Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana.
Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, dia pernah ngajakin gue ke hotel buat tidur sama dia gara-gara gue godain dia.” Yang lain ikut berbicara. “Terus lu mau?” “Mau lah, kan dia yang ngajak. Sumpah sih, abish itu gue jadi tergila-gila sama dia. Sayangnya, dia langsung belik ke LA.” Alana menegang. Kata-kata itu seketika menyeret pikirannya pada satu wajah. Axel. Senyum nakal pria itu, cara dia menggoda, bahkan bisikan samar di telinganya semalam. Sekuat tenaga Alana menggeleng, mengusir bayangan itu. Tapi semakin ia menolak, justru semakin jelas sosok Axel dalam benaknya. --- Jam makan siang tiba. Mahasiswa lain berhamburan keluar menuju kantin atau halaman, suara riuh memenuhi koridor. Sementara itu, Alana tetap duduk di kelasnya, sibuk menyalin catatan untuk tugas yang diberikan pagi tadi. Perutnya memang lapar, tapi ia lebih nyaman tinggal di kelas. Namun ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar. Nama kontak yang terpampang membuat napasnya tercekat: “Kakakku yang paling tampan.” Alana mendecak pelan. “Huh, norak banget bikin nama kontak sendiri…” Pesan Axel terbaca jelas. "Datang ke halaman belakang." Alana langsung mengetik balasan singkat. "Males." Tak sampai satu menit, pesan kedua muncul. "Kalau nggak datang, aku kerjain kamu." Alana mendesah kesal, menutup wajah dengan tangan. “Dasar nyebelin…” Mau tidak mau, ia merapikan bukunya dengan omelan kecil yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Dengan langkah malas, ia keluar kelas dan mencari jalan menuju halaman belakang kampus. Sebagai mahasiswa baru, ia sempat kebingungan, berputar melewati beberapa koridor. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya ia tiba di tempat yang dimaksud. Di bawah pohon besar yang rindang, Axel duduk santai di bangku kayu. Headphone melingkar di lehernya, kakinya terjulur bebas, dan ekspresi wajahnya santai seperti biasa. Begitu melihat Alana, bibirnya terangkat menyambut dengan senyum nakal. Alana menyilangkan tangan di dada. “Ngapain manggil aku ke sini? Aku lagi sibuk.” “Duduk,” jawab Axel singkat. “Aku berdiri aja.” Dalam sekejap, Axel meraih pergelangan tangannya. Tarikan halus tapi tegas membuat Alana terduduk di sampingnya. “Nurut aja, jangan banyak protes.” Alana mendengus, tapi memilih diam. Axel lalu mengambil sebuah kotak makan dari tasnya, meletakkannya di pangkuan Alana. “Makan,” katanya ringan. “Aku gak lapar.” Axel mengulum permen di mulutnya, matanya menyipit penuh tantangan. “Kalau nggak mau makan, kita bisa ke kantin. Aku traktir, tapi kamu harus duduk sama aku di depan orang banyak.” Alana membeku. Membayangkan makan bersama Axel di depan umum saja sudah cukup membuatnya pusing. Dengan enggan, ia membuka kotak bekal itu. Nasi hangat, potongan ayam goreng, dan sayuran tersusun rapi di dalamnya. Entah siapa yang menyiapkannya, tapi aromanya menggoda. Perlahan ia mulai menyuapkan makanan ke mulut. Axel tidak berkata banyak, hanya duduk bersandar sambil memainkan ponselnya. Sesekali, tanpa alasan, tatapannya terarah pada Alana. Menyapu wajahnya, cara ia mengunyah, bahkan ekspresi canggungnya. Tatapan itu membuat Alana salah tingkah. Ia mempercepat suapannya, berharap cepat selesai. Axel tiba-tiba menurunkan ponselnya, mengangkat alis. “Kamu makan buru-buru banget. Apa karena nggak betah duduk deket aku?” Alana terdiam. Tidak ada jawaban yang tepat. Ia hanya menunduk, melanjutkan makannya tanpa menatap Axel. Sebuah kotak kecil lain tiba-tiba muncul di hadapannya. Axel membuka kotak itu, meletakkan susu cokelat botolan di meja kayu. “Minum. Nanti seret.” Alana sempat ragu, tapi akhirnya menerima dan meneguk sedikit. Rasanya manis, dingin, menenangkan tenggorokan. Anehnya, perhatian Axel meski dikemas dengan gaya menyebalkan, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Begitu kotak bekal itu kosong, Axel berdiri. Ia meregangkan tubuh sebentar, lalu menoleh pada Alana yang masih duduk kikuk. “Pintar,” ucapnya sambil mengacak rambut Alana dengan tangan hangatnya. Gerakan itu cepat, ringan, tapi cukup membuat wajah Alana panas. Sebelum Alana sempat membalas, Axel sudah berjalan menjauh, melambaikan tangan seenaknya tanpa menoleh lagi. Alana menatap punggungnya yang makin jauh, lalu menghela napas panjang. Kenapa sih dia selalu seenaknya? Tapi… kenapa aku nggak bisa berhenti memikirkan dia? Ish, maunya apa sih?Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu
Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg
Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa
Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh
Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di
Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di