Share

Perasaan Tak Pernah Salah!

Ardan menunduk dalam, begitu pula dengan Nisa yang duduk tepat di sampingnya. Ini tak adil! Batin Nisa. Mengapa hanya Ardan dan dirinya yang "disidang" oleh Bu Atnaya, pemilik LBB? Memangnya mereka sudah melakukan apa sampai diperlakukan begini?

"Saya sudah dengar kronologi ceritanya dari anak-anak." Atnaya memulai obrolan. Nisa sudah menduga bahwa pada akhirnya cerita soal dirinya dan masalah kemarin sampai di telinga Atnaya. Perempuan setengah baya itu sangat kapitalis, tapi baik hati. Nisa berharap hatinya yang baik masih bersedia mengendalikan otaknya, agar Nisa tak sampai dipecat!

Atnaya berdehem. Ia paham bahwa kedua pegawainya itu tak akan berani membenarkan pernyataannya barusan. Bu Atnaya kembali membuka mulutnya, "Pak Ardan, mengapa kemarin anda hanya diam saja melihat pembullyan terjadi di tempat pendidikan seperti ini?"

Ardan hanya membisu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya dipenuhi kebimbangan, apabila dia membela Nisa mungkin kejadiaannya tak akan separah kemarin, tapi seterusnya Nisa akan mendapat stempel sebagai pelakor! Lagi pula sejak kapan ia peduli dengan nasib dan kehidupan orang lain? Ah! Tiba-tiba muncul pertanyaan baru di benak Ardan dan ia juga tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

"Maafkan saya Bu. Seharusnya perasaan pribadi tidak masuk dalam kegiatan bekerja. Saya meminta maaf atas ketidakprofesionalan saya." Nisa menatap Atnaya serius. Perempuan itu benar-benar merasa bersalah.

Atnaya menangkap ketulusan dari sorot mata Nisa. Atnaya sangat paham bagaimana karakter tiap pegawainya, termasuk Nisa. Ia percaya Nisa tak seperti apa yang dikatakan oleh tutor lain. Bu Atnaya akhirnya memutuskan," Untuk menghindari fitnah-fitnah lain saya akan memindahkan semua jadwal Pak Ardan ke LBB Mentari Gedung 2."

Nisa terbelalak mendengar pernyataan Atnaya. LBB Mentari Gedung 2 bagaikan pengasingan, karena letaknya jauh dari pusat kota. Tentu saja LBB cabang 2 juga tak sebesar tempat mereka bekerja sekarang. Selain jaraknya yang jauh, murid di sana juga tak terlalu banyak jumlahnya. Otomatis penghasilan tentor di sana tak akan sebanyak tentor di LBB Mentari 1.

"Baik, Bu. Kapan saya harus mulai pindah?" Tanya Ardan lemas.

"Langsung mulai besok, Pak Ardan." Atnaya berucap dengan dingin.

"Baik, Bu. Apa saya boleh keluar sekarang?" Ardan bertanya lagi. Atnaya akhirnya mengiyakan permintaan Ardan. Lelaki itu undur diri dari ruangan setelah mengucapkan salam yang tak terlalu bernyawa, meninggalkan Nisa yang masih berkutat dengan keresahan dan perasaan bersalah.

"Bu, mengapa Pak Ardan yang dipindahkan? Yang salah kan saya Bu. Perasaan saya ini yang menyebabkan masalah," Nisa memohon kepada Atnaya.

Atnaya tersenyum tipis. Keputusan bodoh apabila menyuruh Nisa pindah dari LBB Mentari 1, perempuan itu memiliki performa kerja yang bagus. Kebanyakan orang tua yang anaknya dididik oleh Nisa memperoleh hasil belajar yang baik bahkan meningkat. Nisa juga orang yang bisa dipercaya dan tak banyak protes, di mana lagi ia bisa menemukan pegawai seperti Nisa. Jika Nisa pindah ke LBB cabang otomatis orang tua yang sudah memercayakan pendidikan tambahan anaknya kepada LBB Mentari akan mencabut mandat dan penghasilan Atnaya akan berkurang. Tentu saja Atnaya tak mungkin rela hal itu terjadi. Bukan berarti Ardan memiliki kinerja yang buruk. Ardan pun merupakan salah satu pegawai dengan performa yang baik, tapi tak lebih baik dari Nisa.

"Bu Nisa, perasaan tak pernah salah tapi mungkin saja tempat ia dijatuhkan yang salah." Senyum Atnaya tak pudar, berusaha menghibur Nisa.

"Tapi Bu penyebab masalah ini kan saya." Sesal Nisa.

"Tidak sepenuhnya. Anda memiliki banyak murid privat di sekitar sini, saya tak mungkin mengirim anda ke LBB cabang." Atnaya berusaha memberi penjelasan paling logis kepada Nisa. Nisa terlihat masih gelisah. Ia menatap perempuan di hadapannya. Kulitnya yang begitu putih dan fitur wajahnya yang hampir sempurna tanpa cela membuat Nisa terhanyut, apalagi senyumnya tak lepas sedikitpun. Sungguh bertolak belakang dengan ekspresi yang ia tampilkan ketika ada Ardan tadi. Nisa tersadar lagi pula mengapa ia harus memikirkan nasib Ardan yang tentu saja tak pernah memikirkan kepentingan Nisa.

