Home / Fantasi / Blue Flame / 7. The Blue Flame

Share

7. The Blue Flame

Author: Vya Kim
last update Last Updated: 2025-12-17 08:00:13

Suasana di Eldoria Sanctum masih dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Cahaya redup dari lilin-lilin hitam yang berjajar di sepanjang dinding batu berkelap-kelip, menciptakan bayangan yang menari di permukaan meja pertemuan.

Di tengah ruangan, Philip berdiri dengan ekspresi gelisah. Pernyataan ibunya barusan mengguncang hatinya. Mata tajamnya memandang sang Ratu dengan penuh kegelisahan.

"Ibu, aku tak mau jika itu membahayakanmu juga! Adakah cara lain?" Suaranya mengandung ketegangan, nyaris seperti desakan. Tangannya terkepal, menunjukkan betapa sulit menerima keputusan ini.

Ratu Elenya, yang duduk di kursinya, hanya melirik putranya dengan tatapan datar. Ekspresinya tetap tak terbaca, namun ada sesuatu di balik senyum tipisnya, sebuah keteguhan yang tak bisa digoyahkan oleh siapa pun.

"Aku tahu apa yang kulakukan, Nak," ujarnya dengan suara yang lembut tapi penuh ketegasan. "Ini yang terbaik untukmu. Untuk kita semua."

Philip ingin membantah, namun dia tahu bahwa ibunya tidak akan mengubah keputusannya. Ratu Elenya bukan hanya seorang ibu, tetapi juga pemimpin tertinggi kaum mereka. Kata-katanya adalah titah yang tak bisa diganggu gugat.

Kemudian, sang ratu berdiri dengan anggun, gaun putihnya berdesir mengikuti gerakannya. Matanya menatap ke arah seluruh hadirin sebelum akhirnya mengumumkan,

"Besok, bersiaplah pergi ke Gua Abyss Noctis."

Nama itu seketika membuat ruangan semakin sunyi. Gua Abyss Noctis, sebuah tempat tersembunyi di dalam gunung bekas letusan dahsyat berabad-abad lalu. Dikatakan, di dalamnya tersimpan kekuatan purba yang hanya bisa dibangkitkan oleh darah kerajaan. Di sana, ritual yang akan mengubah takdir mereka akan dilaksanakan.

Para vampir bangsawan yang hadir langsung berdiri dan membungkuk hormat.

"Baik, My Lady. Terang abadi bagimu, terima kasih atas kemurahan hatimu," ucap mereka bersamaan dengan suara berlapis yang menggema di ruangan batu itu.

Ratu Elenya tidak lagi menanggapi. Dengan langkah ringan seperti tertiup angin, dia meninggalkan ruangan. Tak ada suara dari langkahnya, tak ada bayangan yang tertinggal. Seolah dia telah menyatu dengan kegelapan itu sendiri.

Namun, rapat belum berakhir. Para vampir yang masih berada di meja saling bertukar pandang, dan keheningan sesaat berganti dengan percakapan berbisik.

Ada misi lain yang harus diselesaikan.

Para tetua bangsawan vampir telah sepakat. Enam pangeran vampir, termasuk Jerry dan Philip, dua darah campuran yang memiliki kekuatan unik, akan ditugaskan untuk merebut salah satu kerajaan manusia.

Misi ini tak akan dimulai sebelum ritual sang ratu selesai, namun begitu waktunya tiba, kegelapan akan menyelimuti wilayah itu, dan darah akan tertumpah tanpa ampun.

Esoknya ...

Fajar belum sepenuhnya menyingsing di Abyss Noctis, namun tak ada cahaya yang bisa menembus tempat ini. Kabut tebal menggantung berat di udara, menyelimuti kawasan dengan nuansa muram.

Awan-awan hitam berarak di langit, menutupi setiap celah yang seharusnya memungkinkan sinar matahari menembus. Hanya ada kegelapan yang semakin menelan sekeliling, menciptakan suasana yang menekan bagi siapa pun yang melangkah ke dalam wilayah ini.

Di tengah kabut, suara langkah kaki menggema pelan di atas tanah berbatu yang lembab. Barisan prajurit elf, berbalut zirah ringan keperakan dengan jubah panjang berkibar, berjalan dalam formasi rapi mengawal sosok pemimpin mereka, Ratu Elenya.

Keanggunan sang Ratu tetap terpancar meskipun ia melangkah di tempat yang penuh bahaya ini. Jubah putih panjangnya menyapu tanah, tampak kontras dengan kelamnya gua yang menjadi tujuan mereka.

Di belakangnya, para vampir bangsawan mengikuti dengan sikap penuh hormat, meski langkah mereka terlihat sedikit berat. Energi di tempat ini begitu padat, atmosfer yang aneh seakan menyerap kekuatan mereka. Beberapa di antara mereka merasakan tubuh mereka melemah, napas tersengal seolah udara di sekitar lebih sulit dihirup.

Namun, hanya Ratu Elenya yang memiliki akses dan kendali di tempat ini.

Mereka akhirnya tiba di hadapan pintu masuk gua yang menjulang tinggi, tersembunyi di antara bebatuan kasar yang tertutup lumut hitam.

