Pagi itu, Bu Maria bangun dengan semangat yang jarang ia rasakan. Hatinya gembira, bahkan ada senyum yang tersungging di bibirnya. Suaminya akan pergi dinas luar selama tiga hari, memberikan kesempatan untuk melaksanakan rencana yang sudah lama ia simpan.
Sambil menyiapkan sarapan, Bu Maria terus bersenandung, seakan kegembiraan ini tidak bisa ia sembunyikan. Namun, sesekali ada kekhawatiran yang muncul. “Bener gak ya, jalan ini? Apa gak dosa ya minta bantuan begituan?” batinnya ragu.
Ia menghela napas panjang, melirik ke arah jam dinding yang berdetak pelan. Ia tahu, di balik senandungnya itu ada rasa was-was yang terus mengintai.
“Tapi... ini demi kebaikan Radit dan Melia,” bisiknya, berusaha meyakinkan diri.
Setelah Pak Darma pergi, Bude Yati menjemput Bu Maria dengan mobil Tony, menantunya. Tony sudah beberapa kali mengantar Bude Yati, mertuanya ke tempat Gus Bokis.
Setelah berada dalam mobil, Bu Maria masih merasa tegang.
“Tenang, Mar. Kita cuma mau cari solusi buat Radit dan Melia. Mereka bakal berterima kasih nanti,” kata Bude Yati.
“Iya, Bude. Mungkin karena ini pertama kali saya mau ketemu Gus Bokis, jadi deg-degan,” jawab Bu Maria.
“Gus Bokis orang pinter, bukan dukun kaya di sinetron. Dia gak pakai mantra, tapi dikenal luas sebagai penasihat spiritual,” Bude Yati menenangkan.
Tony ikut menyahut, “Betul, Tante. Banyak yang berhasil, gak cuma soal anak. Asal ada ibu kandungnya, prosesnya bisa jalan. Doa orang tua itu kan sangat manjur dan kuat.”
Perlahan, Bu Maria merasa lebih tenang, walaupun masih ada sedikit keraguan. “Semoga aja bisa bantu Radit dan Melia,” gumamnya.
Setelah perjalanan dua jam, mereka tiba di rumah Gus Bokis, yang lebih mirip villa. Bu Maria takjub.
“Ini rumah Gus Bokis, Bude?” tanyanya.
“Sudah kubilang, gak kaya yang kamu bayangin, Mar!” Bude Yati tersenyum puas.
Tony melapor bahwa Gus Bokis siap menerima mereka. Bu Maria, dengan perasaan cemas tapi penasaran, mengikuti Bude Yati masuk ke rumah Gus Bokis. Interior modern rumah itu membuatnya kagum.
Di ruang tengah, Gus Bokis duduk di kursi besar seperti singgasana. Wajahnya tampan dengan janggut rapi, tubuh tegap, dan sorot mata menenangkan.
“Assalamu’alaikum, Gus,” sapa Bude Yati, yang tampak akrab.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Gus Bokis dengan senyum ramah. Ia menyilakan Bude Yati dan Bu Maria duduk. “Ceritakan saja, Bu, tidak usah sungkan,” katanya lembut pada Bu Maria.
Bude Yati segera mengambil alih, “Maria ini adik ipar saya, dia bingung, Gus. Anaknya, Radit, sudah lima tahun menikah dengan Melia, tapi belum punya keturunan. Sudah berbagai cara dicoba, tapi belum berhasil.”
Bu Maria mengangguk pelan, “Iya, Gus, saya ingin yang terbaik buat Radit dan Melia, kami sudah tak sabar ingin mendapat cucu dari mereka.”
Gus Bokis mendengarkan dengan tenang. “Insya Allah, dengan niat baik dan doa, usaha kita akan berhasil,” jawabnya menenangkan.
Percakapan mengalir lancar, dan Bu Maria mulai merasa nyaman. Namun, Gus Bokis tiba-tiba memberi instruksi yang benar-benar membuat Bu Maria terkejut, “Bu Maris besok atau lusa datang lagi, dengan membawa celana dalamnya Radit.”
Bu Maria terkejut, “Celana dalam Radit, Gus?”
Gus Bokis tersenyum. “Ini bagian dari analisa. Insya Allah, nanti akan ada hasilnya.”
“Bu…bukannya Melia yang bermasalah, Gus?” Bu Marni masih tak mengerti.
