Share

Bismillahmu Bukan Untuk Aku
Bismillahmu Bukan Untuk Aku
Penulis: Yuniar Putri

Desas-Desus

"Pelakor!" Air bening meluncur lancar dari mulut botol, mendarat tepat di atas kepala Nisa. Sementara perempuan itu hanya mampu memejamkan mata erat-erat, menahan air agar tak masuk matanya sekaligus rasa malu.

Semua manusia yang ada di ruang itu tampak membisu, mereka adalah penonton setia drama yang sudah berlangsung selama 30 menit itu. Tak ada yang membela Nisa termasuk Ardan, lelaki yang membuatnya dibenci banyak orang di kantor. Nisa merutuk dalam hati, ia menyesal menceritakan kekagumannya terhadap Ardan kepada Naysila.

"Saya nggak pernah merebut apapun dari siapapun!" Nisa membuka matanya lebar-lebar. Ia merasa penindasan ini harus dilawan. Ia harus bertahan di tempat itu jika ingin membantu orangtuanya menyelesaikan hutang piutang.

Ridha berkacak pinggang. Ia adalah penyiram air mineral di atas kepala Nisa. Nisa tahu sejak awal Ridha kurang menyukainya, sebab Nisa mendapat murid les lebih banyak sedari pertama masuk kerja di Lembaga Bimbingan Belajar itu. Ridha dengan galak berucap, "Sudah deh nggak usah membela diri. Sudah jelas kamu suka sama Ardan kan? Ardan itu sudah punya istri hei! Nggak malu, pengajar kok punya mental pelakor!"

Nisa memejamkan mata lagi. Dalam batinnya berucap astagfirullah, sebuah upaya sekaligus kepercayaan bahwa kalimat itu bisa meredam amarahnya. Nisa tak boleh hilang akal dan mengalah begitu saja.

"Bu paham nggak sih, pelakor itu apa? Perebut lelaki orang kan? Dalam artian perempuan yang berusaha merebut pasangan orang lain. Saya sama sekali tidak merebut Pak Ardan dari siapapun. Mendekat saja saya tidak pernah. Saya kagum dengan kecerdasan Pak Ardan, itu saja. Ketika saya kagum pun, saya belum tahu kalau Pak Ardan sudah punya istri." Nisa menjelaskan panjang lebar membuat mata Ridha terbelalak.

Ia tetap tak terima dengan penjelasan Nisa. Selain karena istri Ardan adalah sahabatnya, ia juga berpikir bahwa sekarang adalah kesempatan emas untuk membuat Nisa hengkang dari LBB Mentari. Ridha sangat membenci Nisa. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena kecemburuannya melihat karir gemilang Nisa di LBB. Apalagi Bu Atnaya, pemilik LBB terlihat sangat menyayangi Nisa.

"Yah! Itu sih namanya bibit-bibit pelakor!" Ridha memandang Nisa dengan remeh. Tentor lain yang berada di sekitar mereka hanya mampu berbisik-bisik, sebagian menyepakati tuturan Ridha, sebagian lagi merasa kasihan kepada Nisa namun tak berani membela.

"Terserah Bu Ridha mau berpikir bagaimana, tapi yang jelas saya tidak ada maksud untuk merusak rumah tangga orang lain." Nisa membalas dengan tegas, kemudian mencangklong totebag miliknya yang tergeletak di meja. Nisa berjalan, melewati Ridha yang sudah kehabisan kata-kata. Ia terlihat tegar keluar dari ruang khusus tentor, langsung menuju parkiran motor. Ia menghampiri motor varionya. Ketika sudah berdiri di samping motor, kaki dan tangannya terasa lemas. Barusan adalah pengalaman baru dalam hidupnya! Ia dituduh menjadi pelakor! Sekali lagi PELAKOR.

Kata pelakor tak pernah lekat dengan citra positif. Belakangan ini kata itu memang selalu berseliweran di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Masalahnya Nisa tak pernah melakukan apapun kepada Ardan, jangankan merayu, mengajak bicara saja tak pernah. Lantas mengapa juga Ardan hanya diam saja tadi? Ah! Tapi benar juga sih sebaiknya Ardan bungkam, kalau dia membuka mulut bisa-bisa akan ada desas-desus baru kan?

Nisa memakai sarung tangan, kemudian mengecek kerudungnya yang sudah basah kuyup melalui kaca spion. Kemudian ia memakai jaket dengan segenap perasaan resah. Matanya terasa panas. Ia sudah hampir menangis, tapi tak jadi sebab terdengar langkah kaki yang jelas sekali mendekati tempatnya berdiri. Nisa berusaha bersikap wajar, memakai helm, memasukkan kunci, membuka kunci setir kemudian berusaha memundurkan motornya. Buk! Bagian belakang motornya menabrak sesuatu. Nisa segera menengok, matanya terbelalak. Lelaki itu berdiri di hadapan Nisa sekarang!

"Pak Ardan," ucap Nisa dengan takut-takut.

Ardan mengatur napasnya sebentar. Perempuan jakung di hadapannya itu terlihat kaget. Sorot matanya kental akan rasa ketakutan. Ardan jadi merasa makin bersalah.

"Bu Nisa, saya minta maaf atas kejadian tadi ya." Sesal Ardan, menatap mata Nisa. Nisa menghindari tatapan mata pria itu, menunduk sesaat.

"Tidak perlu meminta maaf Pak. Bukan salah Pak Ardan juga." Jawaban Nisa terdengar kaku. Ia masih tak mau bertatapan langsung dengan Ardan. Perasaannya campur aduk, antara malu dan kesal. Buat apa Ardan mendatanginya? Nisa mungkin akan mendapat masalah baru jika ada orang yang menyaksikan kejadian ini.

