Share

Bocilnya Mas Duda
Bocilnya Mas Duda
Author: Mami Mochi

Part 1 | Lamaran atau Tawaran?

Gerimis mengguyur jalanan kota Surabaya sore ini. Sinar oranye yang seharusnya menghias langit, justru tergantikan awan gelap membawa rintik hujan. Tak cukup deras memang, namun mampu melukai wajah ketika mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm.

Aku duduk di balik kaca, dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di hadapan ku. Coffee shop depan kampus menjadi pilihan saat ini untuk menikmati sore dengan santai. Tanpa deadline tugas, maupun pekerjaan lain yang akan mengganggu waktu.

Selain seorang mahasiswa, aku bekerja sebagai pelayan cafe di salah satu cafe setiap akhir pekan dan menjadi guru les privat. Sedikit banyak, orang tua ku di desa membantu meringankan biaya kuliah, namun aku juga memikirkan nasib orang tua ku jika harus memberikan uang bulanan yang begitu banyak untuk kebutuhan ku di kota.

Seketika aku teringat pembicaraan antara aku dengan orang tua dari anak yang menjadi anak didik ku. Pembicaraan yang membuat ku harus berpikir dua kali, apakah ini keputusan yang terbaik atau justru keputusan memberatkan untuk diriku ke depan.

"Mau pulang?" Tanya seorang pria dewasa yang baru saja datang. Kemejanya di gulung hingga siku, jasnya tersampir di lengan kirinya. Raut lelah jelas tercipta di wajahnya yang tampan.

"Iya Pak, mau pulang. Sudah malam juga." Jawab ku tersenyum ramah.

Pria itu mengangguk, "Ayo, saya antar. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu."

Mengangguk ragu, aku menyetujui saja. Karena aku pikir, pembicaraan ini menyangkut putrinya. Aku mengikuti pria dewasa yang membawa ku menaiki kendaraan besi beroda empat. Menyusuri jalanan yang padat dan penuh polusi, aku memejamkan mata sejenak. Rasanya lelah sekali, apalagi besok lusa sudah mulai ujian.

"Kita mampir makan dulu, saya belum makan." Suara berat dari pria di balik kemudi membuat ku membuka mata.

"Iya, Pak." Tak ada kata lain untuk menolak, selain menyetujui. Memangnya apa yang bisa aku lakukan ketika si empu mobil memerintahkan sesuatu selain menurutinya?

"Resto Jepang dekat sini, tidak masalah kan?" Seketika mata ku membulat, ingin menolak tapi rasanya sungkan.

"Warung pinggir jalan aja Pak, biar lebih hemat," ucap ku sambil cengengesan.

Pria dewasa itu menggeleng, "Tenang saja, saya yang akan traktir kamu."

"Eh, serius ini Pak?"

"Saya serius, Leuca."

Melaleuca-gadis berhijab hitam lengkap gamis berwarna senada dengan aksen polkadot putih itu tersenyum sumringah.

"Boleh deh, Pak. Kalo Bapak yang bayar, hehe..."

Mendapat persetujuan dari ku yang memang suka makanan gratis apalagi traktiran, pria itu membelokkan mobil pada restoran khas makanan Jepang yang berada tak jauh dari posisinya sekarang.

Mengikuti pria dewasa yang berjalan memasuki restoran khas Jepang, kalimat pertanyaan terlontar untukku.

"Baru pertama kali kesini?"

Buru-buru aku mengalihkan pandangan, "Hehehe... Iya Pak, ternyata sama persis seperti film anime yang sering saya tonton. Suasananya juga sama banget!"

Tawa renyah dari pria itu menjadi respon atas jawaban ku. Memangnya kenapa? aku baru pertama kali datang ke sini. Menurut ku wajar jika aku terpesona.

"Kamu mau pesan apa?" Pria itu mengambil duduk di hadapan ku seraya menyerahkan buku menu.

Aku menerima buku menu dan membaca menu makanan yang ada. Namanya sangat aneh, dan sedikit sulit aku lafalkan. Memilih menutup buku menu, aku menatap pria dewasa yang masih membaca buku menu seakan tidak terganggu dengan kebingungan ku.

