LOGINLangit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu.
Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang mengepakkan sayap dan berubah menjadi kawanan kelelawar, beterbangan menuju tempat yang telah ditentukan. Yang berkumpul bukan vampir sembarangan. Mereka adalah para bangsawan vampir, tokoh-tokoh yang selama berabad-abad telah membangun peradaban baru di Dawnshire, menjadikannya tempat perlindungan bagi kaumnya. Di jantung hutan yang tersembunyi, Eldoria Sanctum berdiri megah. Di sana, sebuah meja bundar dari batu obsidian menjadi pusat pertemuan, diapit oleh kursi-kursi batu berukir. Tiang-tiang batu kokoh menjulang, sebagian permukaannya tertutupi sulur-sulur tanaman merambat yang berbunga. Namun, bukan bunga biasa, mawar hitam bermekaran di sepanjang tiang, kelopaknya berkilau samar seperti diselimuti kegelapan. Eldoria Sanctum bukanlah ruangan tertutup, tetapi struktur megah yang terbuka ke alam, dengan langit mendung membentang di atasnya. Tiang-tiang batu yang berjejer seperti partisi alami, menciptakan kesan ruang rapat yang dikelilingi oleh misteri dan keagungan. Di tengah suasana yang hening namun penuh ketegangan, satu per satu para vampir bangsawan mengambil tempatnya, siap untuk membahas ancaman yang mengintai mereka. Para vampir telah duduk melingkar di sekeliling meja bundar obsidian, masing-masing dengan ekspresi penuh kehati-hatian. Mereka adalah penguasa malam, makhluk yang telah menyaksikan berabad-abad sejarah dunia, namun kini duduk dalam diam, menunggu sosok yang dinantikan. Ketegangan di udara terasa nyata, meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang berani menunjukkannya secara terang-terangan. Mereka tahu betapa seriusnya situasi ini. Dan hanya satu sosok yang diyakini memiliki solusi atas kekhawatiran mereka. Dari kegelapan hutan yang mengelilingi Eldoria Sanctum, suara langkah ringan terdengar. Langkah yang nyaris tanpa suara, seolah angin sendiri yang membawanya. Kemudian, dia muncul, Ratu Elenya, penguasa kaum Elf, yang dihormati karena kebijaksanaannya dan ditakuti karena kekuatan sihirnya. Ratu Elenya melangkah dengan anggun ke dalam pertemuan. Gaun putih panjangnya terbuat dari kain yang seolah berpendar dalam cahaya samar, melayang lembut mengikuti gerakannya. Di kepalanya, sebuah mahkota kecil melingkar sempurna, dihiasi permata berwarna rose gold yang bersinar lembut, memancarkan aura magis yang misterius namun menenangkan. Matanya yang berwarna perak menyapu sekeliling ruangan, menatap satu per satu wajah para bangsawan vampir yang menunggunya. Tatapan mereka penuh kehati-hatian, namun tidak ada yang berani menantang kehadirannya. Ia satu-satunya yang bertelinga runcing di antara para vampir, satu-satunya makhluk yang bukan berasal dari darah kegelapan, namun tetap diterima di dalam lingkaran ini. Tanpa ragu, Ratu Elenya melangkah menuju tempatnya dan duduk di antara mereka. Malam itu, batas antara dua ras yang selama ini hidup dalam ketegangan kembali diuji. Dracula mengetukkan jemarinya ke atas meja batu hitam di hadapannya. Suara gemanya memecah keheningan yang sempat melingkupi Eldoria Sanctum. "My Lady, salam sejahtera terang abadi untukmu," ujarnya dengan suara dalam dan penuh wibawa. Sepasang mata merah gelapnya menatap sang ratu dengan hormat. "Kami semua berkumpul karena menerima berita penting yang akan mengkhawatirkan bangsa kita juga." Salah satu sosok wanita di antara para vampir bangkit dari tempat duduknya. Lady Selene, istri Dracula, seorang vampir wanita yang keanggunannya tak kalah dari Ratu Elenya, melangkah maju. Gaunnya yang berwarna merah darah berkibar seiring pergerakannya. "Lady Elenya, putra kita masih remaja," suaranya terdengar lebih emosional dibanding Dracula, nada kekhawatiran tidak bisa ia sembunyikan. "Mereka yang akan meneruskan ras kita, mereka harus kita jaga. Di luar sana, seorang pemburu vampir yang kuat telah muncul." Tatapan para vampir lainnya saling bertukar pandang. Nama pemburu itu sudah tersebar luas, Raven dan Dean, yang terpantau kecepatannya melebihi para vampir muda, matanya tajam seperti pemangsa sejati, dan lebih dari segalanya. Kemampuannya di luar batas normal manusia. Ratu Elenya mendengarkan setiap kata yang diucapkan, tanpa menyela. Mata peraknya menatap dingin satu per satu para vampir yang hadir di sana. Bukannya tidak berperasaan, namun ekspresi itu memang khas dirinya, tenang, tak terbaca, dan tak sedikit pun menunjukkan emosi. Akhirnya, ia menarik napas perlahan sebelum berbicara. "Ya, aku sudah memikirkan cara agar bangsa kita selamat dan lebih kuat lagi," ujarnya, suaranya lembut namun penuh kekuatan. "Putraku juga keturunan vampir." Para vampir di sana diam mendengarkan, terutama Philip, yang sejak tadi duduk dengan ekspresi waspada. Elenya melanjutkan, nada suaranya sedikit berubah, seolah menyimpan luka yang sudah lama terpendam. "Bahkan bukan hanya manusia yang mengincar nyawanya, tetapi juga bangsaku sendiri. Mereka