LOGINMendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.
Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.” “Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi. Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip. Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan. Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin. Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan lebih dalam ke masalah pribadinya. Tak lama, mobil Reihan telah muncul, Alya segera masuk. Perjalanan itu terasa sangat hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga tanpa sadar, kini mereka telah tiba di rumah orang tua Alya. Namun, Alya justru tidak segera turun dari mobil. Ia hanya menatap rumah itu dengan tatapan kosong. Tangannya bergetar saat menyentuh pegangan pintu, seakan tubuhnya menolak untuk kembali ke tempat itu. Melihat tingkah Alya, Reihan diam sejenak. Ia tahu mungkin Alya belum siap, tapi bagaimanapun juga, masalah ini harus segera diperjelas. “Tidak usah takut, biar saya yang bicara pada ayahmu,” ujar Reihan langsung, ia segera membuka pintu mobilnya. Reihan turun lebih dulu dan menunggu di samping mobil. Saat Alya keluar, ia langsung menggenggam tangan gadis itu. Alya sempat kaget, tapi hangatnya genggaman itu membuatnya merasa sedikit lebih berani, seolah tidak sendirian menghadapi apa pun yang menunggu di dalam rumah. Saat kaki mereka menyentuh halaman rumah, Alya menunduk sesaat, seolah sedang mengumpulkan keberanian. Alya menarik napas dalam-dalam, menggenggam tangan Reihan lebih erat, sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk. “Silahkan masuk, pak.” Begitu mereka masuk ruang tamu, Salim yang mendengar suara pintu langsung keluar dari arah dalam. Dahinya mengernyit begitu melihat Alya datang menggandeng seorang pria. Pandangannya menyapu sosok Reihan dari atas hingga bawah, seolah sedang menilai sesuatu. “Siapa laki-laki yang kamu bawa ini, Alya?” tanya Salim dengan suara tajam. Belum sempat Alya bersuara, Reihan justru lebih dulu melangkah maju dengan wajah tenang. “Perkenalkan, Pak. Saya Reihan, dosen Alya di kampus,” ucapnya sambil mengulurkan tangan, mencoba untuk tidak terprovokasi. Namun Salim hanya diam, masih menatap dengan tajam, hingga akhirnya meraih tangan Reihan dengan enggan. Melihat respon itu, Reihan sedikit tersenyum. “Sebelumnya saya mohon maaf karena kehadiran saya yang mendadak ini. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan Bapak selaku orang tua Alya.” Salim melirik putrinya sekilas, seolah mencari jawaban atas apa yang terjadi. Pagi tadi, Alya memang sama sekali tidak membahas masalah ini. Ia hanya mengatakan menginap di rumah temannya karena tugas, sama seperti ucapannya di telepon. Selain karena takut, ia juga harus buru-buru karena ada kelas. “Ada tamu rupanya. Kok gak disuruh duduk sih, Pak?” sahut Sari, ibu tiri Alya, yang baru saja keluar dari arah dapur. “Ayo duduk dulu.” Melihat itu, Alya langsung mengarahkan Reihan untuk duduk di kursi sederhana yang ada di ruang tamu rumahnya. “Saya Sari, ibunya Alya,” ujar Sari lagi, memperkenalkan diri dengan senyum ramah. Namun, Salim justru langsung memotong dengan tegas, “Sudah, langsung saja ke intinya. Masalah apa yang ingin kalian bicarakan? Alya gak buat masalah di kampus, kan?” Alya menatap Reihan sekilas. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat, keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Namun, Reihan justru tampak masih tenang, dan itu membuat Alya semakin cemas. “Sebenarnya, semalam Alya menginap di rumah saya,” kata Reihan tanpa basa-basi. Mendengar itu, mata Salim langsung memerah, rahangnya mengeras menahan amarah. Namun, belum sempat ia bicara, Reihan telah bersuara kembali. “Semalam Alya dibegal dan saya menolongnya,” lanjut Reihan lagi, kali ini wajahnya lebih serius. “Karena sudah terlalu malam dan kondisi Alya terlalu syok karena hampir dilecehkan, jadi saya terpaksa bawa Alya ke rumah saya yang dekat dari sana.” Tatapan Salim beralih ke arah Alya, bukan menunjukkan rasa khawatir atau terkejut, tetapi mencari justru mencari celah kebohongan. “Menyusahkan kamu ini!” bentaknya sambil menatap Alya penuh kemarahan. Reihan tampak sedikit terkejut mendengar respon itu. Namun, ia berusaha menahan diri. Sementara Alya, matanya tampak telah berkaca-kaca. “Benar itu, Alya? Kenapa kamu gak ke kantor polisis aja? Kan jadi menyusahkan orang kalau begini,” sahut Sari dengan nada memojokkan Alya. Reihan menarik napas sebelum melanjutkan, suaranya tetap terkontrol. “Pak… Bu… selain kejadian begal itu, ada satu hal lagi. Karena saya membawa Alya pulang dalam kondisi malam dan warga sekitar salah paham, mereka menuntut saya untuk menikahi Alya saat itu juga.” Ia menatap Salim tanpa menghindar. “Dan… kami sudah menikah, Pak.” Hening sejenak. Salim terbelalak, napasnya tertahan. Wajahnya memerah, tapi bukan langsung meledak, matanya sekali lagi turun menilai Reihan dari atas ke bawah. Dengan penampilan rapi Reihan, bahkan mobil yang terparkir di depan pekarangan rumah mereka dan status dosen. Emosinya yang tadinya hendak meluap jadi tertahan setengah. Namun, kemarahannya justru dialihkan pada Alya. “Kamu ini… bikin malu keluarga saja!” bentaknya sambil menatap putrinya penuh jijik. Alya mengecil, menunduk, tubuhnya bergetar. Sementara itu, Sari mengerutkan kening, tatapannya penuh prasangka ke arah Reihan. “Jadi warga sampai paksa kalian menikah? Berarti ada yang nggak bener,” gumamnya sinis. Lalu ia menatap Reihan dengan mata menyipit. “Jangan-jangan kamu yang macam-macam sama Alya sampai orang salah paham.” Alya langsung menggeleng keras. “Nggak, Bu! Pak Reihan nggak ngapa-ngapain. Dia nolong Alya, bukan—” Nada suaranya penuh tuduhan. Alya tersentak, sementara Reihan tetap berusaha tenang. Sari mendengus, kini lebih agresif. “Kalau memang begitu, keluarga kami jelas dirugikan. Jadi seharusnya kami minta ganti rugi atas apa yang sudah kamu lakukan pada Alya.” Reihan menoleh, alis berkerut. Ia menatap keduanya, tak percaya dengan permintaan itu.“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh.“Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.”Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…”Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah.Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini
Langit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas.Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu.“Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian.Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan,“Iya… silakan.”Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai
Salim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.Alya membeku, matanya membesar.“Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah.“Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam.Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?”Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.”Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu.Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…”Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu
Mendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”“Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi.Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip.Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan.Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin.Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan
Alya sempat terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut mendengar ucapan Reihan barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengusulkan hal seperti itu.Namun selang beberapa detik, keterkejutannya perlahan mereda. Ia mulai memikirkan ucapannya dan memang, apa yang Reihan katakan ada benarnya. Jika pernikahan itu tersebar di kampus, apalagi dengan alasan yang memalukan, hidup mereka akan semakin sulit.Alya menghela napas pelan, lalu mengangguk.“Baik… saya mengerti,” jawabnya lirih.Akhirnya, Alya kembali melangkah masuk ke kamar. Malam itu, rasanya pikirannya sangat campur aduk. Shock perkara dibegal dan hampir dilecehkan belum sepenuhnya pulih, tapi sudah harus menerima masalah baru.Alya merebahkan tubuhnya yang masih lemah di ranjang sederhana itu. Sekarang, statusnya sudah berubah menjadi istri dosennya sendiri. Apa jadinya kalau orang-orang tahu ini.Tak mau semakin pusing, Alya mulai memejamkan matanya. Berharap esok hari semua bisa lebih normal untuknya.***Pagi itu, Alya
Kini, di ruang yang luas itu, Reihan dan Alya duduk bersebelahan. Di hadapan mereka, seorang penghulu yang dipanggil secara mendadak oleh warga sudah bersiap memulai prosesi. Beberapa warga lain berdiri di sekitar mereka, menjadi saksi dari kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Sebelumnya, penghulu telah meminta Alya dan Reihan menyerahkan kartu identitas sebagai syarat pernikahan.Alya hanya bisa duduk kaku. Kedua tangannya saling meremas erat, mencoba menahan ketakutan yang terus mengguncang hatinya. Ia baru saja mengalami nasib buruk, nyaris diperkosa oleh begal, dan kini ia malah dituduh berzina oleh dosennya sendiri. Semua terasa begitu tidak adil.“Apa… harus sampai seperti ini?” tanya Alya lirih pada Reihan yang duduk di sampingnya. Suara nya bergetar, hampir tak terdengar.Reihan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan lain. Percuma membela diri mereka tetap tidak akan percaya.”Penghulu itu kemudian menatap mereka.