"Pak," panggil ku pada pria yang kini menatap ku penuh penasaran.

"Hm?"

"Makanan saya, samain sama punya Pak Bagas aja. Saya gak ngerti makanannya,"

Pria dewasa yang ku panggil Pak Bagas itu mendongak, "Mau saya rekomendasikan?"

"Boleh Pak,"

Kemudian Pak Bagas memesan makanan untuk kami berdua. Sembari menunggu makanan datang, aku yang tadinya tidak terlalu kepo kini dilanda penasaran. Untuk apa Pak Bagas mengajaknya bicara dengan makan malam bersama.

"Pak Bagas, tadi katanya mau ngomong. Bapak mau ngomong soal apa ya, Pak?" Tanya ku tak mampu membendung rasa penasaran.

Perhatian Pak Bagas teralihkan dari ponsel kepada ku, "Selesai makan, kita bicara."

Singkat dan jelas. Ciri khas dari Pak Bagas. Terkadang aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang ingin disampaikan oleh Pak Bagas. Butuh pemahaman khusus untuk mengerti kalimat pria itu.

Melihat Pak Bagas yang bermain ponsel sembari menunggu makanan datang, aku pun melakukan hal yang sama. Aku melihat dekorasi ruangan yang sangat bagus, bersiap memotret, dan akan mengunggahnya di i***a story milik ku.

Tak lama menunggu, makanan yang telah kami pesan datang. Pak Bagas mempersilahkan ku mencicipi makanan yang telah ia pesankan untuk ku, sesuai atas rekomendasi Pak Bagas tentunya.

"Bagaimana?" Tanya Pak Bagas.

Aku mengangguk sumringah, "Enak Pak. Saya suka makanan yang bikin kenyang, hehe..."

"Habiskan."

Aku makan dengan lahap, menghabiskan semua makanan tanpa sisa sedikit pun. Berbeda dengan Pak Bagas, pria itu makan dengan elegan dan sopan. Sangat rapi dan idaman semua wanita. Termasuk diriku tentunya.

"Sudah selesai?" Pak Bagas bertanya ketika melihat ku meminum minuman sebagai penutup.

"Sudah, Pak. Leuca udah selese makan. Bapak mau ngomong apa?"

Pak Bagas menegakkan posisi duduknya, menatap ku dengan intens. Aku merasa tak enak, salah tingkah sendiri. Karena tatapan Pak Bagas yang begitu dalam, fokus kepada ku.

"Ini ada kaitannya dengan kuliah kamu," kata Pak Bagas.

Aku mengerutkan kening, "Kuliah Leuca? Ada apa ya, Pak?"

"Menikah dengan saya, dan saya akan membantu biaya kuliah kamu."

Jantungku terasa akan jatuh mendengar ucapan Pak Bagas. Aku tidak menyangka, Pak Bagas akan mengatakan hal demikian padaku.

Menikah?

Sebelum ini, aku sama sekali tidak berpikir untuk menikah. Maksudnya, dalam waktu dekat ini. Sungguh aku belum terpikir untuk menikah dan tiba-tiba, dengan Pak Bagas yang melamarnya.

Tunggu, bisakah aku mengatakan melamar ketika kalimat Pak Bagas terdengar seperti memerintah?

"Kakak Yuka!"

Suara teriakan yang nyaring menyadarkan ku dari lamunan beberapa hari lalu. Aku tersentak kaget ketika melihat seorang anak berusia enam tahun memeluk kaki ku yang berada di bawah meja dengan erat.

"Lily?"

Aku berdiri dari kursi, ikut berjongkok. Menyamakan tinggi dengan gadis kecil bernama Lily. "Lily kesini sama siapa?"

Lily menunjuk ke arah belakang, dimana sesosok pria dewasa yang baru ku pikirkan, berjalan penuh elegan menghampiri ku dan Lily.

"Sama Papa!" Kata Lily dengan gembira.

