LOGINSalim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.
Alya membeku, matanya membesar. “Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah. “Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam. Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?” Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.” Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu. Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…” Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu keluarga? Lima puluh juta itu bahkan belum sebanding sama biaya hidup yang sudah bapak keluarkan.” Alya terisak pelan, merasa jantungnya seperti diremas. Semua yang selama ini ia anggap kasih sayang… ternyata dianggap hutang. Dan saat itulah Reihan akhirnya mengangguk pelan, suaranya tenang namun berat. “Baiklah, saya akan mentransfer uangnya nanti.” “Pak Reihan…” suara Alya terdengar lirih, tak mengerti mengapa Reihan bisa setuju begitu cepat. Reihan tak bersuara, hanya mengangguk pelan seolah ingin memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja. Alya hanya bisa menunduk, merasa bersalah karena dosennya harus terlibat dalam masalah keluarganya. Beberapa saat kemudian, Reihan sudah mentransfer uang yang diminta kedua orang tua Alya. “Setelah ini saya akan membawa Alya untuk tinggal bersama saya,” ujar Reihan setelahnya, matanya menatap tajam ke arah Salim dan Sari. “Jangan coba untuk mengusiknya lagi.” Namun, Salim justru tersenyum sinis, “Bawa saja, kami juga sudah lelah mengurus anak durhaka seperti dia ini, cuma jadi beban di keluarga.” Reihan hanya menghela napas, lalu mengangguk pelan. Sementara Alya, ia tak bisa berkata apapun lagi. Kepalanya terlalu bingung untuk mencerna semua ini. _ _ _ Sepanjang perjalanan, Alya hanya bisa menunduk, menatap kedua tangannya yang saling meremas di atas pangkuan. Sesekali, ia mengusap air matanya yang menetes menggunakan punggung tangan. Kata-kata ayahnya terus terngiang di kepalanya. Memang ayahnya sering berkata kasar dan menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak pernah ia lakukan. Namun, baru kali ini ayahnya dengan gamblang menyebutnya sebagai beban. “Maafkan saya,” ucap Alya, suaranya terdengar serak. “Maaf karena Bapak harus menyaksikan semua itu… Pak Reihan juga harus mengeluarkan banyak uang atas sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahan Pak Rehan,” lanjutnya, suaranya bergetar karena perasaan campur aduk. Reihan, yang sejak tadi fokus menatap jalan di depan, akhirnya menoleh ke arah Alya. Gadis itu tampak rapuh, seolah seluruh beban dunia bertumpu di pundaknya. “Tidak apa-apa, Alya. Kamu tidak perlu merasa bersalah,” ucap Reihan lembut, meski nada suaranya tetap tenang dan terkontrol, seolah mencoba menjaga Alya agar tidak semakin hancur. “Tapi saya tetap nggak enak, Pak…” Alya menunduk, bahunya merosot seperti kehilangan tenaga. “Bapak baru kenal saya… tapi sudah harus kena masalah sebesar itu gara-gara saya.” Reihan tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan wajah Alya, matanya sembab, napaskannya terputus-putus, tubuhnya seperti menahan sesuatu yang sudah terlalu lama dipikul sendiri. Reihan menarik napas dalam, seakan menahan perasaan yang ikut tergerak. “Alya,” panggilnya pelan. Alya menoleh lambat, seolah takut bertemu tatapan Reihan. “Iya, Pak…?” “Orang tuamu… memang selalu begitu memperlakukan kamu?” tanyanya hati-hati, tidak memaksa, tapi cukup jelas menunjukkan bahwa ia ingin memahami semuanya. Alya sempat diam. Bibirnya bergetar sebelum kata-kata akhirnya keluar. “Dulu bapak nggak begitu… tapi waktu ibu saya pergi sama laki-laki lain, semua kemarahannya jatuh ke saya. Kalau saya pulang terlambat sedikit, bapak langsung nuduh saya macam-macam… nggak pernah mau dengar penjelasan saya.” Napas Alya menggemetar, tapi ucapannya mengalir, tidak lagi tertahan. “Dan setelah bapak nikah lagi… semuanya makin berat. Saya selalu dianggap salah. Selalu dianggap beban.” Reihan mengepalkan tangan pelan, rahangnya mengeras. Ia tidak menyangka Alya menyimpan luka sedalam itu di balik sikap sopannya. Alya mengusap matanya, mencoba tersenyum, namun gagal. “Pak… kenapa Bapak mau-maunya kasih uang sebanyak itu? Kita bahkan belum…” Alya menghentikan ucapannya, lalu menggelengkan kepalanya. “Mereka cuma memanfaatkan Bapak…” Reihan menatap Alya lama. Tatapannya bukan iba, tapi tekad. “Alya, sekarang kamu sudah jadi istri saya. Mau bagaimana pun caranya terjadi, itu tetap status kamu sekarang.” Alya menahan napas, dadanya mengencang. Ia tidak pernah merasa memiliki siapa pun yang benar-benar berpihak padanya. Tapi ucapan Reihan barusan membuat seluruh pertahanan dirinya runtuh. Alya menatapnya, air mata kembali memenuhi mata. Reihan menautkan pandangannya dengan mantap. Suaranya lebih rendah, namun penuh kepastian. “Mulai sekarang… kamu nggak perlu takut lagi.”“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh.“Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.”Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…”Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah.Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini
Langit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas.Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu.“Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian.Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan,“Iya… silakan.”Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai
Salim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.Alya membeku, matanya membesar.“Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah.“Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam.Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?”Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.”Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu.Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…”Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu
Mendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”“Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi.Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip.Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan.Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin.Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan
Alya sempat terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut mendengar ucapan Reihan barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengusulkan hal seperti itu.Namun selang beberapa detik, keterkejutannya perlahan mereda. Ia mulai memikirkan ucapannya dan memang, apa yang Reihan katakan ada benarnya. Jika pernikahan itu tersebar di kampus, apalagi dengan alasan yang memalukan, hidup mereka akan semakin sulit.Alya menghela napas pelan, lalu mengangguk.“Baik… saya mengerti,” jawabnya lirih.Akhirnya, Alya kembali melangkah masuk ke kamar. Malam itu, rasanya pikirannya sangat campur aduk. Shock perkara dibegal dan hampir dilecehkan belum sepenuhnya pulih, tapi sudah harus menerima masalah baru.Alya merebahkan tubuhnya yang masih lemah di ranjang sederhana itu. Sekarang, statusnya sudah berubah menjadi istri dosennya sendiri. Apa jadinya kalau orang-orang tahu ini.Tak mau semakin pusing, Alya mulai memejamkan matanya. Berharap esok hari semua bisa lebih normal untuknya.***Pagi itu, Alya
Kini, di ruang yang luas itu, Reihan dan Alya duduk bersebelahan. Di hadapan mereka, seorang penghulu yang dipanggil secara mendadak oleh warga sudah bersiap memulai prosesi. Beberapa warga lain berdiri di sekitar mereka, menjadi saksi dari kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Sebelumnya, penghulu telah meminta Alya dan Reihan menyerahkan kartu identitas sebagai syarat pernikahan.Alya hanya bisa duduk kaku. Kedua tangannya saling meremas erat, mencoba menahan ketakutan yang terus mengguncang hatinya. Ia baru saja mengalami nasib buruk, nyaris diperkosa oleh begal, dan kini ia malah dituduh berzina oleh dosennya sendiri. Semua terasa begitu tidak adil.“Apa… harus sampai seperti ini?” tanya Alya lirih pada Reihan yang duduk di sampingnya. Suara nya bergetar, hampir tak terdengar.Reihan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan lain. Percuma membela diri mereka tetap tidak akan percaya.”Penghulu itu kemudian menatap mereka.







