Share

Chapter 5 : Membantu Stefanie

Hari kedua masih tak jauh beda dengan sebelumnya. Dario tidak mengerjakan apapun sepanjang pagi. Secara kebetulan, dia mendengar isu tak sedap tentang dirinya.

Ada gosip kalau Dario masuk ke perusahaan karena titipan, bukan karena usahanya sendiri. Itu dilihat dari pendidikan terakhirnya.

Rata-rata yang bekerja di Perusahaan ini minimal Sarjana D3, yang paling tinggi ada beberapa yang S2. Tapi Dario justru hanya sampai D1.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Stefanie yang kini sudah nongol dari balik sekat meja kantor Dario.

"Oh, nona Stefanie. Apa kau sudah mau pergi?" Dario malah balik bertanya.

"Iya. Aku kesini ingin mengajak mu. Apa kau jadi ikut?"

"Tentu saja. Pergi ke proyek adalah salah satu pengalaman menarik. Apalagi perginya dengan nona cantik seperti dirimu."

"Aku jadi penasaran, apakah skill marketing mu sama hebatnya dengan skill merayu mu?"

Keduanya tertawa kecil. Setelah mengobrol banyak semalam, mereka jadi lebih dekat.

Stefanie termasuk tertutup soal kehidupan pribadinya. Dia jarang bercerita kepada orang lain, apalagi kepada lawan jenis.

Tapi dengan Dario, Stefanie justru bisa bebas bercerita apapun. Dibalik kacamata besarnya, harus di akui kalau Dario punya kepribadian yang menarik.

"Aku sudah bilang kepada manajer akan mengajakmu. Jadi bersiaplah, kita berangkat sekarang."

"Baik, nona cantik."

Wajah Stefanie memerah. Sedingin apapun wanita, tetap saja mereka suka kalau di puji. Stefanie juga sama seperti itu.

Saat mereka keluar, beberapa pasang mata menatap dengan pandangan tak biasa.

"Hei, Ivan. Kau kalah cepat dengan anak baru itu," kata salah seorang pria disudut lain kantor marketing. Dia sedang berbicara dengan seorang pria dan wanita.

"Huh, dia hanya kutu buku. Tidak ada yang bisa membuat Stefanie tertarik," dengus Ivan

"Sudahlah, Rooney. Ivan betul. Nona Stefanie paling hanya mengajarinya. Aku saja tidak tertarik dengan si kutu buku itu, apalagi dia." Kali ini si wanita yang berbicara.

Rooney tersenyum penuh arti.

"Oh, ayolah, Grace. Apa kau tidak melihat wajah Stefanie yang merah saat mereka ngobrol? Aku jarang melihat dia seperti itu," Rooney masih coba mengipasi api.

Ivan hanya diam. Jelas provokasi Rooney membuatnya gusar. Dia memang melihat Stefanie tersenyum malu-malu dengan muka merah.

Grace tentu saja tak senang dengan apa yang dilakukan Rooney. Dia suka Ivan. Sayang rasa cintanya bertolak sebelah tangan. Stefanie memang lebih baik darinya dari posisi di kantor dan penampilan.

"Apa kita harus 'mengurus'-nya?" tanya Rooney lagi.

Ivan dan Grace saling pandang sebelum mereka melihat Rooney dengan penuh minat.

"Apa saranmu?" tanya Ivan.

"Seperti biasa. Untuk memberi pelajaran pada kutu buku seperti itu hanya butuh satu dua orang untuk mengurusnya," jawab Rooney santai.

"Baiklah, aku akan menyerahkan urusan kutu buku itu padamu."

"Tapi, Ivan. Kau tahu ini masih jauh dari gajian. Aku tidak ada simpanan."

"Aku akan memberimu 1000 dollar. Aku hanya tahu beres," kata Ivan sambil berlalu diikuti Grace.

"Orang kaya bodoh!" Rooney tersenyum licik.

Ivan memang anak orang kaya. Orang tuanya punya perusahaan sendiri meski tak sebesar Boa Groups. Dengan alasan ingin belajar, dia akhirnya masuk kesini.

Dia lulusan Harvard, tapi pengalamannya tidak banyak. Beberapa deal proyek dibawah tugasnya, kebanyakan karena uang dan koneksi ayahnya.

