Share

Part 6 | Kecerobohan Lulu

"Lulu."

Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal.

"Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"

Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja."

Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri.

"Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut.

"Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung.

"Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa bersalah sama Pak Bagas, takut perkataan Bapak menyakiti hati Pak Bagas."

"Di kampus juga, Pak Bagas tidak ada. Padahal kan biasanya Pak Bagas jarang sekali absen, selalu masuk ngajar." Tambah ku dengan nada menggebu-gebu ingin tau.

Namun, respon Pak Bagas di luar dugaan ku. Pak Bagas justru tertawa, seakan apa yang aku ucapkan terdengar lucu. Memangnya begitu?

"Bapak kenapa ketawa sih?"

"Karena kamu lucu."

"Serius dong Pak!" Aku mulai kesal karena jawaban Pak Bagas yang terkesan bermain-main dengan ku. Padahal aku benar-benar ingin tau, ada apa sebenarnya?

"Iya, iya... Lulu ingin tau soal apa?" Kini, Pak Bagas berkata dengan nada serius. Sisa-sisa tawa hilang tanpa bekas.

"Ya, semuanya. Semua yang tidak Lulu ketahui." Balasku.

Pak Bagas membenarkan posisi agar berhadapan dengan ku. Wajahnya terlihat serius, namun berbeda dengan raut serius yang selama ini aku lihat di kelas. Raut serius yang benar-benar baru pertama kali aku lihat.

"Saya hanya memperjuangkan kemampuan saya di hadapan Bapak."

Aku masih tidak mengerti, "Maksudnya Pak?"

"Bahwa saya, mampu membahagiakan kamu. Melindungi kamu. Mencintai kamu dengan setulus hati saya."

Di luar ekspektasi ku, aku tidak menyangka Pak Bagas akan berkata demikian. Aku terpaku menatap Pak Bagas. Rasanya tidak mungkin, namun kenyataannya Pak Bagas sudah menjadi suamiku sekarang.

"Tapi gimana bisa?"

"Gimana bisa, Bapak merestui pernikahan kita. Padahal sebelumnya, Bapak tidak menyambut baik kehadiran Pak Bagas. Bapak juga bersikeras agar Lulu tetap menyelesaikan kuliah dulu."

Pak Bagas tersenyum, "Itu yang di namakan perjuangan Lu. Tidak mudah perjuangan saya untuk membuktikan jika saya benar-benar mencintai kamu. Apalagi Bapak sedikit kaku."

Aku mengangguk membenarkan pernyataan Pak Bagas. "Itu kenapa Lulu lebih takut sama Bapak dari pada Ibu."

"Terlihat dari bagaimana kamu menjadi pendiam di hadapan Bapak."

"Tapi, sebenarnya Bapak itu orang yang baik. Cuma, Lulu masih belum paham sama sikap Bapak aja."

"Jangan di pikirkan. Sekarang kamu istirahat, sudah malam."

Aku mengernyit mendengar kalimat penutup Pak Bagas. Istirahat? Tidur maksudnya?

"Kenapa menatap saya seperti itu?"

Aku mengerjapkan mata pelan, lantas menggeleng. "Bapak ngantuk?"

Pak Bagas menggeleng, "Saya ada pekerjaan. Tugas dari mahasiswa belum saya koreksi selama saya absen beberapa hari lalu. Jika saya menunda, maka tidak akan selesai dengan cepat."

Tanpa ku sangka, Pak Bagas bangkit dari sofa. Aku mengikuti Pak Bagas. Mengabaikan perintahnya yang meminta ku untuk tidur.

"Ada apa?" Pak Bagas bertanya begitu melihat ku mengikutinya.

"Mau kopi?" Tawar ku. Rasanya aku juga belum mengantuk, jadi tidak ada salahnya aku menemani Pak Bagas.

"Boleh. Antar ke kamar ya."

Dengan semangat aku berjalan ke dapur. Membuatkan secangkir kopi untuk suamiku sebagai tugas pertama seorang istri. Sesuai dugaan ku, Pak Bagas rajin sekali. Disiplin waktu.

Aku menatap sekeliling, tidak asing dengan rumah yang aku pijaki sekarang. Masih sama, hanya bedanya adalah status ku yang dulu sebagai guru les private kini menjadi istri dari Pak Bagas sekaligus ibu sambung untuk Lily.

Ah, benar Lily.

Gadis kecil yang kini menjadi anak tiri ku itu sedang berada di rumah orang tua Pak Bagas. Kata orang tua Pak Bagas, mereka akan menjaga Lily beberapa hari dan membiarkan aku juga Pak Bagas menikmati waktu berdua sebagai pengantin baru. Bahkan mereka mengatakan agar Pak Bagas mengajakku bulan madu meski hanya dua hari.

"Tunggu!"

"Bulan madu?"

Aku masih berpikir, otakku terasa lemot sekarang.

"Maksudnya? Malam pertama sebagai suami dan istri?"

Aku membulatkan mata terkejut, "Bagaimana bisa aku melupakannya!"

Aku diserang panik seketika. "Aku tidak siap. Bagaimana jika Pak Bagas memintanya? Bagaimana caranya aku menolak?"

"Bagaimana ini, bagaimana?"

Aku merasa jantung ku berdebar sekarang. Aku takut Pak Bagas meminta haknya malam ini. Apalagi di rumah ini sepi, hanya ada aku dan Pak Bagas.

"Aku tidak siap melakukannya! Bagaimana caranya bilang sama Pak Bagas?"

Kedua tangan ku terasa dingin, tubuh ku bergetar takut. Rasanya aku ingin menangis sekarang. Aku takut menemui Pak Bagas. Aku tidak siap melakukan kewajiban ku sebagai istri untuk Pak Bagas. Bagaimana ini?

Suara melengking dari dalam teko terdengar nyaring, aku terkejut mendengarnya. Jantung ku berdegup kencang, bukan jatuh cinta tapi saking terkejutnya.

"Ngagetin aja sih!"

Aku langsung mengambil lap, ku gunakan mengangkat teko panas untuk ku tuangkan ke dalam cangkir yang berisi bubuk kopi. Ku aduk perlahan hingga tercampur rata.

"Duh, gimana bilangnya sama Pak Bagas?"

"Bilang apa?"

"Astagfirullah!"

Untuk kesekian kalinya aku terkejut hingga air kopi yang masih panas terkena tangan ku. Aku mengipaskan tangan, terasa panas melanda hingga aku merintih.

"Aw!"

"Ya Allah, Lulu!"

Pak Bagas dengan sigap mengambil tangan ku, membawanya ke wastafel dan mengalirkan air dingin di atas tangan ku. Tepat di atas luka bakar yang kini sudah memerah.

"Kamu mikirin apa sih, kok bisa sampai begini?"

"Aduh, panas Pak!" Aku merintih kesakitan. Rasa panas tak mampu ku tahan. Mengabaikan pertanyaan Pak Bagas karena aku fokus pada rasa panas di tangan ku.

"Jangan di tarik, biarkan di bawah air mengalir agar luka bakarnya tidak memburuk."

"Tapi panas, Pak!"

"Tahan Lu."

Aku masih meringis, rasa panas semakin menjadi ketika tangan ku berada tepat di bawah pancuran air. Karena tidak tahan dengan rasa panasnya aku selalu menarik tanganku menjauh, namun kalah kuat dengan tenaga Pak Bagas. Pak Bagas begitu erat menggenggam tanganku agar berada di sana.

"Pak Bagas, sudah!" Aku masih mencoba menarik pergelangan tangan ku dari genggaman Pak Bagas, namun tidak berhasil.

"Pak Bagas! Rasanya semakin panas!"

Pak Bagas tidak memedulikan rontaan ku, karena menghadapi ku membutuhkan tenaga ekstra. Pak Bagas melingkarkan tangannya melingkupi tubuhku. Aku yang semula berada di samping Pak Bagas, kini berada di depan Pak Bagas. Menempel erat pada dadanya. Dapat ku dengar deru napasnya yang memburu.

"Jika tidak di obati dengan benar, luka bakarnya akan membekas." Ucap Pak Bagas tegas tak ingin dibantah membuat ku terdiam mematung.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status