LOGINLangit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.
Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas. Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu. “Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian. Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan, “Iya… silakan.” Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai menempel di dahinya, jelas ia baru selesai mandi. Aroma sabun segar dan wangi tubuh pria itu samar-samar mengisi ruangan. “Kamu baik-baik saja?” tanya Reihan dengan nada lembut dan penuh perhatian sambil melangkah mendekat, kemudian duduk di samping Alya. Tubuh Alya langsung menegang. Jarak mereka terlalu dekat. Begitu dekat hingga kulit tangan mereka nyaris bersentuhan. Alya hanya mampu mengangguk kecil. “S-saya baik-baik saja,” ucapnya gugup. Ini pertama kalinya ia berada berdua saja dengan seorang pria dewasa dalam satu ruangan, terlebih pria itu sekarang adalah suaminya. Aroma maskulin dari tubuh Reihan menyapa indra penciumannya, membuat jantung Alya berdegup kencang. Begitu kencang hingga ia merasa detaknya hampir terdengar keluar. Rehan menatapnya sejenak, seakan mencoba membaca kegelisahannya. “Kalau ada yang kamu butuhkan, kasih tahu saya,” ujar Rehan lembut. “Kamu tidak perlu merasa sungkan di sini. Anggap saja rumah sendiri.” Alya mengangguk kecil tanpa berani menatapnya. “Baik, Pak…” Suasana hening menyelimuti kamar sejenak. Alya menelan ludah, mencoba menenangkan debar jantung yang terus memukul dari dalam dadanya. “Pak… Reihan…” panggilnya ragu, hampir tak terdengar. Rehan menoleh, menatapnya langsung. “Iya?” Alya menunduk semakin dalam, menatap jemarinya yang saling meremas gelisah. “Saya… saya berpikir… bagaimana kalau saya bekerja di rumah Bapak,” ucapnya terbata. “Sebagai bisa bersih-bersih, memasak, dan mengurus keperluan lain… untuk mengganti uang yang sudah Bapak berikan kepada orang tua saya.” Rehan terdiam beberapa detik sebelum menghela napas panjang. “Alya, kamu tidak perlu sampai melakukan hal itu.” “Tapi saya tidak enak, Pak,” Alya buru-buru menyahut. Rasa bersalah begitu jelas terasa pada nada suaranya. “Orang tua saya, mereka meminta terlalu banyak. Uang itu sangat besar. Saya tidak tenang kalau tidak membalasnya.” Rehan menatapnya lama, seakan menimbang sesuatu dalam pikirannya. Akhirnya ia berkata pelan, “Kalau itu yang kamu inginkan, ya sudah. Tapi, jangan memaksakan dirimu kalau tidak bisa. Saya tidak mau kamu kenapa-napa di rumah ini.” Alya menunduk dalam. “Saya mengerti, Pak…” Rehan berdiri, hendak meninggalkan kamar. “Sekarang istirahat. Kamu sudah terlalu lelah hari ini.” Ia baru berjalan dua langkah ketika suara Alya lembut kembali memanggilnya. “Pak Reihan…” Reihan menoleh. Sorot matanya menunjukkan campuran antara bingung, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Alya menatapnya dengan mata yang tampak lelah namun tulus. “Terima kasih… untuk semuanya.” Reihan terdiam sejenak, seolah ucapan itu menyentuhnya lebih dalam dari yang ia perlihatkan.Sudut bibir Reihan terangkat sedikit, membentuk senyum yang jarang ia berikan pada siapa pun. Tanpa berkata apa pun lagi, ia mengangguk, kemudian menutup pintu perlahan, membiarkan Alya beristirahat, sementara pikirannya sendiri masih dipenuhi rasa cemas terhadap gadis itu. *** Keesokan paginya, Alya bangun jauh lebih awal dari biasanya. Meski masih lelah secara emosional, ia memaksa dirinya bergerak. Hari ini ia harus mulai bekerja, sebagai pelayan di rumah pria yang kini sah menjadi suaminya. Dengan cekatan ia menyapu, mengepel, merapikan ruang tamu, lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia baru saja menata hidangan di meja makan ketika suara langkah kaki terdengar. “Sedang apa?” suara Reihan membuat Alya menoleh spontan. Pria itu baru saja keluar dari kamarnya, sudah rapi dengan setelan kerja. kemeja biru yang disetrika sempurna, rambut tersisir rapi, dan wangi parfum maskulin menyertai setiap