“Iya, nanti kita lihat dulu satu-satu, dari suaminya dulu, jika memang tidak ditemukan kendala apa-apa dari Radit, maka selanjutnya yang diperiksa barang pribadinya Melia, alias istrinya.”
Meski masih terkejut, Bu Maria akhirnya setuju. Bude Yati menepuk bahunya, berusaha menenangkan, “Sudah, Mar. Semua ini demi kebaikan Radit. Dari keringat yang tersisa dari celana dalam itulah Gus Bokis akan bisa mendeteksi.”
Bu Maris masih tertegun, memang benar juga, membawa celana dalam Radit jauh lebih mudah, karena di kamar bekas Radit di rumahnya, masih banyak barang-barang pribadinya. Beda cerita kalau mesti membawa barang pribadi Melia, mau tidak mau harus melakukan sesuatu yang agak ekstrim, mungkin dengan cara mencuri. Kalau meminta secara langsung, pasti tidak akan dikasih.
Setelah semuanya dirasa jelas, dan ritual belum bisa dimulai karena salah satu syartnya belum ada. Maka mereka pun berpamitan.
Saat akan keluar itulah, kejutan lain terjadi. Bude Yati memeluk dan mencium pipi Gus Bokis dengan akrab, seolah itu hal biasa. Bu Marni benar-benar terkejut dan merasa canggung, namun dia pun akhirnya terpaksa mengikuti, meski hatinya berdebar tak nyaman.
Setelah dua jam perjalanan yang panjang, mobil berhenti di depan rumah Bu Maria. Jam setengah dua siang. Dengan langkah cepat dan tanpa menoleh, Bu Maria turun dari mobil, merasa lega bisa keluar dari situasi yang tidak nyaman.
"Maria, besok-besok kamu minta dianter sama Kelvin, suaminya Arin aja. Udah tahu ini rumahnya Gus Bokis, jadi gak bakal nyasar," ucap Bude Yati dengan nada riang dari dalam mobil.
Setelah pintu rumah tertutup, Bu Maria berjalan menuju kamar bekas Radit, yang terkadang masih suka diinapi oleh Radit. Dengan hati-hati, ia membuka lemari pakaian. Tangannya gemetar saat melihat tumpukan baju yang masih tersimpan dengan rapi. Di antara tumpukan itu, ada celana dalam anaknya yang mungkin sudah tidak digunakan lagi.
"Ini demi kebaikan Radit dan Melia," gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.
Dengan perasaan hati yang bercampur aduk, Bu Maria melipat celana dalam Radit dan memasukkannya ke dalam tas kecilnya. Rasa cemas dan harapan segala usahanya bisa membuahkan hasil bergemuruh di dadanya.
Besoknya Bu Maria bersiap kembali ke rumah Gus Bokis, kali ini tanpa Bude Yati dan Tony. Dengan tidak ada pilihan lain, dia meminta Kelvin, menantu bungsunya, untuk mengantar. Meski bingung, Kelvin setuju saja karena Bu Maria memintanya dengan lembut.
"Kelvin, tolong antar ibu ke tempat yang nggak jauh, sekitar dua jam dari sini," kata Bu Maria sambil mengenakan helm.
Kelvin penasaran, "Emang Bude Yati kemana?"
"Bude Yati lagi ada acara, jadi ibu minta kamu yang antar," jawab Bu Maria sedikit menghindar, walau sebenarnya Kelvin sudah mendengar rencananya mertuanya itu dari Arin, istrinya. Tujuannya sudah jelas mengobati Radit, kakak iparnya agar cepat memiliki keturunan.
Perjalanan terasa panjang, dan Kelvin beberapa kali mencoba mengobrol ringan. Namun, Bu Maria hanya menjawab singkat, sibuk dengan pikirannya tentang Gus Bokis dan celana dalam milik Radit yang dibawanya. Ada perasaan takut justru anaknya yanga ada masalah. Dia tidak siap, jika sampai Radit yang justru disalahkan dalam hal ini.
Mau dimana ditaruh mukanya yang selama ini sudah terlanjur menyalahkan Melia. Karena dia sangat yakin dalam silsilah keturunannya tidak ada yang mandul, Arin anak bungsunya bahkan sudah bisa melahirkan bayi norml, walau baru lima bulan menikah dengan Kelvin.
^*^
Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk
Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
"Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal