Share

6) Bertemu Mantan

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2025-04-16 18:51:03

Bersamaan dengan Bu Maria dan Kelvin melaju di jalan pedesaan, Melia memutuskan untuk singgah di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Tempat ini selalu memberi ketenangan, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat di sini.

Dengan secangkir teh hangat di tangannya, Melia duduk di salah satu bangku kayu yang menghadap ke jalan. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berat, terutama soal kehamilannya yang terus dipertanyakan oleh ibu-ibu di sekitar rumah.

Apa aku mending tinggal di rumah ibu aja? Biarin aja Mas Radit mau ikut sukur, gak juga gak apa-apa, pikirnya.

Melia menggulir layar ponselnya, mencoba mencari hiburan sejenak di media sosial, Melia mendesah panjang. Sepertinya, tak ada jalan mudah untuk lari dari kenyataan. Pandangannya masih tertuju pada layar ketika tiba-tiba, suara yang sangat familiar memecah keheningan siang itu.

"Melia ya?"

Melia mengangkat kepala. Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jaket ojek online dan helm di tangan. Sosok yang begitu dikenal, tapi terasa seperti bagian dari masa lalu yang jauh. Gilang Pamungkas. Mantan kekasihnya dari masa lalu, seseorang yang dulu pernah sangat dekat dengannya.

"Mas Gilang?" Suara Melia sedikit bergetar, campuran antara keterkejutan dan nostalgia. "Sudah lama sekali..."

Gilang tersenyum, senyum kecil yang menyiratkan kenangan masa lalu. "Nggak nyangka bisa ketemu di sini. Kamu tinggal di kota ini juga, Mel?"

"Iya," jawab Melia, masih berusaha menata perasaannya yang campur aduk. "Aku kerja di kantor Mastex tuh depan sana. Kamu sendiri gimana, Mas? Sudah lama di sini?"

Gilang mengangguk pelan, lalu duduk di bangku kosong di depan Melia, tanpa menunggu dipersilakan.

"Aku di sini sudah dua tahun. Sekarang jadi driver ojek online. Ya, nggak banyak yang berubah," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Meski nada bicaranya terdengar ringan, Melia bisa merasakan ada beban di balik kalimat sederhana itu.

Dia pernah mendengar bahwa pernikahan Gilang dengan Tine, mantan istrinya, tidak bertahan lama. Anaknya kini tinggal bersama ibunya, jauh dari Gilang. Sejenak, Melia merasa iba. Mereka berdua pernah bermimpi besar tentang masa depan, namun takdir membawa jalan yang berbeda.

"Mas, bukannya dulu kamu kerja di..." Melia bertanya pelan, mengingat bahwa Gilang dulu memiliki pekerjaan yang cukup baik.

"Iya, dulu," jawab Gilang dengan sedikit tawa pahit. "Tapi aku sudah resign. Sekarang balik ke sini, nemenin ibu. Nggak buruk, tapi ya gitu deh."

Melia mengangguk paham. Namun sebelum dia sempat menanggapi lebih jauh, Gilang tiba-tiba bertanya sesuatu yang membuat dadanya berdebar.

"Kamu gimana, Mel? Bahagia kan sama suamimu? Udah punya anak berapa sekarang?"

Pertanyaan itu bagai duri yang menusuk tepat di jantungnya. Melia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaan getir yang menyeruak.

"Alhamdulillah, baik-baik saja, Mas. Belum ada anak, tapi kami masih berusaha."

Tatapan Gilang berubah. Ada sesuatu dalam matanya yang seolah mengerti, memahami lebih dari apa yang diucapkan Melia.

"Mel, kamu tahu kan, kalau ada apa-apa, aku selalu ada buat kamu. Meskipun kita udah lama nggak ketemu, aku masih temanmu kan?"

Perhatian yang tulus itu mengguncang hati Melia. Ia teringat masa-masa mereka dulu. Gilang selalu ada untuknya, mengantar dan menjemputnya dengan motor setiap hari tanpa mengeluh. Hujan atau terik matahari, Gilang tetap setia. Kenangan itu sejenak mengembalikannya ke masa lalu, namun Melia segera menepis bayangan tersebut. Ini bukan saatnya untuk larut dalam nostalgia.

Melia buru-buru menghabiskan tehnya dan beranjak dari kursi.

"Terima kasih, Mas Gilang. Aku harus masuk kembali ke kantor. Hati-hati di jalan, ya," ucapnya sambil tersenyum tipis, berusaha menyudahi pertemuan ini dengan sopan.