langkahnya. Sejenak, sorot mata Alya terperangah, Reihan selalu terlihat tampan tanpa usaha. Reihan berjalan mendekat, menarik kursi dan duduk. Matanya menyapu hidangan yang disajikan Alya. “Kelihatannya enak,” pujinya, tulus. Alya menggenggam jemarinya gugup. “Apa… apa Pak Reihan ingin saya buatkan kopi?" Reihan tersenyum tipis. “Boleh. Jika tidak merepotkan.” Alya segera berbalik dan menuju kompor. Tangannya cekatan memanaskan air, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan. Beberapa menit kemudian, secangkir kopi hitam mengepulkan uap hangat siap di tangannya. “Ini kopinya, Pak...” Namun langkahnya mendadak tersandung kaki meja. Alya terhuyung, dan kopi panas itu tumpah mengenai celana bagian paha Reihan. “Astaga!” ucap Alya panik. Ia segera mengambil tisu dari meja, kemudian tanpa pikir panjang langsung menunduk dan mencoba membersihkan noda kopi itu dari kaki Rehan. “M-maaf, Pak… saya tidak hati-hati… saya benar-benar minta maaf…” ucapnya gugup sambil terus mengusap-usap celana Reihan, tak menyadari area yang sedang ia sentuh. “Sudah, Alya. Tidak apa-apa,” ucap Reihan mencoba menghentikannya. Namun Alya tidak mendengar. Rasa bersalah membuatnya fokus menggosok noda, tanpa sadar sentuhan tangannya mulai meluncur ke area yang tidak seharusnya. Tubuh Reihan menegang seketika. Wajahnya memanas, rahangnya mengeras, nafasnya teratur namun terdengar berat, jelas berusaha menahan sesuatu yang tidak boleh muncul di saat seperti ini. Hingga akhirnya ia cepat-cepat mencekal pergelangan tangan Alya. “Alya… hentikan,” suara Reihan rendah dan berat. “Tanganmu… menyentuh sesuatu.” Alya membeku. Nafasnya tercekat. Perlahan ia mendongak, dan mata mereka bertemu dari jarak yang sangat dekat. Hingga Alya bisa merasakan nafas hangat Reihan menyapu pipinya, membuat tubuhnya kaku seketika. “M-men… menyentuh apa?” bisiknya gugup, hampir tak terdengar.“M-men… menyentuh apa?” bisik Alya, rasa gugup membuat suaranya tercekat. Ia benar-benar tidak paham kenapa Reihan tiba-tiba menghentikannya dengan cara seperti itu.Reihan menatapnya dengan intensitas yang membakar. Matanya menyiratkan perjuangan batin yang dalam. Rahangnya masih mengeras, dan napasnya terdengar semakin berat. Lalu menggenggam kedua tangan Alya dan menariknya untuk menjauh dari area yang sudah Alya sentuh.“Kamu tidak perlu menggosoknya lagi,” kata Reihan, suaranya serak menahan gejolak. “Sudah saya bilang, tidak apa-apa.”Alya menggeleng cepat, rasa bersalah membuatnya keras kepala. “Tapi, nodanya, Pak. Saya tidak mau celana Bapak kotor. Kalau tidak dibersihkan sekarang, nanti… nanti nodanya susah hilang…”Tanpa sadar, ia kembali menunduk, dan tangannya sudah meluncur lagi ke area yang sama. Ia mengusapnya lagi, kali ini lebih fokus, berniat menghilangkan jejak kopi yang baru tumpah.Reihan memejamkan mata, menahan erangan yang hampir lolos dari bibirnya. Gadis ini
Langit sudah mulai gelap ketika mobil yang dikendarai Reihan akhirnya berhenti di pelataran rumah besar itu. Lampu-lampu halaman memantulkan cahaya lembut pada bangunan megah tersebut, menciptakan bayangan tenang yang kontras dengan gejolak di hati Alya.Malam kian larut, namun Alya masih duduk termenung di tepi ranjang kamarnya. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja mengguncang hidupnya. Semuanya terjadi begitu cepat, terlalu cepat, hingga kini ia bahkan masih sulit percaya bahwa statusnya telah berubah menjadi istri dari pria yang dulu hanya ia panggil “Pak Reihan” di ruang kelas.Di tengah lamunannya, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu.“Alya, saya boleh masuk?” suara Rehan terdengar dari luar, tenang namun penuh kehati-hatian.Alya tersentak kecil. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab pelan,“Iya… silakan.”Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Reihan yang sudah berganti memakai pakaian santai. Rambutnya masih sedikit basah, beberapa helai