Ardan tak mampu menyambung obrolan, ia membeku sejenak. Sebelumnya ia tak pernah berada pada jarak sedekat ini dengan Nisa. Ia hanya tahu bahwa Nisa adalah perempuan pendiam yang sangat giat bekerja.

"Mohon maaf Pak, saya ingin pulang." Nisa berharap tuturannya membuat Ardan menyingkir dari tempatnya berdiri.

"Ah iya. Maaf!" Ardan tergeragap, kemudian agak minggir. Ia mengamati Nisa yang sedang memundurkan motornya dengan cepat. Perempuan itu naik ke atas motornya, menyetater perlahan, kemudian melajukan motornya. Ardan menelan ludah sembari mengamati kepergian Nisa. Ia masih merasa bersalah.

***

Mata Nisa menyapu ruangan yang teramat ramai. Seorang perempuan berperawakan mungil melambaikan tangan ke arahnya. Nisa berjalan menuju kasir untuk memesan sekaligus membayar pesanan.

"Seblak komplit level 3 satu, es jeruk satu," Nisa menyebutkan makanan dan minuman yang ingin dirasakan oleh indra pengecapnya. Setelah mengeluarkan selembar uang 20 ribuan, Nisa segera menuju tempat duduk perempuan tadi.

"Astaga kerudungmu parah banget basahnya, nih ganti dulu." Perempuan mungil itu segera menyerahkan tas kertas yang berisi kerudung miliknya. Nisa meletakkan totebagnya, menerima kantung kertas dari tangan perempuan itu. Nisa menuju kamar mandi kafe untuk mengganti kerudungnya.

"Makasih ya San." Nisa berucap seraya duduk di kursi depan sahabatnya. Namanya Santi, Nisa sudah berteman dengan Santi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Setelah keluar dari lingkungan LBB Mentari tadi, Nisa langsung menghubungi Santi. Ia perlu tempat bercerita sekaligus butuh asupan makanan pedas untuk melampiaskan perasaan dongkolnya hari ini. Perkara Ardan dan lingkungan kerja yang menyebalkan tak bisa ia simpan sendiri.

"Santai saja kali." Santi tersenyum sembari menatap Nisa lekat. Ia lanjut bertanya, "Ada apa sih sebenernya?"

"Kamu ingat aku pernah cerita aku suka satu laki-laki di tempat kerjaku kan?" Nisa memulai ceritanya.

"Oh mas yang jadi guru di SD 1 itu kan? Yang waktu jadi imam suaranya bagus itu kan katamu?" Santi berusaha memvalidasi ingatannya. Nisa segera mengangguk.

"Iya. Kenapa memang?" Tanya Santi sembari menyendok seblak di hadapannya. Ia sudah tampak berkeringat, mungkin karena seblak yang ia pesan terlalu pedas.

"Dia ternyata udah menikah." Nisa berkata dengan lirih.

"Lalu?" Santi bertanya lagi, kemudian menyeruput es jeruk miliknya.

"Ya gimana sih masa aku suka sama suami orang." Nisa memandang Santi agak kesal.

"Kan sukanya sebelum tahu dia suami orang, terus apa hubungannya dengan kerudungmu yang basah? Habis kena hujan air mata?" Santi tertawa. Nisa merengut tapi akhirnya tersenyum juga. Celetukan Santi yang sembarangan memang terkadang terdengar lucu dan menghibur.

"Semua anak kantor tahu aku suka dia dan yah dilabrak..." Nisa mengambil jeda sebentar, kemudian melanjutkan, "Dan dituduh jadi pelakor."

Santi menghentikan aktivitasnya makan seblak. Nisa sudah menduga apa yang akan diucapkan Santi.

"Gila!" Ah! Tebakan Nisa tidak meleset, kata ikonik khas Santi meluncur dari mulutnya.

"Memang ya temen sekantor mu itu toxic banget suka gosip macam itu. Pindah saja lah, ngapain masih di situ?" Santi menggelengkan kepala, merasa tak percaya dengan cerita Nisa.

"Di sana gajinya besar." Nisa berucap jujur.

"Ih kalau aku mending nganggur daripada ikutan gila!" Santi tetap tak terima dengan jawaban Nisa.

"Terus si Ardan itu gimana responsnya?" Santi bertanya dengan antusias.

"Ya diam saja, mau kamu suruh ngapain? Tadi sih waktu aku pulang dia minta maaf." Nisa mengangkat bahu.

"Iya sih dia juga nggak bisa ngapa-ngapain." Santi menggaruk kepalanya yang terbalut kerudung hitam.

"Aku harus move on lagi dong ya, tapi aku nggak secinta itu sih kepada Pak Ardan." Nisa menggumam, namun tuturan lirih itu berhasil ditangkap oleh gendang telinga Santi.

"Santai aja kali, masih banyak lelaki di dunia ini. Lagian dia juga ga bagus-bagus amat, honestly." Santi berucap dengan santai.

Nisa tersenyum lagi, ungkapan-ungkapan Santi yang terlampau santai sedikit mengobati pelik di hatinya sore itu. Sekelebat terlintas bayangan Ardan yang sedang tersenyum, mengajar, dan mengambil air wudhu dalam kepala Nisa, seperti kaset rusak yang terus terputar ulang. Ingatan acak itu membuat Nisa berucap istighfar dalam hati. Jangan sampai ucapan Ridha tadi menjelma menjadi doa dan maujud dalam hidupnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status