Share

Black Shadow
Black Shadow
Author: almaratus sholehah

Bab 1 : Perpisahan yang menyedihkan

Suatu hari, di sekolah dasar di kota Padang, hari menunjukkan pukul 12 siang. Di mana anak-anak kelas 3 sekolah dasar bersiap-siap mengemasi barang mereka untuk segera pulang.

Lonceng pun berbunyi, semua murid kelas 3 sekolah dasar berlarian keluar kelas untuk menuju rumah mereka masing-masing. Begitu juga dengan kelas lainnya, yang sama berlomba untuk pulang ke rumah mereka.

Seperti biasa dua gadis cantik kembar saling berpegangan tangan menunggu jemputan mereka. 30 menit telah berlalu, jemputan yang biasanya tidak pernah telat. Namun, sekarang tidak kunjung datang. Padahal, hanya beberapa siswa lagi yang tersisa, membuat mereka pun lelah.

“Dek, kita pulang saja yuk. Mungkin pak Busri lupa jemput kita, kan dia sudah tua. Makanya sampai sekarang belum juga datang,” ucap Nindy kepada adik kembarnya Cindy.

“Iya, Kak. Kita pulang saja, adek juga sudah capek nunggu, kaki adek hampir nggak kuat lagi berdiri,” jawab Sindy dengan polosnya.

“Ayok.” Nindy pun menarik lembut tangan Sindy, meninggalkan depan sekolah mereka.

Dengan langkah pasti, mereka jalan menyusuri rumah demi rumah, gang demi gang hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah mewah bertingkat dengan hiasan patung perak di halamannya. Cukup jauh perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di depan rumah mereka. 

Tanpa mereka sadari, di dalam rumah mewah itu. Dua manusia dewasa, tergeletak di lantai. Tubuh mereka berlumuran darah, dan tidak lagi bernyawa. 

Ya, mereka adalah pekerja di rumah Marcel dan Luna. Bik Nami dan Pak Busri, yang merupakan asisten rumah tangga serta sopir pribadi yang telah lama bekerja pada mereka. Bahkan sebelum dua saudara kembar itu dilahirkan.

Sesaat setelah dua gadis kecil itu membuka pelan gagang pintu rumahnya, mereka melihat dua pria berbaju serba hitam tengah berada di dekat tangga. Mereka melangkah pelan dan senyap, berusaha menghindari bunyi apapun. Dua pria dewasa itu terus menaiki lantai dua rumah mewah tersebut. 

Melihat orang yang tidak dikenalnya dan menakutkan, seketika Cindy berteriak. Terlebih ketika melihat Bik Nami dan Pak Busri yang mereka kenal tergeletak tidak bernyawa di lantai, bola mata keduanya melotot dan mulut mereka terbuka lebar.

Nindy cekatan. Dia paham situasi mereka saat ini dalam tidak baik-baik saja. Lekas membungkam mulut sang adik agar aman. Namun, tak dipungkiri teriakan sang adik nyatanya telah membuat mereka berbalik arah. Dua pria itu tersenyum sinis dan secepat kilat berlari pada mereka yang juga melangkah menjauh keluar rumah.

Nindy menarik tangan Cindy. Tetapi mereka kalah cepat dari dua pria itu, malangnya, tubuh mungil mereka dengan mudah terangkat oleh kedua lelaki tersebut dan membawa mereka ke dalam rumah.

Tubuh mereka dihempaskan ke lantai yang telah dibanjiri darah segar yang mulai membeku. Sembari terisak, Nindy berusaha mendekati Cindy yang berteriak dan menangis dengan kencang. Dia menunjukkan betapa sang kakak harus kuat dan akan selalu melindungi adiknya dalam kondisi apapun, sekalipun dia sendiri dalam bahaya.

“Tenang ya, Dek. Ada kakak di sini. Kakak pasti akan melindungi kamu.” Didekapnya kuat tubuh Cindy yang gemetar hebat, menenangkan sang adik yang amat ketakutan.

