedang berusaha berenang untuk sampai ke sana? Seketika suara terompet terdengar. Kakek Sangkala menoleh ke belakang. Dia kaget saat mendapati dua iring-iringan dari tiga kerajaan Nusantara Timur, Tengah dan Barat baru datang. Orang-orang langsung duduk bersimpuh menyambut kedatangan mereka.

“Hidup, Yang Mulia! Hidup, Yang Mulia!”

“Siapa mereka, Kek?” tanya Dahayu heran pada Kakek Sangkala.

“Kita harus pergi dari sini, mereka adalah pasukan kerajaan Nusantara dari Timur, Tengah dan Barat. Mereka ke sini pasti sedang mengantar para Pangeran untuk memasukkan mereka ke Perguruan Matahari,” jawab Kakek Sangkala pada Dahayu.

Dahayu mengangguk. Mereka berdua meninggalkan Dermaga untuk mencari tempat lain karena Dermaga itu pasti akan didatangi iring-iringan dari dua kerajaan yang baru datang itu.

“Apa mereka akan diantar dengan perahu?” tanya Dahayu heran sambil berjalan meninggalkan Dermaga bersama kakek itu.

“Tidak! Para Pangeran itu juga harus berenang seperti yang lainnya,” jawab Kakek Sangkala.

“Jika para Pangeran gagal bagaimana, Kek?” tanya Dahayu penasaran.

“Pangeran akan dibawa pulang ke kerajaan,” jawab Kakek Sangkala.

Saat mereka sudah tiba di tempat aman. Masih di pinggir lautan. Iring-iringan dari tiga kerjaan yang mengantar tiga Pangeran itu tiba di Dermaga. Mereka membawa kuda kencana yang diiringi para prajurit berkuda. Kakek Sangakala kaget saat melihat tiga Raja turut serta mengantar Pangeran mereka.

“Yang dari Barat adalah Pangeran Pangaraban, yang dari Tengah adalah Pangeran Dawuh dan yang dari Timur adalah Pangeran Sakai,” ucap Kakek pada Dahayu sambil memandang tiga Pangeran yang gagah dan tampan-tampan itu yang sudah bersiap terjun ke laut.

Para warga berdesakan untuk melihat ketiga Pangeran yang akan ikut meramaikan penerimaan murid baru di Perguruan Matahari. Pangeran Pangaraban, Dawuh dan Sakai terlihat sedang bersimpuh pada Raja masing-masing. Suara terompet berbunyi. Setelah itu tiga Pangeran muda itu langsung terjun ke laut bersamaan. Dahayu mendekat ke laut, memperhatikan ketiga Pangeran yang mulai berenang itu. Seketika gelombang laut terlihat besar. Baru saja Pangeran Pangaraban berenang dia langsung dihempas ombak dan dikembalikan oleh laut ke atas Dermaga. Raja dari Nusantara Barat itu tampak murka lalu kembali membawa Pangeran Pangaraban pergi dari sana. Begitu juga yang terjadi pada Pangeran Dawuh, ombak mengembalikannya ke Dermaga hingga terpaksa dipulangkan ke kekerajaan Tengah. Sementara Pangeran Sakai terlihat berenang dengan gagah. Dia mampu menembus gelombang yang kian besar. Masyarakat bersorak kepadanya. Seolah memberikan semangat agar Pangeran Sakai bisa menempuh pulau Perguruan Matahari.

***

Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bimantara tampak lemas dan tidak bertenaga di atas lautan yang mulai tenang. Samar dia melihat Dermaga Perguruan Matahari sudah dekat di matanya. Tongkat itu masih digenggamnya dengan erat. Namun saat dia kembali menggerakkan tangannya, dia mendadak sangat lemas. Kedua tangannya tak mampu lagi dia gerakkan dengan tenaganya. Bimantara terpaksa berhenti dengan lemas. Dia kembali mengambang dengan wajah menghadap langit. Pandangannya sudah mulai kabur. 

Sementara itu, di Dermaga Perguruan Matahari, Lima calon murid yang berhasil tiba disambut dengan meriah oleh pengurus Perguruan Matahari. Mereka semua dikalungkan rangkaian bunga sebagai ucapan selamat dari Perguruan. Adji Darma masih berdiri di sisi Pendekar Tangan Besi.

“Masih tersisa satu calon murid lagi, Tuan Guru,” ucap Tangan Besi sambil memandang ke arah lautan lepas.

Riuh dari para murid Perguruan Matahari terdengar. Adji Darma dan Pendekar Tangan Besi memandang ke arah lautan. Mereka terkejut saat melihat seekor lumba-lumba sedang membawa Pangeran Sakai menuju Dermaga.

“Sepertinya calon murid yang terkahir akan tiba, Tuan Guru,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan senang pada Adji Darma.

Adji Darma diam saja. Dan benar saja, Pangeran Sakai diantar dengan selamat menuju Dermaga oleh ikan lumba-lumba itu. Dia disambut dengan meriah oleh para murid di sana. Adji Darma kembali memandangi lautan.

“Matahari belum tenggelam, kita harus tetap menunggu di sini sampai matahari tenggelam” ucap Adji Darma.

“Kenapa Tuan, Guru? Aku yakin tak akan ada murid lagi yang tiba dengan selamat. Jumlahnya sudah tepat, seperti di mimpiku, hanya ada enam murid yang diterima,” ucap Pendekar Tangan Besi.

