Share

Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

"Masih terasa sakit?"

Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang.

"Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku.

"Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas."

Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati.

"Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep."

"Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu."

"Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli.

Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu."

"Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.

Tawa ringan ku dengar dari Pak Bagas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Sudah malam, kamu pasti capek."

Aku kembali menatap Pak Bagas, "Terus Bapak?"

"Saya masih ada tugas Lulu. Setelah saya menyelesaikan koreksi jawaban dari mahasiswa saya. Saya akan menyusul tidur."

Aku terdiam sejenak, kenapa Pak Bagas santai sekali? Bukan kah ini adalah malam pertama pernikahan kami? Apakah Pak Bagas sama seperti ku? Tidak menginginkannya?

Ah, tapi bagaimana bisa. Pak Bagas saja berani melamar dan menikahi ku. Masa dia tidak meminta haknya pada ku?

"Lulu."

"Eh! Iya Pak?"

"Kamu mikirin apa? Sejak tadi saya perhatikan kamu lebih diam."

Aku menatap Pak Bagas dengan bingung. Bingung harus bagaimana caranya mengatakan hal ini pada Pak Bagas. Tapi, jika tidak di tanyakan rasanya aku semakin penasaran.

Bagaimana jika Pak Bagas menunggu ku tidur lalu melakukannya tanpa sepengetahuan ku?!

Aku melotot tidak setuju! Aku tidak mau! Pokoknya aku tidak akan tidur sebelum Pak Bagas juga tidur!

"Enggak Pak! Enggak boleh!" Ucap ku tegas.

"Enggak boleh? Apanya yang enggak boleh Lulu? Kamu kenapa sih?" Tanya Pak Bagas tak henti-hentinya.

Aku tersenyum canggung, "Hehe... Enggak Pak, maksudnya Lulu enggak akan tidur kalo Pak Bagas enggak tidur. Jadi enggak boleh ninggalin Pak Bagas tidur duluan."

"Jadi kamu mau bantuin saya koreksi?"

"Eh?" Aku tidak mengatakan akan membantu Pak Bagas, tapi tidak ada cara lain. Aku tidak ingin Pak Bagas melakukannya ketika aku tidur, aku tidak boleh lengah.

"Iya!" Jawab ku tegas.

Namun tatapan bingung yang ku dapat dari Pak Bagas. "Kalo kamu capek istirahat Lulu, bukannya bertingkah aneh."

"Enak aja! Lulu gak aneh!"

"Saya ambil hasil kuis di ruang kerja saya dulu." Setelah mengucapkannya Pak Bagas melenggang pergi. Mengabaikan kalimat ku yang menyangkal bahwa aku tidak aneh. Hanya berjaga-jaga saja.

Aku melihat ke atas meja, kado dari Wahyu sudah Pak Bagas bereskan. Pak Bagas berkata bahwa akan menyimpan kadonya. Berkali-kali aku bertanya karena dilanda penasaran. Pak Bagas menjawab dengan jawaban yang masih menjadi misteri.

"Aslinya ini tisu ajaib buat apa sih, kok rasanya kena tangan jadi kaku, aneh gitu." Kata ku melihat Pak Bagas mengompres punggung tangan ku.

"Buat saya."

Jawaban singkat dari Pak Bagas semakin membuat rasa ingin tahu ku memuncak. "Buat Bapak? Emang buat apaan?"

"Nanti kamu juga tau."

"Tapi pas kena tangan, rasanya jadi aneh loh, Pak. Emang mau dibuat apaan sih Pak?"

"Sembuhin luka kamu dulu, baru nanti saya kasih tau."

"Masih lama dong, Bapak. Saya penasaran. Tisu basah kok kena tangan bukannya wangi, ini malah kaku."

"Diem Lulu. Saya lagi fokus kompres luka kamu."

Lalu, aku melihat tangan ku sekali lagi.

"Rasanya udah agak mendingan, Pak Bagas jago juga ngobatin." Kata ku melihat luka bakar yang mulai terasa mendingan. Tidak panas apalagi kaku karena tisu ajaib dari Wahyu.

Suara telapak kaki menuruni tangga membuat ku mengalihkan pandangan. Pak Bagas datang dengan membawa beberapa map yang berisi lembar kuis dari mahasiswanya.