Nindy dan Cindy yang masih kecil, tentu tidak pernah tahu hidupnya akan seseram ini. Niat mereka untuk cepat pulang ke rumah, dapat beristirahat, makan dengan nikmat dan tidur siang. Justru menjadi malapetaka sendiri bagi mereka berdua.

Dua pria itu tersenyum menatap mangsa mungil mereka. Segera beraksi, setelah mengeluarkan benda tajam dari balik jaket hitamnya. Pisau itu pun dia arahkan ke tubuh Cindy yang ketakutan. Pria bertato di keningnya itu sangat suka melihat mangsa yang takut padanya.

Sementara pria yang satunya lagi. Hanya memperhatikan, toh hanya bocah. Anak-anak yang lemah dan tidak sebanding dengan kekuatan mereka. 

Di arahkan pisau padanya, Cindy memejamkan matanya dalam pelukan Nindy. Sementara gadis itu mendongak, menantang kesal pria botak bertato itu.

“Mau apa kalian? Pergi!!” teriaknya gemetar.

“DIAM!!” bentak pria botak bertato itu.

Dua bocah mendadak lemah, memejamkan mata pasrah. Beberapa menit kemudian, terdengar suara hantaman kayu cukup kuat. Dua lelaki tersebut tersungkur setelah terhantam kayu balok dari arah belakang mereka, tanpa sempat melukai mereka.

“Papa!! Mama!!” teriak mereka kompak dan menghambur pada orang tua mereka.

“Ayok, Nak, kita pergi dari sini.” Membalas pelukan putri-putri mereka.

Kedua orang tua mereka segera menggendong dan membawa anak-anaknya pergi dari tempat itu. Sementara dua pria tadi menahan rasa sakit di pundak mereka akibat hantaman kayu yang begitu kuat. Mereka berempat memanfaatkan waktu itu sedemikian mungkin, untuk terus berlari menjauh dari rumah yang sudah menjadi neraka tersebut.

“Bangkit kamu. Cepat kita kejar mereka!!” perintah si botak bertato, berusaha bangkit menahan nyeri di tengkuk mereka.

Dengan rasa khawatir yang tinggi. Sekeluarga itu bersembunyi di balik bak sampah besar yang hampir menutupi setengah jalan. 

“Sayang. Kalian berdua tetap tenang di sini dulu yah. Mama sama papa akan pastikan kondisi dulu. Aman atau tidak! Setelah itu, baru kami jemput kalian yah!! Mama, papa sayang kalian!!” Martin dan Luna mencium kening putri mereka bergantian, sebelum meninggalkan mereka entah sampai ... kapan.

Martin dan Luna pun melangkah keluar, meninggalkan putri kembar mereka. Kemudian, dengan cepat mengangkat beberapa kantong hitam berisi sampah untuk menutupi tubuh si kembar agar tidak terlihat dari luar dan memancing para pembunuh bayaran mendekati anak mereka.

Cindy dan Nindy pasrah di tempat mereka. Diam tidak berani bersuara. 

Satu jam berselang, orang tua mereka tidak kunjung datang. Cindy mulai panik dan kembali menangis terisak.

“Kak. Papa, Mama, mana?” tanyanya sambil mengusap air matanya yang mulai mengalir deras. 

“Kakak juga tidak tahu mereka di mana.” Merasa panik, Nindy berusaha menenangkan sang adik dan berusaha mencari kedua orang tua mereka.

“Kamu di sini dulu ya, Dek. Kakak keluar dulu mau cari papa dan mama.” Cindy mengangguk menurut.

Pelan-pelan dan penuh kewaspadaan. Nindy berusaha keluar untuk mencari orang tuanya yang menghilang daritadi. Rela meninggalkan sang adik yang mulai berhenti menangis agar dirinya aman saat ditinggal sendiri oleh kakaknya.

Dengan berani Nindy berjalan ke arah rumah mereka tadi, untuk memastikan apakah papa dan mamanya kembali ke rumah itu atau tidak. Namun, belum sampai kaki kecilnya menginjak depan rumah tersebut, dia sudah terlihat oleh dua lelaki tadi yang sekarang bertambah banyak.

Nindy berusaha lari secepat mungkin menuju tempat persembunyiannya kembali. Dengan waktu yang bersamaan sang adik terlihat digendong oleh papanya memasuki mobil hitam mereka.

“Papa, Mama, Cindy, tunggu!! Tunggu Nindy, Pah. Mah!!” teriaknya dengan kencang, kaki terus berlari menjauh.

Bukan mereka tidak mendengar teriakan Nindy. Namun, dengan berat hati mereka terpaksa meninggalkan anaknya yang berusaha lari dari kejaran orang-orang jahat itu, demi keselamatan nyawa tiga orang.

Kaki Nindy sudah lemah, membuatnya jatuh tersungkur hingga membuat lututnya berdarah. Namun, semangatnya untuk terus mengejar tidak pernah pudar, membuatnya terus berusaha bangkit dan kembali berlari. Meski mobil itu sudah semakin menjauh.

Apalah daya, tubuh mungil Nindy yang sudah lemah tersebut, tertangkap oleh orang-oang tadi. Mereka tertawa, berhasil menangkap mangsa mereka. 

“Lepas!! Lepass!!” ucapnya dalam posisi setengah duduk, bertumpu pada lutunya. Sembari terus memberontak kuat dan menangis.

Seorang pria berkaca mata hitam, berjongkok di hadapan Nindy. Dengan senyum sinisnya, dia mengangkat dagu si gadis mungil tersebut.

“Haha, lihat, lihatlah mereka. Mereka meninggalkan kamu,” ucapnya sembari tertawa kencang.

“Nggak, mereka pasti kembali. Aku yakin itu,” jawabnya berteriak, sembari berusaha dan terus melawan.

“Mereka tidak akan pernah kembali, mereka tidak menganggapmu lagi ada,” jawabnya sambil tersenyum.

“Bohong, mereka sayang sama aku. Aku anak mereka,” tangis Nindy pecah, merasa pasrah dengan keadaan yang tengah ia rasakan. Lelaki itu kemudian memegang kembali dagu gadis itu.

“Bodoh!! Mereka sudah membuangmu, mereka sudah meninggalkan kamu,” teriaknya berang.

Nindy semakin menangis, betul juga apa yang dikatakan lelaki itu. Dia merasa telah dibuang keluarganya sendiri, merasa tidak disayang lagi oleh mereka. Sekarang, tanpa dirinya mereka pergi begitu saja. Mereka pasti mendengar teriakannya tadi, tetapi tetap tidak berhenti dan semakin pergi menjauh meninggalkannya seorang diri.

“Berhenti menangis, mereka tidak pantas untuk ditangisi,” lanjut lelaki itu yang kemudian berdiri.

Nindy tetap menangis. Dalam hatinya, dia masih berharap kedua orang tua beserta adiknya menjemput kembali dirinya.

“Aku tidak akan membunuh kamu. Ikut aku, atau kamu akan mati di sini menunggu orang yang telah membuang kamu dalam kehidupan mereka.” Kemudian lelaki itu melangkah pergi diikuti pengikut-pengikutnya.

Namun Nindy tidak beranjak dari tempatnya berpijak. Dia masih berharap menunggu keajaiban datang.  Hujan mulai turun, setelah beberapa jam yang lalu mendung menyelimuti langit. Dendam mulai tumbuh dihati Nindy kecil, tangannya mengepal, bibir nya bergetar menahan amarah yang membara di dalam hatinya.

“Ini tidak adil,” ujarnya dalam hati seraya terus mengepal tangannya kuat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Courtney Ross Phillips
is there an English version
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status