Di ruangan kantor yang relatif besar dan terang, Jordy duduk di balik meja kerjanya, menatap kosong pada buku laporan kinerja yang terbuka di depannya. Lembar-lembar itu seolah hanya hiasan, karena pikirannya melayang jauh dari tanggung jawab pekerjaannya. Wajah Melia istri keponakannya, justru memenuhi pikirannya dalam beberapa hari terakhir ini.
Percakapan di rumah Bu Maris, kakaknya dengan keluarganya, juga obrolan empat mata dirinya dengan Melia saat di mobil, terus menghantuinya. Bukan karena kecantikan dan pesona Melia, tapi perasaan kasih dan tidak nyaman dengan keadaan Melia yang sepertinya selalu terpojok. Dia semakin yakin jika sebenarnya Radit-lah yang bermasalah.
Jordy terus berusaha menepiskan pikiran kotornya. Bagaimana mungkin dirinya, yang selalu menjaga moral dan tanggung jawab, tiba-tiba terjerumus dalam pikiran-pikiran absurd untuk memberikan benih suburnya pada istri keponakannya.
"Kenapa aku bisa sampai memikirkan hal ini?" gumam Jordy sambil menggelengkan kepalanya, mencoba terus mengusir perasaan aneh dan bersalah yang semakin menumpuk.
Tiba-tiba saja, dia merasa perlu berbicara dengan Radit, untuk mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi. Dan sebentar lagi Radit akan datang ke kantornya, dia sedang dalam perjalanan. Jordy masih terus memutar otak, bagaimana mengawali pembicaraan yang sangat sensitif ini dengan keponakannya.
Radit tiba di kantor pamannya dengan langkah mantap, meskipun hatinya penuh dengan keraguan. Dia selalu menghormati Jordy, pamannya yang tegas namun bijak. Namun kali ini, pertemuan itu terasa lebih berat. Radit merasakan tekanan yang kuat untuk berbicara jujur, meskipun dia sendiri tak pernah benar-benar siap untuk membuka aib yang sudah lama ia sembunyikan, bahkan dari keluarganya.
Ketika Radit masuk ke ruangan, suasana redup kantor itu menyambutnya dengan keheningan. Jordy, yang biasanya tersenyum hangat setiap kali melihat keponakannya, tampak lebih serius dari biasanya. Tatapannya lurus pada Radit, seolah sedang berusaha menembus lapisan-lapisan kebohongan yang telah ia rasakan selama ini.
"Radit, duduklah," ucap Jordy dengan suara tenang namun berat.
Radit menurut, duduk di depan meja pamannya. Dia merasa tenggorokannya kering, tangannya berkeringat. Sebuah firasat buruk telah menghantuinya sejak Jordy mengundangnya untuk berbicara secara pribadi.
Keheningan mencekam sejenak, hingga akhirnya Jordy memulai pembicaraan yang berat itu.
"Dit, Om tahu kamu selalu menghormati Om, dan Om tahu kamu mencoba menjadi suami yang baik untuk Melia," kata Jordy perlahan.
"Tapi ada hal yang ingin Om bicarakan denganmu. Om ingin kamu jujur, Dit. Apa sebenarnya yang terjadi di antara kamu dan Melia?"
Radit menggigit bibirnya, merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja sulit bagi dirinya untuk mengucapkan kebenaran yang telah lama ia sembunyikan. Dia menundukkan kepalanya, menghindari tatapan tajam pamannya.
"Om," Radit memulai dengan suara serak, "aku... aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik. Aku... aku sayang sama Melia."
Jordy mengangguk, meskipun hatinya tidak tenang. "Tapi ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Dit. Om bisa merasakannya. Kita keluarga, sesama lelaki dewasa, Jika ada masalah, kita harus menyelesaikannya bersama. Om ingin membantu, tapi kamu harus jujur."
Radit menarik napas panjang, suaranya hampir bergetar ketika akhirnya ia mengakui apa yang selama ini ia pendam. "Om... aku... aku tidak bisa memberikan Melia apa yang seharusnya suami berikan kepada istri," ucapnya perlahan. "Alat reproduksiku... kurang berfungsi dengan baik."
Pengakuan itu menggema dalam ruangan yang sepi. Jordy, meskipun sudah menduga, tetap merasakan hantaman keras di hatinya. Ia menatap keponakannya dengan perasaan campur aduk—kaget, kasihan, dan terpukul.