Gilang mengangguk, membalas senyum Melia. "Ya, kamu juga hati-hati, Mel. Sampai ketemu lagi."

Melia berjalan menjauh, meninggalkan warung kopi itu dengan perasaan campur aduk dia masuk kembali ke kantornya.

Di satu sisi, ia merasa lega pertemuan ini berakhir cepat, namun di sisi lain, ada perasaan yang belum selesai. Pertemuan tak terduga ini membuka kembali pintu kenangan yang sudah lama ia tutup rapat-rapat. Namun, Melia tahu, itu adalah kenangan yang seharusnya tetap terkunci.

‘Andai aku menikah dengan Mas Gilang, mungkin sudah punya anak. Mungkin aku tidak akan menjadi menantu terhina, aku sangat kenal baik dengan ibunya Mas Gilang. Mereka hanya tinggal berdua dari dulu.’

Gilang berdiri di depan warung kopi, memandangi punggung Melia yang semakin menjauh. Angin siang berhembus pelan, membawa aroma teh dan kenangan yang menguar dari masa lalu. Ia masih memegang helmnya, namun tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Hatinya sesak. Bukan karena masih mencintai Melia. Setidaknya, itu yang ia yakini, tetapi karena melihat seseorang yang pernah ia sayangi tampak menyembunyikan luka di balik senyuman tipisnya. Gilang mengenal Melia terlalu baik. Senyum itu… bukan senyum bahagia. Itu senyum bertahan.

Ia menarik napas panjang, lalu perlahan duduk kembali di bangku kayu yang tadi mereka tempati. Teh Melia yang tersisa masih mengepul samar. Gilang menyentuh gelas itu sejenak, seolah ingin menyimpan sedikit jejak pertemuan mereka. Dulu, Melia selalu minum teh manis tanpa gula terlalu banyak. Ternyata belum berubah.

“Dia masih kuat. Tapi kenapa aku merasa dia sedang sendiri?” batin Gilang.

Bayangan masa lalu melintas: Melia tertawa di boncengannya, Melia menangis di pundaknya, Melia menatapnya dengan harapan penuh tentang masa depan. Semua itu dulu terasa nyata, tapi sekarang hanya serpihan yang datang dan pergi seperti angin.

“Kalau saja waktu bisa diputar…” gumam Gilang pelan.

Mata Gilang berkali-kali menatap tulisan “MASTEX” yang terpampang jelas di gedung kaca itu. Sederhana, tapi mencolok. Huruf-huruf kapital berwarna biru tua itu seolah menyeringai, mengingatkannya pada kesempatan yang pernah ia tolak dengan penuh keyakinan—atau mungkin, dengan terlalu banyak gengsi.

Dulu, ia pernah ditawari pekerjaan di sana. Posisi yang cukup strategis, gaji yang lebih dari cukup untuk hidup layak. Tapi tawaran itu datang dari seseorang yang terlalu rumit untuk dijelaskan—Diana, HRD di Mastex, sekaligus perempuan bersuami yang terang-terangan menginginkannya lebih dari sekadar rekan kerja.

Gilang tidak pernah suka bermain api. Ia tahu, menerima tawaran itu berarti membuka pintu yang tak ingin ia lewati. Ia tak ingin terikat dengan utang budi yang bisa berujung manipulasi. Dan lebih dari itu, ia masih percaya bahwa harga dirinya sebagai laki-laki bukan untuk dijual murah atas nama kesempatan.

Namun kini, berdiri di hadapan gedung yang sama, dengan helm yang ia genggam dan penghasilan yang tidak menentu, Gilang mulai bertanya-tanya. Matanya kembali menatap lantai dua, tempat ruang HRD berada. Mungkin di sana sekarang Melia bekerja.

Gilang mengusap wajahnya pelan, lalu menarik napas panjang. Di dada, ada rasa sesak yang tak ia mengerti. Bukan iri. Bukan cemburu. Tapi semacam kekosongan, seperti melihat kereta yang pernah hampir ia naiki, tapi ia biarkan lewat, dan sekarang hanya bisa menonton dari kejauhan.

“Melia ada apa denganmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Birahi Liar istri Setia   31) Arisan Brondong - 5

    Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk

  • Birahi Liar istri Setia   30) Arisan Brondong - 4

    Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda

  • Birahi Liar istri Setia   27) Arisan Brondong - 1

    Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada

  • Birahi Liar istri Setia   28) Arisan Brondong - 2

    "Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan

  • Birahi Liar istri Setia   27) Arisan Brondong - 1

    Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada

  • Birahi Liar istri Setia   26) Arisan Mertua - 6

    Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status