Salim terdiam sejenak mempertimbangkan ucapan istrinya, lalu mengangguk mantap. “Benar,” ucapnya tegas.Alya membeku, matanya membesar.“Ayah… tidak! Kami nggak ngapa-ngapain! Itu semua cuma salah paham warga! Kenapa malah minta uang ke Pak Reihan yang udah nolong Alya…?” Suaranya bergetar, terdengar lebih terluka daripada marah.“Maling mana ada yang ngaku, Alya…” gumam Sari pelan tapi menusuk, membuat Alya menunduk semakin dalam.Reihan menepuk bahu Alya lembut, mencoba menenangkannya. “Sudah… tidak apa-apa,” ucapnya pelan. Lalu ia menoleh ke Salim dan Sari. “Berapa yang kalian minta?”Sari langsung menjawab, cepat dan tanpa ragu. “Lima puluh juta.”Reihan terdiam. Ia menatap Alya sebentar, memperhatikan wajah gadis itu yang pucat, matanya memohon agar ia tidak menuruti permintaan itu.Alya menggeleng kecil, nyaris tidak bersuara. “Pak… jangan… ini nggak bener…”Namun Salim memotong, suaranya dingin, “Apa yang nggak bener? Kamu pikir bapak membesarkanmu supaya kamu bisa bikin malu
Mendengar ucapan itu, Alya cukup terkejut. Status kepala prodi mungkin sudah tidak asing di telinga Alya. Tapi menyebut Reihan sebagai suaminya, jelas ini masih menjadi sesuatu yang aneh baginya.Namun, akhirnya Alya hanya bisa mengangguk pasrah. “Baik, Pak.”“Kamu tunggu di gang samping kampus ya, nanti saya lewat sana,” ujar Reihan lagi.Alya paham dengan arah ucapan itu. Kalau ia langsung naik ke mobil Reihan di parkiran, pasti akan banyak orang yang melihat. Itu jelas akan menimbulkan gosip.Alya mengangguk lagi dan langsung meninggalkan ruangan Reihan. Ia berjalan ke arah gang samping kampus untuk menunggu Reihan.Sambil menunggu Reihan, Alya meremas tali tasnya erat-erat. Angin siang itu memang terasa panas, tapi kedua telapak tangannya justru dingin.Perasaan Alya campur aduk antara takut dan khawatir. Ia takut saat ayahnya bertemu dengan Reihan dan tahu fakta soal pernikahan mereka, amarah ayahnya akan lebih besar dari pagi tadi. Selain itu, ia juga tidak siap menyeret Reihan
Alya sempat terdiam, matanya sedikit melebar karena terkejut mendengar ucapan Reihan barusan. Ia tidak menyangka pria itu akan mengusulkan hal seperti itu.Namun selang beberapa detik, keterkejutannya perlahan mereda. Ia mulai memikirkan ucapannya dan memang, apa yang Reihan katakan ada benarnya. Jika pernikahan itu tersebar di kampus, apalagi dengan alasan yang memalukan, hidup mereka akan semakin sulit.Alya menghela napas pelan, lalu mengangguk.“Baik… saya mengerti,” jawabnya lirih.Akhirnya, Alya kembali melangkah masuk ke kamar. Malam itu, rasanya pikirannya sangat campur aduk. Shock perkara dibegal dan hampir dilecehkan belum sepenuhnya pulih, tapi sudah harus menerima masalah baru.Alya merebahkan tubuhnya yang masih lemah di ranjang sederhana itu. Sekarang, statusnya sudah berubah menjadi istri dosennya sendiri. Apa jadinya kalau orang-orang tahu ini.Tak mau semakin pusing, Alya mulai memejamkan matanya. Berharap esok hari semua bisa lebih normal untuknya.***Pagi itu, Alya
Kini, di ruang yang luas itu, Reihan dan Alya duduk bersebelahan. Di hadapan mereka, seorang penghulu yang dipanggil secara mendadak oleh warga sudah bersiap memulai prosesi. Beberapa warga lain berdiri di sekitar mereka, menjadi saksi dari kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.Sebelumnya, penghulu telah meminta Alya dan Reihan menyerahkan kartu identitas sebagai syarat pernikahan.Alya hanya bisa duduk kaku. Kedua tangannya saling meremas erat, mencoba menahan ketakutan yang terus mengguncang hatinya. Ia baru saja mengalami nasib buruk, nyaris diperkosa oleh begal, dan kini ia malah dituduh berzina oleh dosennya sendiri. Semua terasa begitu tidak adil.“Apa… harus sampai seperti ini?” tanya Alya lirih pada Reihan yang duduk di sampingnya. Suara nya bergetar, hampir tak terdengar.Reihan menarik napas panjang sebelum menjawab, “Mau bagaimana lagi? Kita tidak punya pilihan lain. Percuma membela diri mereka tetap tidak akan percaya.”Penghulu itu kemudian menatap mereka.