Pintu itu bukanlah pintu biasa, ia adalah sebuah lempengan batu raksasa yang dipenuhi ukiran mantra dalam bahasa Elf, bersinar redup seolah menunggu seseorang yang memiliki hak untuk membangunkannya dari tidur panjang.

Ratu Elenya berdiri di depan pintu, tangannya terangkat dengan gerakan anggun. Napasnya tenang, dan saat ia membuka bibirnya, suaranya menggema lembut namun penuh kekuatan

“Luvea ve'thiel.”

Sekejap, ukiran mantra di batu itu bersinar terang, cahaya biru berpendar dari sela-sela ukirannya seperti aliran energi yang mulai bergerak. Gemuruh terdengar, menggema di seluruh lembah. Batu besar itu perlahan bergeser ke dalam, seolah memiliki kesadaran sendiri untuk membukakan jalan bagi sang Ratu.

Udara dari dalam gua berembus keluar, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang jauh lebih tua dari waktu itu sendiri. Gua itu kini terbuka, siap menyambut siapa pun yang memiliki keberanian untuk melangkah masuk.

Langkah mereka bergema di dalam gua yang luas dan suram. Udara di dalamnya terasa berat, dipenuhi dengan aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih tua dari usia para vampir yang hadir di sana. Seiring semakin dalam mereka melangkah, kegelapan pekat menyelimuti setiap sudut, menelan bayangan mereka.

Di luar, para prajurit elf tetap berjaga, berdiri dalam formasi sempurna, tidak bergerak seperti patung batu yang dipahat oleh tangan para dewa. Mata mereka tajam mengawasi sekeliling, siap menghalau ancaman yang berani mendekati tempat suci ini.

Namun, begitu Ratu Elenya melangkah ke dalam, keajaiban terjadi. Obor-obor tua yang terpajang di sepanjang dinding gua tiba-tiba menyala satu per satu, api biru berpendar terang bagaikan roh yang baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya.

Cahaya biru itu berdenyut pelan, menari-nari di dalam nyala api, menciptakan bayangan aneh yang bergerak di sepanjang dinding batu.

Mereka terus melangkah lebih dalam, hingga akhirnya tiba di pusat gua. Di sana, sebuah cawan raksasa dari batu obsidian hitam berdiri di tengah-tengah ruangan, dikelilingi oleh para tetua vampir serta enam pangeran vampir, Philip, Jerry, Felix, Sebastian, Chriss, dan Steve.

Aura cawan itu begitu kuat, seolah menghisap semua energi di sekitarnya. Batuannya dipenuhi ukiran kuno, berkilauan samar seperti darah beku di bawah cahaya api biru. Atmosfer ruangan ini mengandung kekuatan magis yang terasa menekan dada, membuat mereka yang lemah akan langsung tersungkur ketakutan.

Sang Ratu berdiri tegak di depan cawan, matanya bersinar penuh otoritas. Suaranya menggema di seluruh gua, seakan diucapkan oleh banyak suara sekaligus.

“Di sini aku akan menciptakan Api Biru Keabadian untuk kita semua …, namun api ini perlu diberi makan.”

Ia mengangkat dagunya sedikit, suaranya semakin dingin dan tajam.

“Berikan tumbal para manusia-manusia malang itu, bakar mereka bersama dendam dan amarahnya … Pikat mereka dengan uang!”

Jika saja ada manusia di sini, mereka pasti akan terkencing-kencing ketakutan, lutut bergetar hebat hingga tak sanggup berdiri.

Dracula melangkah maju dan menundukkan kepalanya hormat.

“Tentu, My Lady. Kami telah merencanakan perebutan kerajaan manusia setelah ritual ini selesai. Biarkan anak-anak kita yang memimpin di sana.”

Ratu Elenya menyunggingkan senyuman tipis, misterius dan berbahaya. Ia kemudian mengangkat tangannya di atas cawan besar, telapak tangannya menghadap ke langit-langit gua.

“Ulurkan tangan kalian semua!”

Tanpa ragu, para pangeran dan tetua vampir mengulurkan tangan mereka ke arah cawan, mengikuti perintahnya tanpa pertanyaan. Mereka tahu bahwa darah mereka akan menjadi bahan bakar bagi api keabadian ini.

Ratu Elenya mulai melafalkan mantra, suaranya terdengar seperti nyanyian kuno yang dihembuskan oleh angin malam:

“Vera ethuil belen'thiel!”

Seberkas cahaya muncul di udara, berputar membentuk wujud fisik sebuah belati yang luar biasa indah. Bilahnya ramping dan tajam, terukir rune-rune elf kuno yang berpendar dengan warna keemasan. Pegangannya dihiasi permata rose gold, memancarkan aura sakral dan berbahaya dalam satu kesatuan.

Tanpa aba-aba, belati itu melayang di udara dan mulai bergerak cepat. Dalam satu kedipan mata, ia menyayat telapak tangan mereka semua, meninggalkan luka dalam yang segera mengalirkan darah merah pekat ke dalam cawan besar.