Meletakkan beberapa map di atas meja, Pak Bagas duduk di atas karpet. Sontak aku terkejut dengan sikap Pak Bagas. Aku berniat ikut duduk di bawah, tidak sopan rasanya aku duduk di atas sofa, sementara Pak Bagas duduk di bawah.

"Di sana saja, Lu." Suara Pak Bagas mencegahku.

"Tidak sopan, Pak." Kataku.

"Saya nyaman duduk di bawah untuk mengoreksi, kamu tidak perlu mengikuti saya. Cukup nyamankan diri kamu sendiri."

Lagi dan lagi. Sikap Pak Bagas membuat ku meleleh. Begitu menjaga ku dan menghormati ku. Setelah resmi, baru kali ini aku merasakan sikap Pak Bagas yang begitu lembut memperlakukan ku.

Saat aku masih menjadi guru les private Lily, nyaris aku tidak bertemu dengan Pak Bagas di rumah. Hanya berpapasan sesekali dan mengobrol perkembangan Lily dalam hal belajar.

"Kamu koreksi kuis untuk kelas semester lima. Untuk kelas semester tiga, biar saya yang koreksi."

"Bapak enggak percaya saya Lulu?"

"Biar adil saja. Kamu kan semester tiga, masa kamu yang mengoreksi jawaban kuis teman kamu."

"Terserah Bapak aja deh." Pasrah ku tak ingin berdebat.

Pak Bagas memulai tugasnya, aku pun mengikuti. Dengan lembar jawaban yang sudah disediakan oleh Pak Bagas, aku hanya memberi tanda pada nomor yang salah. Untuk nilai, akan di perhitungkan oleh Pak Bagas sendiri.

Menatap tulisan begitu lama, membuat mata ku lelah. Mengucek pelan, aku melepaskan pena di jemariku. Rasa kantuk semakin menjadi ketika aku memaksa membantu Pak Bagas mengoreksi jawaban mahasiswanya.

"Kalau mengantuk, tidur saja Lu."

Aku merasa di awasi, Pak Bagas selalu tau apa yang aku inginkan. Terbaca dari gerak gerik ku yang sejak tadi mengucek mata, meletakkan kepala di atas meja atau bahkan menyandar sofa.

"Gapapa Pak, saya mau bantuin Bapak." Balas ku dengan suara yang jelas-jelas terdengar mengantuk.

Tanpa ku sangka, Pak Bagas membereskan lembar kuis yang berada di depan ku. Menutup map dan menumpuknya menjadi satu. Langsung ku tegakkan punggung, menunggu apa yang akan Pak Bagas lakukan setelahnya.

"Sekarang kamu istirahat, ini sudah malam." Ucapnya.

"Tapi Pak, koreksian saya tadi belum selesai."

"Biar saya yang selesaikan besok. Jatah cuti saya masih tersisa satu hari."

"Sekarang ayo tidur." Ajakan Pak Bagas membuat ku bergeming, aku masih memikirkan soal malam pertama.

"Pak Bagas capek ga? Nanti langsung tidur kan?" Tanya ku tidak nyambung.

Bukannya menjawab pertanyaan ku, Pak Bagas justru menjajarkan tubuhnya tepat di hadapan ku. Aku memundurkan tubuh, menempel dengan sandaran sofa. Sebelah tangan Pak Bagas mengurung ku. Aku mendadak panik, ku tahan tubuh Pak Bagas agar tidak terlalu dekat dengan ku. Rasanya masih canggung berada dalam jarak sedekat ini dengan Pak Bagas.

Lalu, Pak Bagas berbisik, "Saya langsung istirahat, Lulu. Kamu tidak perlu khawatir. Saya akan meminta hak saya sebagai suami kamu, ketika kamu sudah siap tanpa paksaan apapun."

Setelahnya Pak Bagas menjauhkan tubuhnya dari ku, melenggang masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan ku yang masih mematung karena bisikan Pak Bagas.

"Kok Pak Bagas bisa tau sih?" Kedua tangan ku menyentuh dada, meredakan debaran disana yang tidak tau malu berdendang keras.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status