"Aku tahu setiap mimpimu selalu nyata, tapi bagaimana pun kita harus tetap menunggu sampai matahari tenggelam."

Pendekar Tangan Besi memandangi lautan lepas. Dia tidak menemukan calon murid lagi yang sedang berenang menuju mereka. Sementara itu, Adji Darma melihat ada seorang manusia tengah mengambang di atas permukaan laut tak jauh dari mereka.

“Ada satu yang sedang mengambang di atas laut,” ucap Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi dengan cemas.

Pendekar Tangan Besi melihat ke arah sosok tubuh yang mengambang di atas laut itu.

"Sepertinya dia sudah mati, Tuan Guru," sahut Pendekar Tangan Besi.

“Kenapa ombak laut tidak membawanya kembali ke pulau asalnya?” tanya Adji Darma pada Pendekar Tangan Besi.

“Saya tidak tahu, Tuan Guru. Kita lihat saja nanti,” sahut Pendekar Tangan Besi padanya.

Ternyata sosok tubuh yang mengambang di atas laut itu adalah Bimantara. Tongkat masih dalam genggamannya. Dia tampak lemas dan tidak bisa bergerak lagi karena kelelahan berenang dengan tenaganya sendiri. Anehnya Bimantara tidak tenggelam. Dia tetap mengambang di atas lautan dengan wajah menengadah ke atas langit. Bibirnya tampak kering dan pecah. Wajahnya tampak pucat. Seketika pandangan matanya mengabur.

“Apakah aku akan mati?” gumamnya dalam hati. “Bawalah aku ke surga jika memang hari ini takdirku akan mati.”

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

*** 

Kakek Sangkala dan Dahayu masih berdiri di pinggir laut. Dahayu menoleh pada Kakek Sangkala dengan cemas.

“Gimana keadaan Bimantara sekarang, Kek? Apa dia sudah sampai ke pulai seberang?” tanya Dahayu sekali lagi dengan panik dan cemas.

“Jika Bimantara tidak dikembalikan oleh laut ke sini, itu artinya dia sudah tiba ke pulau seberang atau…”

“Atau apa, Kek?” tanya Dahayu bingung.

“Atau laut telah menelannya,” jawab Kakek Sangkala sedih.

Dahayu terkejut mendengar itu.

“Bukannya yang tidak bisa sampai ke sana akan dikembalikan oleh laut untuk kembali ke sini, Kek?” tanya Dahayu tak percaya.

“Tidak semuanya. Sebagian ada yang ditelan oleh lautan,” jawab Kakek Sangkala.

“Kalau begitu kenapa Kakek biarkan Bimantara mengikuti penerimaan murid baru di Perguruan Matahari?” tanya Dahayu sedikit kesal dan menyayangkannya.

“Karena itu keinginan Bimantara, Dahayu. Kakek sudah lama melarangnya, tapi karena itu keinginannya sejak dahulu, akhirnya kakek biarkan saja. Apapun yang terjadi, meskipun harus mati, Bimantara telah berusaha pada tujuannya dan itu lebih mulia dibanding hidup tidak memiliki keinginan apa-apa. Hanya menjadi pecundang untuk keluarga,” jawab Kakek Sangkala.

Tiba-tiba angin puting beliung datang. Orang-orang di dekat pantai berlarian menjauh dari sana. Kakek Sangkala menarik tangan Dahayu untuk pergi dari sana.

“Ayo kita pergi dari sini sebelum angin puting beliung membawa kita,” pinta Kakek Sangkala dengan panik.

Mereka berdua berlari menjauh dari angin puting beliung yang mulai menyapu Dermaga. Tak berapa lama kemudian angin puting beliung itu menarik Dahayu. Sekuat tenaga Kakek Sangkala memeganginya sambil berpegangan pada batu besar di sana, namun angin yang begitu kencang itu tak kuat ditahan oleh Kakek Sangkala hingga Dahayu tertarik ke atas dan ikut tergulung oleh angin puting beliung yang menggulung besar itu.

“Dahayu! Dahayu!” teriak Kakek Sangkala dengan sedih.

Angin puting beliung itu membawa Dahayu ke tengah lautan. Kakek Sangkala terduduk lemas di atas pasir karena tidak bisa berbuat apa-apa.

"Apa Bimantara sedang marah hingga angin puting beliung itu datang?" tanya Kakek Sangkala dengan cemas dan heran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cedar Karamy
Dahayu sengaja dibawa angin buat nyemangatin Bimantara. Atau Dahayu juga bisa jd murid Perguruan Matahari
goodnovel comment avatar
Akhmad Gendut
bagaimanakah perjalanan cita2 Bimantara bisakah diterima atau tidak itu hanya sebuah ke ajaiban yg bisa menentukan ya,terima kasih semoga ceritanya berjalan sesuai dgn yg divita2 kan bimantara
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   582. ENDING : Pertemuan di Nusantara

    Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   581. Perang Besar Terakhir 8

    Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   580. Perang Besar Terakhir 7

    “Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   579. Perang Besar Terakhir 6

    “Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   578. Perang Besar Terakhir 5

    Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata

  • Bimantara Pendekar Kaki Satu   577. Perang Besar Terakhir 4

    Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status