Begitu darah mereka menyentuh dasar cawan, belati itu melesat kembali ke udara dan lenyap dalam sekejap, seolah hanya dipanggil untuk menjalankan tugasnya, lalu kembali ke dimensi asalnya.

Para vampir meringis kesakitan, beberapa mengepalkan tangan mereka, menahan perih yang tajam. Mereka tahu bahwa ini bukan luka biasa, belati itu telah menghisap esensi dari darah mereka.

Namun, mereka tetap diam, menerima rasa sakit ini dengan kepala tegak. Mereka sadar, darah yang mereka berikan bukan sekadar pengorbanan, melainkan kunci menuju keabadian.

Sang Ratu kembali melafalkan mantra, suaranya penuh kekuatan mistis.

“N'quelle lome, n'alaque silme!”

Darah di dalam cawan mulai mendidih, berputar seperti pusaran air yang disedot oleh kekuatan tak kasatmata. Dari tengah genangan itu, percikan api biru muncul, menari-nari dengan liar, semakin lama semakin besar.

Cahaya biru yang menyilaukan tiba-tiba meledak keluar dari cawan, membentuk kobaran api yang menjilat-jilat langit-langit gua. Suhu di dalam ruangan seketika meningkat, energi luar biasa mengalir liar di sekeliling mereka.

Gelombang energi yang terpancar begitu kuat hingga menghantam tubuh para vampir, melemparkan mereka ke belakang dengan kasar.

Mereka terhempas ke dinding gua, merasakan betapa kuatnya kekuatan dari api ini. Hanya satu sosok yang tetap berdiri di tengah-tengah badai energi ini, Ratu Elenya.

Ia tetap berdiri tegap, gaunnya berkibar liar, rambutnya melayang tertiup arus sihir yang semakin menggila. Kedua matanya kini bersinar terang, seolah menatap ke dimensi lain yang tak bisa dijangkau oleh makhluk fana.

“Ibu!” suara Philip terdengar panik di antara kekacauan ini.

Ia ingin berlari menghampiri ibunya, namun Felix tiba-tiba mencengkeram lengannya dengan erat, menahannya.

“Jangan! Kau akan mengganggu konsentrasinya!” ujar Felix tegas, matanya tajam menatap api yang masih terus membesar di dalam cawan.

Philip menggigit bibirnya, kedua tangannya mengepal kuat. Mereka hanya bisa menunggu dan menyaksikan, karena ini adalah ritual yang akan menentukan nasib mereka semua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Blue Flame   8. Kobaran Api

    Sekali lagi, kobaran api biru menyala dengan dahsyat, memancarkan cahaya menyeramkan dan gaib ke seluruh gua. Kekuatan kuno di dalamnya meledak, mengoyak udara dan mengguncang dinding batu. Ritual ini mulai menunjukkan efeknya, tidak hanya pada Ratu Elenya, tetapi juga pada setiap vampir yang hadir. Gelombang kekuatan tak kasatmata bergetar ke segala arah, dan para vampir tersentak ketika panas yang tak tertahankan menyusup ke dalam pembuluh darah mereka. Tubuh mereka bergetar hebat, punggung melengkung seolah dihantam cambuk tak terlihat. Pada awalnya, wujud mereka menjadi semakin mengerikan, urat-urat mereka menggelap menjadi benang merah pekat yang merayap di bawah kulit, berpilin seperti akar hidup. Wajah-wajah mereka meringis kesakitan, taring semakin memanjang, seakan-akan esensi mereka sendiri sedang dikoyak dan dibentuk ulang. Jeritan memenuhi gua, campuran antara penderitaan dan ekstasi yang tak wajar. Transformasi ini adalah siksaan. Tangan-ta

  • Blue Flame   7. The Blue Flame

    Suasana di Eldoria Sanctum masih dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Cahaya redup dari lilin-lilin hitam yang berjajar di sepanjang dinding batu berkelap-kelip, menciptakan bayangan yang menari di permukaan meja pertemuan. Di tengah ruangan, Philip berdiri dengan ekspresi gelisah. Pernyataan ibunya barusan mengguncang hatinya. Mata tajamnya memandang sang Ratu dengan penuh kegelisahan. "Ibu, aku tak mau jika itu membahayakanmu juga! Adakah cara lain?" Suaranya mengandung ketegangan, nyaris seperti desakan. Tangannya terkepal, menunjukkan betapa sulit menerima keputusan ini. Ratu Elenya, yang duduk di kursinya, hanya melirik putranya dengan tatapan datar. Ekspresinya tetap tak terbaca, namun ada sesuatu di balik senyum tipisnya, sebuah keteguhan yang tak bisa digoyahkan oleh siapa pun. "Aku tahu apa yang kulakukan, Nak," ujarnya dengan suara yang lembut tapi penuh ketegasan. "Ini yang terb

  • Blue Flame   6. Eldoria Sanctum

    Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m

  • Blue Flame   5. Kemampuan Baru

    Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k

  • Blue Flame   4. Perubahan

    Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska

  • Blue Flame   3. Di Luar Dugaan

    Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status