Pagi berikutnya, saat sarapan, Bu Maria masih tak bisa berhenti memikirkan kehamilan yang tak kunjung datang.
"Sudah berapa kali aku bilang, Yah? Melia sepertinya masalahnya besar," katanya pada suaminya.
Pak Darma mencoba tetap tenang, berkata, "Bu, kita nggak bisa menyalahkan siapa pun. Radit dan Melia sudah berusaha."
Bu Maria pun kembali mengusulkan untuk pergi ke Gus Bokis, saran dari Bude Yati. "Mungkin ada yang bisa membantu mereka."
"Tidak, Bu," tegas Pak Darma. "Kita nggak boleh menggantungkan harapan pada hal-hal seperti itu. Serahkan semuanya pada Allah."
Bu Maria mendesah kesal, tapi akhirnya berkata, "Baiklah. Tapi kalau dalam beberapa minggu nggak ada perubahan, ibu akan mencoba cara lain."
Sarapan berakhir dalam keheningan, namun ketegangan masih terasa di antara mereka.
Setelah Pak Darma berangkat ke kantor, Bu Maria masih duduk termenung di meja makan. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Keinginan agar Radit dan Melia segera memiliki anak membuatnya resah.
Meskipun ia tahu baik Radit maupun Melia tegas menolak segala metode yang dianggap tak masuk akal, termasuk pergi ke Gus Bokis atau apapun namanya, namun Bu Maria merasa ada jalan lain yang bisa ia tempuh.
Dengan cepat, Bu Maria mengambil ponselnya dan menelepon Bude Yati. Suaranya pelan namun tegas, memastikan bahwa suaminya sudah benar-benar pergi.
"Halo, Bude, ini Maria," kata Bu Maria dengan nada rendah.
"Oh, Maria! Apa kabar, sayang?" sahut Bude Yati dengan nada ceria seperti biasa. Bu Maria sudah terbiasa dengan suara genit kakak iparnya itu, yang memang selalu tampak penuh semangat, meskipun sering kali berlebihan.
"Aku ingin bicara soal Radit dan Melia. Mereka menolak pergi ke Gus Bokis, jadi aku punya ide..." Bu Maria terdiam sejenak, memastikan suaranya hanya terdengar di ruang itu, "...bagaimana kalau kita saja yang pergi tanpa mereka? Kita coba selesaikan masalah ini sendiri."
Bude Yati terdengar terkejut namun langsung antusias. "Wah, itu ide yang cemerlang, Maria! Mereka nggak perlu tahu. Yang penting kita coba dulu. Banyak pasangan yang akhirnya punya anak setelah pergi ke Gus Bokis, meski mereka nggak mau terlibat!"
Bu Maria mengangguk meskipun tahu Bude Yati tak bisa melihatnya. "Tapi Bude, ini rahasia kita. Mas Darma menentang keras soal ini. Jadi jangan sampai ada yang tahu, ya."
"Oh, tenang saja! Siapa yang bakal bocorin? Urusan kita ini!" Bude Yati terkekeh genit. "Kalau besok bagaimana?"
Bu Maria berpikir sejenak. Meskipun ada keraguan di hatinya, keinginan kuatnya untuk melihat Radit dan Melia memiliki keturunan lebih besar daripada kekhawatirannya. "Kita tunggu momen yang pas dulu, Bude. Kita harus hati-hati."
"Sudah pasti, Maria! Kapan pun kamu siap aku jemput, ya. Pokoknya, tenang saja. Ini akan menjadi rahasia kita dan pastinya akan berhasil," jawab Bude Yati dengan penuh keyakinan.
Setelah telepon ditutup, Bu Maria menghela napas panjang. Ia tahu tindakannya bisa menimbulkan masalah jika ketahuan, terutama oleh suaminya, tapi ia meyakinkan diri bahwa semua ini demi kebaikan anak dan keluarganya.
Sementara di tempat lain. Radit yang merasa tertekan dengan masalah yang menghimpitnya. Memutuskan menemui Irsad, mantan teman kuliahnya yang sudah lama tak bertemu.