Sebagai seorang paman, ia bisa merasakan beban yang telah Radit bawa selama ini, dan juga rasa malu yang tak terkatakan. Tapi di sisi lain, ada perasaan bersalah yang tidak bisa ia tepis. Bayangan Melia yang selalu terlihat terpojok dan tidak bahagia mengingatkannya pada kelemahan keponakannya.
Jordy meremas tangannya di atas meja, berusaha menenangkan gejolak di hatinya. "Kenapa kamu tidak pernah bercerita sama Om?" tanyanya, meskipun ia tahu jawabannya. "Kita bisa mencarikan solusi sejak awal. Kita keluarga, Om ini pamanmu, adik ibumu, jadi masih bisa kamu anggap ayahmu, Dit"
Radit menunduk semakin dalam, tidak sanggup menjawab. Jordy hanya bisa menghela napas berat, mencoba menahan perasaan yang semakin bercampur baur di dalam dirinya.
Bagaimanapun, sebagai seorang paman, ia harus tetap tenang dan mencari solusi. Namun di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia hilangkan—perasaan bersalah atas pikiran-pikiran gelap terhadap Melia yang terus menghantuinya selama ini.
“Apa saja yang sudah kamu lakukan untuk memperbaiki keadaan itu, Dit?” tanya Jordy dengan suara bergetar.
Radit terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Sudah mencoba segalanya. Dokter, obat-obatan, terapi... tapi aku tetap belum bisa... berfungsi dengan baik, Om.” Air mata Radit mulai menetes.
“Aku kasihan pada Melia, hubungan kami makin buruk. Kemarin, Ibu malah bilang aku harus menceraikan Melia dan mencari istri baru. Tapi aku tidak bisa, Om. Aku sangat mencintai Melia.”
Jordy terkejut, meskipun dalam hatinya ia sudah menduga. “Kenapa kamu tidak bicara dari awal? Kita bisa mencari jalan keluar bersama, Dit.”
Radit tersedu, “Aku tidak berani, Om. Ibu terlalu keras. Sekarang Melia sudah sulit diajak bicara. Tolong, bisakah Om bicara dengan Melia? Aku benar-benar butuh bantuan dari Om.”
Jordy terdiam, merasa terjebak antara keinginan membantu keponakannya dan perasaannya terhadap Melia.
Akhirnya, ia mengangguk dengan berat hati. “Baiklah, Om akan coba bicara dengan Melia. Tapi kamu juga harus terus berusaha. Kita akan mencari solusinya bersama.”
Setelah berbicara panjang lebar, Radit memeluk pamannya dengan erat. Ada kelegaan yang terasa, meski masih terbalut kesedihan.
Sebelum Radit pergi, seperti biasa, Jordy menyelipkan uang jajan untuk Melia di tangan Radit. “Beri ini untuk Melia, jangan lupa. Dia pasti butuh sesuatu,” ujar Jordy dengan nada lembut.
Radit mengangguk, memahami perhatian pamannya yang tak pernah hilang. Jordy tahu bahwa Radit punya banyak kekurangan—bukan hanya dari segi kesehatan, tetapi juga secara finansial, terutama karena ibunya yang cenderung pelit dan terlalu banyak perhitungan.
Bu Maria sering menyalahkan situasi ini pada Melia, mengatakan bahwa masalah Radit terjadi karena Melia boros, namun tidak memberikan asupan gizi yang cukup pada suaminya.
Jordy sangat paham bahwa Melia tidak seperti itu. Melia selalu berhemat dan merawat rumah tangga dengan baik disela-sela kesibukannya sebagai guru, meskipun di balik itu semua, dia sering terpojok oleh sikap mertua dan iparnya yang keras.
Jordy merasa bersalah yang mendalam setiap kali mendengar kakaknya menyalahkan Melia, karena dia yakin belum tentu Melia yang jadi sumber masalah. Justru sebaliknya, Melia adalah istri yang selalu berusaha keras mempertahankan rumah tangga mereka di tengah badai ini.
Setelah Radit pergi, Jordy duduk kembali di kursinya, menatap kosong ke arah meja. Pikirannya kembali melayang pada Melia yang telah mencuri perhatiannya lebih dari yang seharusnya.
Satu hal yang pasti, kini dia harus mendekati Melia, bukan hanya sebagai paman ipar, tetapi sebagai orang yang bisa menenangkan dan memberikan dukungan di tengah krisis yang sedang dihadapi Radit dan Melia. Keharmonisa hubungan mereka harus kembali utuh walau sedang memasuki ujian yang sangat berat.
^*^
Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk
Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
"Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal