Home / Rumah Tangga / Bocilnya Mas Duda / Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

Share

Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

Author: Mami Mochi
last update Huling Na-update: 2022-07-07 10:10:54

"Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan.

"Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan.

Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya.

"Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya."

Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu."

"Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?"

Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan kondisi ku sekarang.

"Engga kok Pak, Lulu gapapa."

"Apa karena saya yang meminta kamu ikut dengan saya? Padahal kita baru selesai melaksanakan akad di rumah kamu. Seharusnya saya memberikan kamu waktu untuk Bapak dan Ibu di rumah." Papar Pak Bagas.

"Pak Bagas ngomong apa sih? Lulu itu istri Pak Bagas, jadi sudah tugas Lulu ikut kemana pun Pak Bagas pergi."

"Jadi kamu kepikiran apa?"

"Kelihatan banget ya, Pak?" Aku bertanya dengan cengengesan.

Tak ku sangka tangan Pak Bagas terangkat, mengelus pipi kiri ku pelan. "Ekspresi kamu tidak bisa membohongi saya, Lulu."

Aku terpaku sejenak, tatapan Pak Bagas seakan melumpuhkan ku. Membuat seluruh tulang dan sendi ku melemas hingga aku tak berdaya di bawah tatapan matanya. Aku hanya takut, tatapan Pak Bagas menjadi tantangan terbesar ketika aku berbohong nanti.

Eh, apakah aku berniat berbohong pada suami ku? Tidak! Tidak! Maksud ku bukan begitu, aku hanya mengatakan jika aku akan cepat mengaku dengan tatapan Pak Bagas yang... Entahlah, sungguh aku tidak berkutik sekarang! Apalagi pemikiran soal malam pertama sebagai suami istri, bagaimana aku mengatakan jika aku belum siap? Aku takut.

"Lulu, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Pak Bagas lagi.

Aku tersentak, "Eh, engga ada kok Pak."

Sebelah alis Pak Bagas terangkat, tatapannya semakin menyelidik. "Anggap saja, saya percaya."

"Memang Pak Bagas tidak percaya?" Tanya ku penasaran. Karena aku tidak mau mengaku.

"Saya lebih percaya dengan ekspresi kamu dari pada ucapan kamu." Balas Pak Bagas. Aku mencibir dalam hati.

"Tunggu disini, saya ambilkan kotak P3K di kamar." Aku mengangguk saja, membiarkan Pak Bagas pergi ke kamar.

Begitu Pak Bagas bangkit, pandangan mata ku tertuju pada satu kotak berwarna merah dengan pita berwarna senada di atas meja. Perasaan, kotak ini belum ada saat aku duduk di sofa bersama Pak Bagas tadi.

"Pak Bagas!" Panggil ku cepat, sebelum Pak Bagas pergi ke kamar.

"Ya?"

Aku menunjuk ke meja, tepatnya pada sebuah kotak yang singgah disana. "Itu, kotak apa?"

"Ah, iya. Saya lupa. Itu hadiah dari Wahyu untuk kita, katanya kado pernikahan." Jawaban Pak Bagas membuat ku bertanya-tanya.

"Memangnya tau apa Wahyu soal kado pernikahan?"

"Biarkan saja, lagi pula saya menghargai pemberian Wahyu untuk kita." Balasan Pak Bagas membuat ku semakin curiga.

"Isinya apaan sih, Pak?"

"Saya juga tidak tau, belum saya buka."

"Lulu buka ya?" Aku menawarkan diri. Perasaanku di liputi rasa penasaran dengan pemberian Wahyu.

"Buka saja."

Mendapat ijin dari Pak Bagas, aku mengambil kotak kado itu dengan cepat. Seakan rasa panas di punggung tangan ku sirna. Aku memiliki kekuatan untuk mengeksekusi kado dari Wahyu. Pak Bagas melanjutkan langkahnya menuju kamar, mengambil kotak P3K untukku.

Aku membuka kotak kado yang membuat ku amat sangat penasaran, "Wahyu ngasih kado apa sih, gede banget."

"Jangan-jangan selimut bulu lagi." Aku tertawa dengan asumsi ku sendiri. Hanya itu yang aku pikirkan saat ini, lagi pula kotak kado ini sesuai ukuran dengan bed cover. Mungkin saja kan, selimut tebal?

Aku berharap selimut karakter lucu yang akan Wahyu berikan sebagai hadiah pernikahan. Namun ternyata tidak. Di dalam kotak kado, terdapat beberapa barang yang ku rasa sangat random.

"Ini apasih? Ga jelas banget deh si Wahyu!"

Aku mengobrak abrik isi kado. Bukan satu macam, tapi banyak. Hanya saja, kadonya tidak jelas. "Ini apaan lagi?!"

"Apaan sih, si Wahyu! Ngasih kado tuh yang sesuai gitu loh, ini apaan ngasih kado isinya permen semua! Di kira Mbaknya ini anak kecil! Pake tisu seabrek di borong lagi. Buang-buang duit aja deh!"