Di sebuah kafe kecil, mereka berbincang ringan mengenang masa lalu. Namun, Radit merasakan semakin berat di dadanya. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk memulai topik sensitif.
"Sad, gue lagi bingung banget," ucap Radit serius. "Masalah rumah tangga gue..."
Irsad terkejut. "Kenapa, Dit? Gue kira lu sama Melia baik-baik aja?"
Radit menghela napas berat. "Baik, tapi... udah lima tahun, Sad, dan belum ada anak. Keluarganya Melia, terutama keluarga gue, makin mendesak. Gue udah periksa, dan ternyata masalahnya di gue, bukan Melia."
Irsad terdiam, penuh simpati. "Pasti berat buat lu."
Radit mengangguk. "Iya, Melia nggak pernah protes, tapi keluarga gue terus nuduh dia. Gue nggak bisa bilang yang sebenarnya."
Setelah ragu sejenak, Radit akhirnya bicara dengan nada ragu. "Sad, gue butuh bantuan lu. Ini gila, tapi gue nggak tahu harus gimana lagi..."
Irsad menyimak dengan tatapan serius. "Apa maksud lu, Dit?"
Dengan penuh rasa malu, Radit mengungkapkan niatnya. "Gue... mau lu bantu Melia untuk hamil."
Irsad terkejut. "Lu serius, Dit? Gue yang harus nidurin istri lu? Lu harus ngelakuin itu?"
Radit menunduk, merasa putus asa. "Gue nggak tahu siapa lagi yang bisa gue percaya. Gue cinta Melia, tapi gue nggak bisa ngasih dia anak. Gue juga percaya lu gak akan ngerendahin Melia."
Irsad terdiam lama, memproses permintaan itu. "Dit, gue ngerti posisi lu, tapi ini nggak gampang. Gue nggak bisa jawab sekarang."
Radit mengangguk pelan. "Gue ngerti, gue cuma minta lu pikirin, lebih cepat lebih baik, tapi gue juga mau semuanya berjalan normal, gak grasa-grusu. Sebenarnya gue juga gak tahu Melia mau atau kagak."
“Lah, kenapa lu nekad?”
“Gue tahu lu bakal bisa meluluhkan hati Melia, lu ganteng, lu kaya, lu udah berkeluarga dan punya anak. Gue yakin lu bisa ngebikin Melia mau selingkuh sama lu.”
“Tapi ini beda, Dit. Gue tetep harus merencanakan dengan matang, kecuali kalau lu sama Melia udah sepakat. Kalau Melia aja belum tahu, gue harus berhati-hati. Mesti jaga keluarga gue juga jangan sampai tahu. Jadi kasih gue waktu buat mikir satu atau dua minggu.”
Pertemuan berakhir dengan ketegangan. Radit pulang dengan perasaan hampa, tidak yakin apakah langkah yang diambilnya benar atau justru akan membawanya pada kehancuran.
Sesampainya di rumah, Radit duduk di ruang tamu, menunduk dalam keheningan. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Ia memandang ke arah kamar, melihat Melia sudah tertidur dengan tenang di ranjang mereka.
Wajah istrinya begitu damai, tanpa sedikit pun tahu apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya.
Radit merasa dadanya semakin sesak. Ia mencintai Melia, wanita yang setia, salihah, dan selalu sabar mendampinginya. Namun, tekanan dari keluarga dan harapan yang tak kunjung terwujud membuatnya terjebak dalam dilema besar.
"Kenapa ini harus terjadi?" gumam Radit dengan suara bergetar. Ia merasa bersalah, marah pada dirinya sendiri.
Jauh di lubuk hatinya, ia tidak ingin merusak semua ini. Ia tidak ingin mengambil langkah yang berpotensi menghancurkan kebahagiaan mereka berdua. Melia tidak pantas diperlakukan seperti ini—dia sudah berkorban banyak, dan Radit merasa gagal sebagai suami.
Dengan air mata yang terus mengalir, Radit berdoa dalam hatinya, berharap ada jalan keluar yang tidak harus mengorbankan cintanya kepada Melia. Malam itu, Radit tertidur dalam kebingungan dan rasa bersalah, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
^*^
^*^
Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk
Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
"Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal