Home / Romansa / Bisikan Dosa / Bab 8 - Link video

Share

Bab 8 - Link video

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2025-08-24 13:30:39

Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan.

Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk.

Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan.

Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya.

Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh tutsnya.

Keluar sedikit lebih jauh, ia menemukan kolam indoor yang airnya berkilau tenang. Cahaya sore menyelinap masuk dari kaca tinggi, menciptakan pantulan lembut di permukaan air. Alana berdiri lama di sana, menikmati keteduhan, sebelum melanjutkan.

Hingga akhirnya, ia sampai di sebuah ruangan lain. Pintu kayu besar dengan ukiran klasik terbuka sedikit. Alana mendorongnya perlahan, dan matanya langsung berbinar.

“Ruang baca…” gumamnya lirih.

Rak-rak tinggi menjulang, dipenuhi buku-buku berbagai ukuran. Aroma khas kertas tua dan kayu menguar, menenangkan hati.

Tanpa ragu, Alana masuk. Seharusnya ruangan ini boleh dimasuki, kan? pikirnya sambil menelusuri rak. Jarinya menyusuri punggung buku, hingga berhenti pada satu judul yang menarik.

Ia mengambil buku itu, lalu duduk di kursi empuk di sudut ruangan. Suasana damai membuatnya betah, seolah dunia luar menghilang.

Namun ketenangan itu terpecah oleh bunyi ponselnya. Notifikasi email masuk. Alana membuka ponselnya dengan malas. Dari pengirim asing, dengan nama Black Jack. Hanya ada satu kalimat singkat dengan tautan di bawahnya.

Tanpa banyak berpikir, ia menekan link tersebut.

Layar ponsel berganti. Video terbuka. Seorang wanita muncul, menari dengan lembut, gerakannya gemulai, sensual. Musik samar terdengar dari speaker kecil ponsel. Tak lama, seorang pria masuk ke layar, merangkul wanita itu dari belakang. Gerakan mereka semakin intim, semakin erat.

Alana menegang. Matanya terpaku, napasnya mendadak terasa berat. Ada sesuatu yang aneh merambat dari ujung jemari hingga dadanya. Tubuhnya hangat, bahkan panas. Pipi dan telinganya memerah.

“Apa… ini…” bisiknya dengan suara tercekat.

Jantungnya berdebar begitu keras hingga terasa di telinga. Tangannya bergetar, tapi ia tak bisa mengalihkan pandangan. Tubuhnya menegang, keringat dingin mulai muncul di lehernya.

Namun Alana tak ingin benar-benar menutup video itu. Tangan nakal pria itu menelusuri paha sanga wanita sampai membuat roknya terangkat. Jari-jarinya menari di paha wanita itu. Erangan kecil terdengar, membuat tubuh Alana menegang.

“Alana.”

Suara berat itu membuatnya hampir melompat dari kursi. Ponselnya terlepas dan jatuh ke lantai, layar video itu padam.

Dengan mata membesar, ia mendongak. Nero berdiri di ambang pintu. Jas kerjanya masih melekat rapi, dasi hitam terikat sempurna. Tatapannya tajam, menusuk, seakan bisa membaca apa yang baru saja terjadi.

Alana buru-buru meraih ponsel dari lantai, menyembunyikannya ke dalam saku.

“A-aku… cuma baca buku, Kak,” katanya gugup, wajahnya memerah jelas.

Nero tidak segera menjawab. Hanya menatap, dengan ekspresi dingin yang tak terbaca. Langkahnya pelan masuk ke ruangan, sepatu kulitnya menimbulkan bunyi lembut di lantai kayu.

Alana berdiri terburu-buru. “Aku… mau ke kamar dulu.” Ia hendak melewati Nero, tapi sebuah tangan kuat mendarat di bahunya, menahan langkahnya.

Sentuhan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat tubuh Alana bergetar. Terlalu panas, terlalu dekat. Erangan kecil lolos dari bibirnya tanpa bisa dikendalikan.

“Mhh!”

Nero terkejut, alisnya terangkat tipis. Alana sendiri lebih panik lagi. Wajahnya memerah hebat, matanya tak berani menatap.

“M-maaf, Kak… aku… sepertinya kurang enak badan.” Suaranya bergetar, hampir berbisik.

Nero membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tapi urung. Entah kenapa kata-kata tidak keluar. Akhirnya ia hanya mengangguk singkat, melepaskan bahu Alana.

Secepat mungkin, Alana melangkah keluar ruangan, berlari kecil menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup rapat di belakangnya, ia langsung menempelkan tubuh ke pintu, mencoba mengatur napas yang berantakan.

Tangannya naik menyentuh leher yang basah oleh keringat dingin. Detak jantungnya kacau.

“Kenapa aku… seperti ini?” gumamnya dengan suara bergetar.

Ia berjalan ke meja, menaruh ponsel dengan gemetar. Tubuhnya masih panas, perasaan itu tidak hilang meski ia mencoba menarik napas dalam.

Dengan ragu, tangannya menyentuh lengannya sendiri. Rasa hangat itu tetap ada. Ia menutup mata, mencoba melawan sensasi aneh yang menguasai tubuhnya.

“Ah… ada apa denganku…”

Alana jatuh terduduk di tepi ranjang, wajahnya tertutup kedua tangan. Rasa asing itu menempel, sulit dilepaskan. Antara takut, malu, dan… sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Dan di balik semua itu, bayangan tatapan dingin Nero, senyum nakal Axel, bahkan video singkat tadi, bercampur menjadi satu di kepalanya. Membuat tubuhnya terus bergetar dalam kebingungan yang tak bisa ia jelaskan.

Ponselnya kembali berdering. Alana membuka dengan malas.

“Setelah makan malam, pergi ke kamarku. Bantu aku menyalin tugas dari kampus.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bisikan Dosa   Bab 11 - Teman baru

    Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu

  • Bisikan Dosa   Bab 10 - Tidur di kamar yang salah

    Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg

  • Bisikan Dosa   Bab 9 - Kamar yang berantakan

    Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa

  • Bisikan Dosa   Bab 8 - Link video

    Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh

  • Bisikan Dosa   Bab 7 - Bekal

    Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di

  • Bisikan Dosa   Bab 6 - Sentuhan jari

    Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status