"Lulu kira cuma shampo doang yang sachet, ternyata tisu juga ada. Ini gimana konsepnya sih!" Aku tertawa melihat kado dari Wahyu, random sekali.

"Segala tisu basah, tisu kering di borong. Di kira Pak Bagas ga sanggup beli?" Aku masih tidak percaya dengan kado random dari Wahyu.

"Aw!"

Terlalu semangat membuka kado dari Wahyu, tak sengaja membuat luka bakar ku tersenggol kertas cacah sebagai isian kado. Rasa terbakar semakin terasa, aku meniupi punggung tangan, berharap sedikit mereda. Namun nihil, rasa panas masih menjalar perih.

Teringat dengan kado yang Wahyu berikan, aku mengambil sesuatu dari sana. Membuka pelan dan mengambil isinya. Terasa basah dan dingin. Namun ada yang aneh, aroma menyengat menusuk hidung begitu aku mengambil isinya. Tidak seperti yang biasa aku beli, pemberian dari Wahyu memang sedikit berbeda.

Tapi tidak masalah, yang penting luka bakarnya tidak terasa panas lagi.

"Lulu, kamu ngapain?"

Suara Pak Bagas menyapa, membuat ku mendongak. Pria itu telah kembali dengan kotak persegi putih di tangannya. Menatap ku yang sedang meniupi punggung tangan. Rasa panas membuat ku tak tahan.

"Kompres tangan Pak. Ga sengaja kesenggol sama isian kado, jadi rasanya panas lagi." Jawab ku ringan. Berbeda dengan tatapan Pak Bagas yang terkejut dengan apa yang aku lakukan.

"Kamu pake ini?"

Aku mengangguk saja, "Lulu males kalo ke dapur, ada tisu basah. Ya udah, Lulu pake itu aja. Toh sama kan? Cuma bau nya aja yang beda."

"Astagfirullah Lulu!"

Pak Bagas langsung membuang tisu basah yang menempel di tangan ku ke sembarang arah. Lalu memeriksa kotak kado yang sudah terbuka di atas meja. Mengobrak abrik isinya, membuat ku menatap Pak Bagas tidak mengerti.

"Bapak kenapa sih?" Aku bingung melihat reaksi Pak Bagas.

"Kamu pake ini?" Todong Pak Bagas mengacungkan tisu sachet yang sudah ku ambil isinya, tertinggal bungkus kosong saja.

"Iya." Aku mengangguk meski bingung.

"Ya Allah, Lulu! Kok kamu pake sih!"

"Kok Pak Bagas marah? Kan tadi Bapak yang bilang kalo saya boleh buka kadonya!"

"Tapi saya tidak tau kalau isinya seperti ini!"

"Seperti ini gimana sih Pak? Isinya aja gak jelas! Masa kado pernikahan isinya permen rasa-rasa sama tisu! Masih mending kalo selimut!"

"Kamu tidak tau, ini apa?" Pak Bagas menunjukkan beberapa isi dari kotak kado padaku.

"Permen rasa strawberry sama tisu." Ucap ku enteng.

"Ini,--"

"Pak!" Aku memotong kalimatnya. Pak Bagas menatap ku penasaran.

"Kok rasanya tangan Lulu aneh ya, kaku gitu." Aku merasa panik dengan tangan ku yang tiba-tiba saja terasa berbeda.

"Pak! Jangan-jangan tangan Lulu kenapa-kenapa lagi! Pak Bagas ini gimana tangan Lulu!" Aku panik sendiri dengan kondisi tangan ku yang sudah kaku, rasanya tidak nyaman sekali. Merengek pada Pak Bagas yang menatap ku entah seperti apa.

"Lain kali, kalo tidak tau jangan asal pake. Tanya dulu."

"Bapak kok marah sih? Kan Bapak yang ijinin saya buka kado."

"Jangan pake tisu begituan lagi. Itu bukan buat kamu!"

"Katanya kado pernikahan buat Lulu sama Pak Bagas, masa saya ga boleh pake."

"Ini tisu ajaib, bukan buat kamu Lulu."

"Terus karena namanya tisu ajaib, cuma buat Bapak aja gitu? Lulu gak boleh? Katanya kado pernikahan?" Tanya ku masih tidak mengerti.

"Diam Lulu, jangan bertanya lagi."

"Kok Bapak marah sama Lulu sih!"

"Saya kompres air hangat untuk tangan kamu."