yang menentang pernikahanku dulu dengan Lord Veyron, yang ingin menghapus segala jejak darah campuran dari ras kami." Philip mengepalkan tangannya, rahangnya menegang. Nama Lord Veyron, ayahnya, masih menjadi topik yang sensitif. Seorang vampir dengan darah bangsawan yang memilih mengikat janji dengan seorang elf, sesuatu yang dianggap sebagai pengkhianatan oleh sebagian kaum Elf. Ruang pertemuan kembali sunyi. Para vampir menyadari, bahwa bukan hanya Dean yang menjadi ancaman. Ada lebih banyak musuh yang mengintai dalam bayangan, bahkan di antara mereka sendiri. Eldoria Sanctum dipenuhi keheningan yang tegang. Kabut ungu berputar perlahan di antara mereka, lalu semakin pekat seiring kedatangan seorang sosok tinggi dengan aura yang tak kalah megah dari para bangsawan vampir lainnya. Lord Veyron. Dengan langkah santai, ia memasuki lingkaran pertemuan, jubah gelapnya berkibar seiring pergerakannya. Matanya, tajam dan berkilauan seperti berlian ungu, menyapu seisi ruangan sebelum akhirnya berhenti di wajah istrinya. "Maaf aku terlambat," katanya, suaranya dalam dan penuh wibawa. Ia duduk di sebelah Ratu Elenya seolah sudah menjadi tempatnya sejak awal. Ratu Elenya hanya menoleh sekilas, ekspresinya tetap tenang dan dingin seperti sebelumnya. Namun, dalam hatinya, ia tahu alasan keterlambatan suaminya. Ia memilih untuk tidak mengungkitnya sekarang. Keheningan kembali menyelimuti, sampai suara pelan namun sarat emosi terdengar. "Lady ... lalu apa rencanamu agar kami semua bisa selamat? Para manusia itu juga sudah tahu kelemahan kami. Apalagi puteraku Jerry..." Suara itu milik Lady Marquella, seorang bangsawan vampir yang duduk tidak jauh dari mereka. Matanya yang merah keemasan memancarkan kegelisahan, bibirnya terkatup rapat seolah menahan amarah dan ketakutan yang bercampur aduk. Tatapannya melirik ke belakang, pada sosok pemuda yang berdiri diam dalam bayangan. Jerry. Bahu vampir muda itu sedikit menegang, namun ia tetap diam, hanya menatap ibunya dengan mata penuh pergolakan batin. Ia tahu ibunya berjuang keras agar ia bisa diterima dalam dunia vampir, meskipun darahnya bukanlah darah murni. "Dia juga vampir campuran manusia serigala … tidak hanya bangsa serigala, tapi vampir dari keluargaku juga menentang darah campuran ini ... Aku baru saja bebas dari tahanan, tapi aku akan mengorbankan diriku lagi jika Jerry terancam," lanjut Lady Marquella, suaranya bergetar karena emosi yang ia tahan. Sunyi. Hanya suara desir angin yang berputar di antara tiang-tiang batu Eldoria Sanctum. Ratu Elenya menghela napas pelan. Tatapannya menyapu satu per satu wajah mereka yang hadir di sana, menilai emosi yang membara di dalam hati mereka. Lalu, ia berkata dengan nada penuh ketegasan, "Aku mengerti perasaanmu, Lady ... maka dari itu, aku akan menciptakan sebuah unsur energi yang akan membuat kita dan anak-anak kita, dari ras campuran ini, menjadi lebih kuat. Meskipun ..." Kata-katanya menggantung, seolah membawa beban yang begitu besar. "Kau yakin, istriku?" Lord Veyron akhirnya angkat bicara, tatapannya penuh kekhawatiran yang jarang terlihat. Ratu Elenya menegakkan kepalanya. Permata rose gold di mahkotanya berkilauan di bawah cahaya samar. Ia menatap lurus ke depan dengan ekspresi penuh keyakinan. "Ya … meskipun nyawaku taruhannya."Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m
Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k
Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska
Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it
Dean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean.“Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean.“Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!”Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan.Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar.“Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean.Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan.Ia ingat saat bersenda gurau ber
Seribu tahun lalu, di suatu negara bernama Auroria, tepatnya di desa Dawnshire yang makmur dan tenang, seorang nenek penyihir tua sedang bereksperimen dengan ramuan dan muridnya yang berbaring di depan sebuah kuali.Sang penyihir menambahkan beberapa jeroan binatang purba serta tumbuhan aneh lainnya. Terakhir ia teteskan darah dari sayatan telapak tangannya sambil melafalkan mantra, berharap ramuan ini dapat menjadikannya makhluk yang abadi.Satu sendok pertama ramuan itu dia berikan pada murid laki-lakinya yang sudah paruh baya. Tiga detik kemudian tubuh sang murid bereaksi, wajahnya perlahan tampak segar dan muda, namun ia bergumam “haus”.Ia lihat tetesan darah dari telapak tangan sang penyihir masih tampak segar dan basah. Ia mencengkram penyihir yang telah menjadi gurunya beberapa belas tahun itu.Sang penyihir yang sudah tua renta tak dapat mengelak dari cengkraman muridnya sendiri, telapak tangannya di gigit dan darahnya di hisap hingga habis.Sang penyihir tewas, namun 5 menit