"Pak Bagas?"

Senyum tipis muncul di bibirnya, mengelus rambut putrinya penuh sayang. Pak Bagas melarikan tatapannya ke arah ku. "Sendirian?"

"Eh, iya Pak. Sendiri."

"Gabung sama saya dan Lily saja."

"Eh, enggak usah Pak. Saya disini saja,"

"Kak Yuka ikut ke sana yuk! Temenin Lily mewarnai! Tadi Lily beli buku mewarnai loh sama Papa!"

Aku tak bisa menolak ketika Lily yang mengajak, padahal kan aku berusaha mati-matian menghindari Pak Bagas setelah insiden makan malam mengenai lamaran pria itu.

Tiba-tiba Pak Bagas mendekatkan wajahnya ke arah ku, aku berusaha menjauh, bermaksud menjaga jarak. Namun, bisikan pria itu semakin membuat ku kian tak berkutik.

"Saya tau kamu menghindari saya, Leuca."

Aku menegang ditempat, Pak Bagas tau jika aku menghindari pria itu? Rasanya aku sudah tertangkap basah. Tak bisa lagi menghindar.

Semenjak malam dimana Pak Bagas melamar ku, sebisa mungkin aku menghindari Pak Bagas. Sama seperti saat di kelas, ketika Pak Bagas meminta ku untuk membawa buku ke ruangan Pak Bagas, aku justru meminta seseorang untuk mengantar atau bahkan menggantikan posisi ku. Dan juga, ketika aku selesai mengajar les private pada Lily-anak Pak Bagas. Aku langsung pulang secepat mungkin agar tak berpapasan dengan Pak Bagas.

"Sayang, ajak Kak Yuka ke meja kita ya? Papa mau pesankan Kak Yuka makan dulu, pasti Kak Yuka lapar." Pak Bagas mengelus rambut Lily sebelum pergi.

"Iya Papa!" Lantas Lily menarik tangan ku untuk mengikuti bocah itu, "Ayo Kakak! Gabung sama Lily sama Papa!"

Mau tak mau, aku mengalah. Rasanya kehidupan ku di kota selalu di kelilingi oleh Pak Bagas dan Lily.

"Iya Lily, Kakak ambil tas Kakak dulu ya, sebentar." Aku mengambil Sling Bag dan ponsel yang aku letakkan di atas meja. Sekaligus membawa cangkir kopi yang masih utuh ke meja Pak Bagas.

"Yuk!"

Gandeng ku pada tangan mungil Lily. Bocah kecil itu tampak sangat bahagia, seperti menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Dari seberang, lebih tepatnya di meja kasir. Pak Bagas tersenyum melihat pemandangan Lily yang tampak senang dan bahagia. Tatapan mata kami tak sengaja bertemu, secepat kilat aku mengalihkan pandangan. Malu sekali!

***

"Sudah dua jam, dan Lily tertidur."

Perhatian ku teralih oleh suara berat milik Pak Bagas, aku memang merasakan Lily sudah tidur dengan menyender pada dadaku. Tampak nyaman dengan buku mewarnai di pelukan Lily.

"Eh, iya Pak. Leuca gak sadar," Aku membenarkan posisi Lily yang terasa mengganjal agar gadis kecil itu tampak nyaman.

"Saya seperti melihat masa depan, tepat di hadapan mata saya."

Mendengar ucapan Pak Bagas, aku menjadi salah tingkah, rasanya terasa aneh ketika aku digombali oleh dosen ku sendiri. Memilih mengacuhkan, aku berpura-pura tidak mendengar perkataan Pak Bagas barusan.

"Tampaknya Lily sudah nyaman sama kamu,"

Aku masih diam, tangan ku sibuk menekan tombol keyboard secara acak. Pikiran ku sudah tidak fokus lagi.

"Apa yang membuat kamu menghindari saya? Kamu tidak menyukai saya?" Tanya Pak Bagas.

"Tapi setau saya, kamu belum memiliki pacar."

"Teman dekat pria? Saya rasa, selama ini saya belum menjumpai kamu jalan bersama pria lain."