"Ya tambah panas dong Bapak!" Kata ku kesal.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bocilnya Mas Duda   part 21 | Suami Ku

    Suasana kemarin masih terasa di pagi ini. Dingin dan kaku tanpa ocehan Lily. Sepertinya Lily masih marah padaku. Aku pun tidak ingin memaksa Lily berbaikan denganku, aku biarkan Lily untuk sendiri terlebih dahulu. Semalam, Pak Bagas sudah menemui Lily di kamarnya. Kata Pak Bagas, Lily masih butuh waktu. Kemungkinan ada pergolakan di hatinya yang tidak bisa di ungkapkan atau justru Lily belum menemukan kenyamanan sehingga memilih diam tidak bercerita pada Papanya. Aku memaklumi, setidaknya Pak Bagas sudah mencoba mendamaikan ku dengan Lily. Setelah ini, biar aku yang berusaha berbaikan dengan Lily. Ku ukir senyum manis, meski Lily hanya diam. Sebisa mungkin, aku tidak ingin membuat Lily merasakan perasaan tak nyaman jika bersamaku. Aku sudah lama mengenal Lily, baru kali ini Lily marah padaku. "Lily mau makan pakai apa?" Tanyaku dengan nada perlahan. "Nasi goreng sama telor aja." Jawab Lily tanpa senyuman. Aku melirik Pak Bagas, dari tempat duduknya Pak Bagas memberikan seny

  • Bocilnya Mas Duda   part 20 | Ibu Tiri

    "Kak Yuka, Lily mau tanya deh." Aku menoleh sesaat setelah Lily berkata demikian. Kami sedang berada di belakang rumah, lebih tepatnya kami tengah berkebun. Menanam beberapa bunga yang kemarin kita beli di pasar. Banyak sekali jenis bunga yang dibeli, katanya sebagai inspirasi Lily saat menggambar bunga. "Lily mau tanya apa?" Aku meletakkan sekop kecil, menghampiri Lily yang duduk di atas rumput. "Ibu tiri itu jahat ya?" Aku tersentak kaget. "Lily tau soal itu dari mana, Sayang?" Selama ini, Lily tidak pernah membicarakan soal ibu tiri. Aku pun tidak tau, apakah Lily mengetahui makna ibu tiri. Selama yang aku tau selama tinggal disini setelah menikah dengan Pak Bagas, Lily tidak pernah menanyakan hal tersebut. "Kata teman-teman Lily di sekolah." Kali ini Lily bermain dengan bunga melati. "Kemarin, teman Lily ada yang bawa buku cerita Cinderella. Kata teman Lily, ibu tiri itu jahat banget sama Cinderella. Suka suruh-suruh Cinderella. Jahatin Cinderella pokoknya, pa

  • Bocilnya Mas Duda   19 | Perkara Iklan Dewasa

    Seperti sebelum-sebelumnya, aku hanya bisa memandangi kepergian mobil Honda Brio milik Mama mertua dari halaman rumah. Mama mertua masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai menantunya. Tidak apa, aku akan berusaha perlahan-lahan mendekati hati Mama mertua. Hingga malam menjelang setelah kepergian Lily dan Mama, Pak Bagas belum ada kabar. Bahkan pesanku sejak siang belum juga dibalasnya. Rasa khawatirku kian mengganggu. Satu langkah kaki ku akan memasuki rumah, cahaya lampu sorot dari mobil menyapa. Aku berbalik, tersenyum sumringah melihat mobil suamiku yang telah aku tunggu kedatangannya sejak tadi. Rasa khawatirku berubah kelegaan yang luar biasa. "Pak Bagas." Aku langsung berlari menghampiri pintu kemudi. Pak Bagas keluar dengan setelan yang sedikit berantakan, "Maaf, saya tidak sempat mengabari mu." Aku mencium tangannya, dibalas kecupan manis di keningku. Baru-baru ini, mencium kening adalah kebiasaan Pak Bagas sebelum pria itu bekerja. Bahkan, sekedar mengerjak

  • Bocilnya Mas Duda   Part 18 | Menantu yang Tidak Dianggap

    Hari ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Aku yang mulai terbiasa berangkat bersama Pak Bagas kini harus menyesuaikan kembali. Tepat awal minggu ini, Pak Bagas mulai mengajar di kampus baru. Sementara aku berusaha menyelesaikan semester akhir yang tersisa dua semester lagi. "Nanti kalau masih ada matkul, biar saya saja yang jemput Lily." Kata Pak Bagas. Aku mengangguk, "Iya Pak, nanti Lulu kabarin." "Hari ini mata kuliah Bu Sesa kan? Bahasa inggris." Ujar Pak Bagas lagi. "Iya, tapi katanya anak-anak di grub kelas, Bu Sesa ada acara seminar diluar kota. Mungkin nanti dikasih tugas aja sih. Kalo memang free, biar aku aja yang jemput Lily." "Kamu fokus sama kuliah kamu dulu, urusan Lily itu gampang." "Ini kan hari pertama bapak ngajar di sana, jadi enggak etis kalo bapak sering-sering keluar." Kataku seraya membalas usapan tangannya. Pak Bagas yang masih sibuk menyetir terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah, saya serahkan Lily ke kamu. Saya akan beru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status