"Baik Bu. Terima kasih atas kebijaksanaan Ibu." Nisa berucap lirih.

"Oh iya. Bu Nisa jadi mengirim lamaran di Yayasan Al Qomariyah?" Atnaya berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Nisa mengangguk dengan lemas. Nisa memang mengirim lamaran sebagai guru ke sekolah-sekolah. Penghasilan di LBB Mentari sebenarnya sudah cukup untuk kebutuhan dirinya sendiri, tapi ia butuh lebih banyak untuk menyokong perekonomian keluarganya.

"Apa perlu saya rekomendasikan Ibu ke yayasan yang lebih baik dan lebih besar di kota ini?" Atnaya menawarkan diri kepada Nisa. Tentu saja koneksinya di bidang pendidikan sangat banyak. Bahkan jika Nisa ingin menjadi guru di salah satu SMA bergengsi di kota mereka, maka Atnaya pasti bisa mewujudkannya. Atnaya hapal dengan karakter Nisa. Ia tak akan memohon kepada orang lain selagi masih mampu berusaha.

"Terima kasih sebelumnya Bu, tapi besok saya sudah akan membicarakan kontrak kerja." Nisa sedikit terhibur dengan tawaran Atnaya. Setidaknya dia tahu, di antara puluhan rekan kerja yang membencinya masih ada atasan yang menyayanginya.

"Oh syukurlah. Ya sudah anda boleh pulang sekarang, agar bisa mempersiapkan diri. Semoga sukses." Senyuman masih tak lepas dari bibir Atnaya.

"Baik, Bu. Terima kasih." Nisa berdiri dari kursinya kemudian menghampiri pintu keluar.

"Bu Nisa," Panggilan dari Atnaya membuat Nisa menghentikan langkah tepat di belakang pintu. Nisa membalikkan badan, menunggu mulut Atnaya menuturkan kalimat yang lebih lengkap.

"Jangan lupa pesanan saya. Tolong carikan tentor fisika." Atnaya berpesan kepada Nisa.

"Baik Bu. Saya pamit dulu. Wassalamualaikum." Nisa membuka pintu dari dalam setelah mendengar jawaban salam dari Atnaya.

Nisa hampir melompat ketika ia menyadari bahwa Ardan masih berdiri di dekat pintu. Ardan menatap Nisa. Nisa mematung, hanya mampu menelan ludah. Tentu saja Ardan kesal dengan nasib yang telah diputuskan atasannya barusan. "Apakah ia ingin mengancamku? Atau memakiku untuk melampiaskan kekesalannya?" Nisa mengeluh dalam hati. Tatapannya pada sosok Ardan tak surut. Ardan pun masih menatap Nisa dengan sorot yang tak terduga, entah marah, kesal, atau kecewa Nisa tak tahu dan enggan menerka.

"Bu Nisa tidak dipindahkan ke LBB cabang kan?" Ardan bertanya dengan suara serak. Lelaki bertubuh tinggi itu menatap Nisa. Ah kali ini Nisa paham arti sorot mata Ardan: khawatir!

"Tidak Pak. Maaf ya Pak gara-gara saya, Pak Ardan jadi harus pindah." Nisa benar-benar merasa bersalah.

"Tidak masalah yang penting Bu Nisa juga masih bisa bekerja di sini." Ardan spontan menjawab. Nisa terkejut dengan pernyataan Ardan, pun si empunya mulut. Ardan tak menyangka ia bakal melontarkan tuturan itu. Mungkin hati Nisa akan berbunga-bunga apabila Ardan yang mengucapkan kalimat itu adalah Ardan yang tak memiliki istri.

"Emm iya Pak terima kasih. Ya sudah saya pamit dulu, saya masih ada janji." Nisa berucap dengan canggung, tak berani menatap muka Ardan. Tanpa mendengar jawaban dari Ardan, Nisa langsung melenggang pergi.

"Sama-sama Bu Nisa." Ardan menjawab dengan volume yang begitu lirih, sepersekian detik setelah Nisa berlalu.

Ardan merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa selalu ada debaran tiap kali ia bercakap dengan Nisa? Mengapa ia selalu memikirkan kepentingan Nisa? Mengapa ia merasa lega jika Nisa terselamatkan, padahal dirinya sendiri harus menderita? Dan mengapa ia tak bisa menatap punggung perempuan itu berpaling dari dirinya? Bukankah semua itu hal yang salah? Apalagi saat ini dia sudah beristri. Ardan mulai bersyukur atas keputusan Atnaya. Setidaknya mulai sekarang ia bisa mengurangi frekuensi pertemuannya dengan Nisa. Ah! Mengapa juga ia harus takut bertemu dengan Nisa?

"Andai saja timingnya lebih tepat." Ardan menggumam tanpa sadar, kemudian berjalan meninggalkan tempatnya berdiri saat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status