"Apakah kamu memiliki pria yang selama ini tidak saya ketahui?"

"Namun, saya yakin kamu belum memiliki pacar atau pria yang dekat dengan mu."

"Apa yang membuat mu ragu dengan saya, Leuca?"

Pertanyaan dari pernyataan Pak Bagas lama-lama memancing ku untuk fokus pada pria itu. Kini, Pak Bagas sudah sepenuhnya menatap intens pada ku. Mau tak mau, aku harus menjelaskan. Aku tak mungkin terus menghindar.

Aku mengambil napas dalam sebelum berbicara, "Sebelumnya, Leuca minta maaf sama Bapak,"

"Leuca ingin fokus sama kuliah, Pak. Masih ada impian yang harus Leuca capai. Ada beban orang tua Leuca yang mereka titipkan pada Leuca yang harus Leuca wujudkan. Leuca mau menjalani semuanya, menikmati proses itu."

"Jadi, saya minta maaf sama Bapak. Saya memutuskan untuk meno,--"

"Leuca," sela Pak Bagas menghentikan ucapan ku.

"Saya tidak menghalangi mimpi yang ingin kamu wujudkan," kata Pak Bagas.

Aku terdiam mendengarnya, lidah ku terasa kelu tak mampu mengatakan apapun. Mendengar dari nada Pak Bagas saja, aku yakin jika pria itu tersinggung.

"Saya menyukai kamu, sejak saya pertama kali melihat mu." Aku tak bisa berkata apapun lagi.

"Apalagi kamu sudah dekat dengan putri saya, Lily. Saya rasa dari pada menumpuk dosa dengan menyukai kamu secara diam-diam, mengapa saya tidak mengutarakan niat saya untuk melamar kamu."

"Umur saya bukan lah remaja yang harus bermain-main dengan pacaran, Leuca. Saya serius ingin menikahi kamu. Jika kamu mengijinkan, saya akan datang ke rumah orang tua kamu di desa, dan meminta kamu secara resmi disana."

Aku tak percaya dengan apa yang ia dengar, "Maksud, maksud Pak Bagas apa?"

"Saya akan meminta ijin untuk menikahi kamu, pada orang tua kamu. Jika kamu mengijinkan saya untuk datang menemui mereka."

"Pak, ini terlalu cepat buat Leuca. Lagian perasaan Bapak juga masih dalam taraf suka bukan cinta sama Leuca."

Tampak raut kecewa menghias wajah Pak Bagas, dan kalimat ku adalah penyebabnya.

"Saya mengerti jika kamu masih meragukan perasaan saya, yang tidak saya mengerti, kamu juga meragukan keseriusan saya."

"Tidak masalah Leuca, saya akan mencoba mengerti. Wajar jika kamu masih berpikir ulang. Ini menyangkut masa depan kamu, bukan hal main-main. Apalagi status saya adalah duda dengan satu anak kecil. Tentunya kamu pasti menginginkan pria yang setara dengan kamu, pria yang belum menikah."

"Pak, bukan seperti itu,--"

"Tidak apa, Leuca. Jangan merasa bersalah atas perasaan saya sama kamu."

Pak Bagas berdiri, dengan sigap pria itu mengambil Lily dari pangkuan ku. Rasanya tidak rela melepas Lily pergi bersama Pak Bagas. Sebelum pergi, Pak Bagas menatap ku sejenak.

"Tetap lah seperti biasa, jangan karena keberadaan saya membuat kamu tersiksa. Saya akan mencoba menjauhi kamu jika kamu kurang nyaman. Tapi saya mohon, tetap ajari Lily hingga putri saya pintar."

"Saya permisi, Leuca."

Aku menatap kepergian Pak Bagas dengan perasaan berkecamuk. Aku merasa sakit dan sesak entah karena apa, hati ku terlalu tau apa yang dirasakan Pak Bagas karena penolakan ku.

"Kenapa perasaan aku jadi gini sih!" Aku mengusap mata dengan kasar, terasa perih dan basah.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status