"Mba Titan mau ke mana?" tanya Giselle saat dirinya baru saja tiba di apartemen.
"Ayo, ikut aku," ajak Titan. "Ke mana?" Giselle bertanya lagi. "Sudah, ikut saja. Nanti juga kamu tahu!" Keduanya lalu menuruni lift menuju basement di mana mobil Titan di parkirkan. Tak lupa Titan memakai masker untuk menutupi wajahnya agar tak dikenali orang-orang di sekitarnya. "Mba Titan nih masih pakai masker, orang-orang di luar sana pasti juga sudah lupa kalau Mba Titan itu, dulunya artis," seloroh Giselle meledek. Bukannya marah asistennya berkata demikian, Titan malah membalasnya dengan senyuman. "Lihat saja nanti, kalau aku jadi artis lagi, gaji kamu aku potong selama tiga bulan." "Tidak masalah, asalkan aku masih dikasih makan," Giselle menantang. Titan hanya bisa menghela napas. Baginya, Giselle tak hanya seorang asisten, tapi, gadis di sampingnya itu sudah seperti adiknya. Hanya butuh waktu kurang dari tiga puluh menit, mobil yang dikendarai Giselle masuk ke area parkir sebuah kafe yang ada di pusat kota. Keduanya turun dari mobil dan berjalan masuk ke kafe, tak terlalu banyak orang di sana membuat Titan melenggang bebas membuka maskernya. Pelayan kafe yang mengenali Titan, berbisik-bisik saat artis itu melewati mereka. Titan tak peduli. Terserah mereka mau bicara apa tentang dirinya. "Dewi Titan, sini!" teriak Galaksi sambil melambaikan tangan saat Titan nampak mencari keberadaannya. "Maaf ya, aku telat," ucap Titan sambil mendudukkan tubuhnya di kursi. "Siapa dia, kenapa tidak ikut duduk juga?" Galaksi menunjuk gadis yang masih berdiri. "Oh iya kenalkan, dia Giselle, asistenku." Gadis itu sontak tertegun dengan mulut terbuka melihat pria yang begitu tampan. Titan bahkan sampai menyenggol tangan sang asisten agar tersadar. "Akh... Maaf. Halo, aku Giselle asisten Mba Titan," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Aku, Galaksi." Pria itu menyambut uluran tangan Giselle. ***** Titan, kini sudah berada di mobil setelah pertemuannya dengan Galaksi. Gadis itu nampak sibuk membuka lembaran kertas di tangannya. Giselle yang sedang mengemudikan mobil, berkali-kali melirik ke arah Bos-nya itu. "Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu tanyakan?" Titan meletakkan naskah ditangannya di kursi belakang. "Mba Titan yakin, mau ambil peran ini?" tanya Giselle. Karena peran yang diambil Titan hanya peran kecil. "Kenapa tidak. Aku sudah lama tidak berakting. Mungkin, ini salah satu jalan agar aku bisa kembali ke dunia hiburan," jelas Titan. "Turunkan aku di depan, aku ingin membeli beberapa bahan makanan. Kamu langsung ke apartemen saja." Giselle mengangguk, lalu menghentikan mobilnya di depan sebuah supermarket. "Mau aku tunggu?" "Tidak usah, kamu pulang saja. Aku akan jalan kaki ke apartemen," Titan turun dari mobil, tak lupa ia memakai masker. Bagaimanapun juga, ia ingin melenggang bebas berjalan di dalam sana tanpa ada orang yang mengenalinya. Sambil membawa troli, Titan berjalan berkeliling mencari bahan makanan. Ia kemudian berhenti di stand berisi ikan segar. Titan melihat ikan salmon yang di kemas di dalam chest freezer. Saat tangannya sudah menjangkau ikan itu, ternyata ada orang yang juga berbarengan memegangnya. "Aku, yang memegangnya lebih dulu," tegas Titan sambil mengarahkan pandangannya pada orang itu. "Dia?" Titan terkejut. Orang itu, adalah... untung saja ia memakai masker. Titan gugup. "Bukankah kita sama-sama memegang ikan ini," ucap pria itu yang ternyata Gallen. "Tapi, aku yang lebih dulu melihatnya," terang Titan. "Aku juga melihatnya lebih dulu," Gallen tak mau kalah. "Pria ini memang menyebalkan. Untung saja, aku memakai masker," racau Titan dalam hati. Seorang karyawan supermarket yang berdiri tak jauh dari mereka mendengar percakapan keduanya, ia kemudian datang menghampiri. "Permisi," sapa karyawan itu sopan. Keduanya lalu menoleh bersamaan. "Maaf, tadi saya tidak sengaja mendengar perdebatan kalian, apa boleh saya memberi saran," ucap karyawan itu hati-hati. "Silakan," sahut keduanya kompak. "Apa kalian berdua menginginkan ikan ini?" karyawan itu menunjuk ikan salmon yang tergeletak pasrah di atas tumpukan es. Keduanya lagi-lagi mengangguk kompak. "Begini saja, karena stok ikan ini hanya tinggal satu, dan ukuran ikan ini juga cukup besar, bagaimana kalau saya membaginya menjadi dua?" usul karyawan itu memberi solusi. "Baiklah. Aku mau bagian bawah," pinta Titan. "Tidak bisa, aku juga mau bagian bawah," sela Gallen. "E... apa tidak ada yang mau bagian kepalanya?" tanya karyawan itu. Ia sudah pusing dengan tingkah dua orang di depannya. "Tidak!" Lagi-lagi mereka kompak menjawab. Karyawan itu menghela napas dalam sebelum akhirnya membelah ikan itu menjadi dua, kedua orang itu sama-sama mendapatkan bagian sama rata dari ikan salmon tersebut. Sungguh tragis nasib ikan salmon yang tak berdosa itu! Setelah mendapatkan bagiannya, Titan memalingkan wajahnya, buru-buru pergi dari sana, berharap pria itu tak mengenali dirinya. Sampai Titan pergi Gallen masih tak menyadari jika, wanita yang berdebat dengannya adalah Titan. Titan menghentikan langkahnya di depan sebuah lemari pendingin, ia mengambil satu botol air mineral lalu membuka kemasannya untuk diminum karena sudah kehausan. Ditambah energinya terkuras karena bertemu dengan pria yang pernah tidur dengannya. Titan masih berpikir seperti itu, nyatanya? "Eh, itu bukannya Dewi Titan?" ucap seorang gadis yang mengenali artis itu saat maskernya dilepas. "Iya benar, itu Dewi Titan. Sudah lama menghilang ternyata, masih berani menampakkan diri. Sangat tidak tahu malu," cibir salah satu dari mereka. "Lihat gayanya, masih sok seperti dulu, mungkin sekarang masih menjadi simpanan suami orang," lanjut gadis itu. Kedua gadis berseragam kantor itu menghampiri Titan. "Wah...Wah... aku sungguh tidak menyangka bertemu dengan artis yang sudah tidak laku lagi di dunia hiburan," sindir salah satu dari mereka. Mendengar sindiran itu, Titan menoleh lalu mengabaikannya, ia sudah tak punya energi lagi meladeni mereka. Ia sadar, dirinya yang dulu terlalu jujur dan mungkin menyinggung banyak orang. Jadi, kalau sekarang orang-orang berpikir negatif tentang dirinya, mungkin itu karma dari kelakuannya dulu. Yang penting, dia harus fokus pada pekerjaannya!Musim gugur di Inggris selalu membuat langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Gallen Alpha Pratama duduk di bangku taman dekat asrama sekolah internasionalnya, mengenakan seragam lengkap, dengan mantel abu-abu tua melapisi tubuh tingginya yang masih tampak kurus saat itu. Ia memandangi jam tangan di pergelangan kirinya. Bukan untuk melihat waktu, tapi karena jam itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa—hadiah dari seorang anak perempuan kecil dengan suara cempreng dan senyum paling cerah yang pernah ia kenal: Titan. "Kalau kamu merasa sendirian, lihat jam ini ya. Aku di sini. Menunggumu pulang." Namun waktu justru membuat semuanya kabur. Bertahun-tahun berlalu tanpa satu pun kabar dari Titan. Surat-surat yang ia kirim tak pernah dijawab. Bahkan Kakek Pratama memintanya untuk fokus sekolah dan melupakan masa kecilnya di Indonesia. "Gallen, kalau kamu ingin jadi pewaris yang kuat, kamu harus belajar berdiri sendiri. Perasaan bisa jadi beban." – itulah kata-kata kakeknya.
Rooftop gedung Alpha Star Entertainment berubah jadi tempat makan malam romantis paling indah. Meja panjang tertata rapi dengan taplak putih bersih, piring-piring porselen, lilin kecil yang menyala lembut, dan lampu-lampu gantung seperti bintang-bintang jatuh di atas kepala mereka. Malam itu terasa hangat meski angin pelan berembus dari sisi bangunan. Di sana hadir semua orang terdekat yang sudah menjadi bagian dari perjalanan Titan dan Gallen: Starla dengan senyum cerianya, Vega duduk anggun penuh kasih, Kakek Pratama tampak jauh lebih tenang, Galaksi, Hamal, Rigel, Orion, dan Giselle menebar tawa dengan candaan kecil mereka. Dan tentu saja, Gallen dan Titan duduk berdampingan. Semua larut dalam kebahagiaan dan obrolan. Mereka mengenang masa lalu dengan tawa—meski beberapa kisah dulu penuh luka, malam ini tak ada yang mengingatnya dengan sedih. Hingga saat jam menunjukkan tengah malam, Titan bangkit dari kursinya. Lampu-lampu gantung diredupkan pelan, menyisakan cahaya ha
Balkon Apartemen Titan Udara sore menyusup pelan di antara sela-sela balkon. Angin menggerakkan tirai ringan dan menyibakkan helai rambut Titan. Ia duduk bersila di depan Gallen yang diam di kursi rodanya, membiarkan Titan memegang wajahnya dengan lembut. "Bulu-bulu ini sudah seperti ilalang, Gallen. Kamu bukan serigala, kan?" canda Titan, sembari mengusap dagu Gallen yang mulai bersemak. Gallen tersenyum kecil. "Kalau serigala sepertiku, kamu mau tetap pelihara?" "Kalau serigalanya hanya melolong padaku, mungkin." Titan mulai mengoleskan krim cukur, lalu perlahan membersihkan wajah Gallen. Setelah itu, Titan menyisir rambut Gallen dan mulai memotongnya dengan hati-hati. "Kenapa kamu tidak mengurus diri sendiri?" tanyanya pelan. "Gallen yang aku kenal selalu tampil bersih dan rapi." Gallen menunduk. "Karena tidak ada kamu." Keheningan menyelip masuk sejenak. "Bagaimana dengan fisioterapi?" tanya Titan kemudian. Gallen terdiam. Ia tahu jawabannya tak akan membuat Ti
Orion berdiri di tengah ballroom megah yang sudah disulap menjadi panggung pertunangan impian. Lampu kristal menggantung, bunga mawar putih dan merah tertata indah di sepanjang jalan masuk. Para tamu berdatangan dengan senyuman, tak menyadari bahwa semua ini hanya sandiwara… dengan penonton utama yang belum tiba. Titan berdiri di belakang panggung bersama Rigel dan Orion. Gaun putih berpotongan elegan melekat indah di tubuhnya, senyumnya tenang… tapi matanya penuh waspada. "Dia akan datang," ucap Titan lirih. Rigel menoleh, memastikan tak ada yang mendengar. "Kamu yakin?" Titan hanya mengangguk. Sementara itu… Sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari venue. Hamal keluar terlebih dahulu, lalu membuka pintu belakang. Dari sana, Gallen muncul—berpakaian serba hitam. Setelan rapi, tanpa dasi. Sepasang sarung tangan kulit membungkus tangannya. Wajahnya tajam dan penuh tekad, tapi sorot matanya menyimpan luka yang dalam. Di tangannya, sebuah kotak kecil berwarna biru tu
Lorong apartemen Titan lengang. Hanya suara langkah kaki Hamal yang terdengar, cepat namun tetap terjaga. Di tikungan menuju unit Titan, ia berpapasan dengan seseorang. "Eh? Mas Hamal?" suara familiar terdengar. Giselle. "Oh… Giselle," Hamal menyunggingkan senyum kecil. "Dewi Titan ada di dalam?" "Ada," jawabnya. Ada yang penting?" "Sedikit. Terima kasih, Giselle." Setelah Giselle berlalu, Hamal mengatur napasnya. Ia mengepalkan tangan lalu menekan bel apartemen. Tak lama, Titan membukakan pintu. Matanya terkejut, namun tak menunjukkan emosi berlebihan. "Hamal?" "Boleh aku masuk, Dewi Titan?" Titan mempersilakan. Di ruang tamu yang tenang, mereka duduk saling berhadapan. Titan menatap lurus ke arah Hamal. "Ada apa? Tumben kamu datang ke sini?" tanya Titan penuh selidik. Hamal menggeleng perlahan. "Ada hal penting. Aku hanya ingin memberitahu sesuatu padamu." Wajah Hamal tampak serius. Titan diam. Hamal pun melanjutkan. "Aku tahu kamu mengikuti mobil itu... saat
Di ruang belakang kantor produksi Orion, Titan duduk di sofa coklat tua dengan tangan bersedekap. Di depannya, Orion berdiri menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Kalimat terakhir Titan membuatnya tercekat. "Kamu bilang... Gallen masih hidup?" Orion hampir menjatuhkan mug kopinya. Titan mengangguk pelan. "Dan dia sekarang… lumpuh?" suaranya nyaris berbisik. Titan mengangguk lagi, kali ini dengan sorot mata penuh luka. "Aku melihatnya sendiri. Kursi roda, tubuhnya lebih kurus, dan dia bersembunyi di rumah Kakek Pratama." Sebelum Orion bisa berkata apa-apa, suara pintu terbuka tiba-tiba. Galaksi masuk tanpa rasa bersalah, seperti biasa. "Aku dengar Kak Gallen masih hidup dan lumpuh??!!" serunya pura-pura kaget. Tatapan Titan dan Orion langsung tertuju padanya. "Kamu nguping!" tuduh Titan. "Eh, bukan salahku, ruangannya kedap suara tapi pintunya kebuka," kilah Galaksi cepat sambil nyengir. Titan memicingkan mata. "Kamu pintar banget menyembunyikan ini dariku,