Rooney tahu Ivan suka Stefanie, makanya dia sering meminta uang dengan alasan demi wanita itu. Pria ini suka bau uang, apalagi dari anak orang kaya bodoh seperti Ivan.

xxx

Honda Civic Turbo itu meluncur mulus di jalan raya kota Roswell. Dario duduk di depan di sebelah Stefanie yang sedang menyetir. Stefanie suka dengan desain dan fitur sedan sporty ini. Harganya juga tidak terlalu mahal.

Satu kebiasaan wanita itu saat mengendarai mobil adalah membiarkan kaca pintu sedikit terbuka. Sehingga angin masuk dan menerpa wajah dan menerbangkan rambutnya. Dia suka seperti itu, lebih segar katanya.

Dario hanya mengiyakan saja. Harus di akui kalau Stefanie memang cantik. Rambutnya yang panjang agak kecoklatan terkena angin, membuatnya terlihat bagaikan Dewi yang anggun.

Ditambah kontur wajahnya yang bulat, matanya yang sedikit besar dan senyumnya yang manis, laki-laki normal pasti akan suka padanya.

"Apa yang kau lihat, Dario?" tanya Stefanie setelah mendapat Dario menatapnya dengan intens.

"Aku suka melihat rambutmu yang tergerai, Stef. Kau jadi terlihat anggun," jawab Dario jujur.

"Hmm. Mulai deh," Stefanie kembali tersenyum malu.

"Aku bicara jujur. Pasti bukan aku saja pria yang menyadarinya. Yang lain di divisi marketing juga pasti sama seperti aku."

"Sudahlah, Dario. Kau disini untuk membantuku, bukan untuk merayuku."

Mada suara Stefanie terdengar kesal, tapi dia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang merah entah karena malu atau malah senang dipuji.

"Baik,,, baik,,,. Aku akan diam kali ini."

"Hmm. Apa kau punya pacar, Dario?" tanya Stefanie tiba-tiba.

" Tidak. Mana ada wanita yang mau sama orang yang kelihatan kutu buku seperti aku?" tanya Dario balik.

"Pembohong!" kata Stefanie tertawa kecil. "Aku juga percaya saat pertama melihatmu. Tapi kalau diperhatikan dengan lebih teliti, kau tampan juga saat kau tidak memakai kacamata."

"Oh, benarkah? Senang sekali dipuji oleh wanita cantik seperti anda, nona."

Stefanie kembali tersipu.

"Hei, Dario. Kenapa kau tidak lepas saja kacamata itu dan menggantinya dengan kontak lens. Aku yakin banyak wanita di departemen kita yang akan suka padamu."

"Tidak. Aku suka seperti ini. Disukai banyak wanita hanya merepotkan."

"Hmmm. Apa jangan-jangan kau sedang menyamar, ya?"

Kata-kata Stefanie terdengar asal bicara, tapi cukup mengagetkan Dario. Dia tentu saja terkejut, tapi beberapa detik kemudian sudah biasa lagi.

"Apa menurutmu begitu? Baiklah aku mengaku. Aku adalah penjahat super yang suka menculik wanita cantik. Akan kubawa mereka ke sebuah pulau terpencil untuk ku jadikan bahan eksperimen atau ku jadikan istriku."

"Hihihi, kau benar-benar lucu, Dario."

Stefanie terkikik. Tapi begitu melihat lawan bicaranya hanya tersenyum penuh arti, Stefanie tiba-tiba merinding.

"Kau hanya bercanda kan? Iya kan?"

Kali ini Dario yang tertawa terpingkal-pingkal.

xxx

Mobil Stefanie berhenti ketika melihat para pekerja yang sedang mengaspal jalan, hanya duduk-duduk saja di bedeng sementara. Wajah mereka nampak kesal.

"Apa yang terjadi? Dimana mandor Sven?" tanya Stefanie setelah memarkirkan mobilnya dan keluar berjalan cepat ke arah para pekerja itu diikuti oleh Dario.

"Nona Stefanie, anda datang." Seorang pemuda berkulit agak gelap maju menyambut wanita itu.

"Adam, kenapa kalian berhenti? Lalu dimana Mandor Sven?" tanya Stefanie gusar.

Adam sedikit sulit bicara. Wajahnya nampak serba salah. Dia memandang rekan-rekannya.

"Katakan saja, apa yang terjadi?" Stefanie terdengar tak sabar.

"Pagi ini kami bentrok dengan pribumi sini. Mereka memprovokasi teman-teman saya. Tentu kami marah dan melawan. Tapi kami kalah jumlah. Beberapa orang terluka. Mandor Sven sedang membawa mereka ke Rumah sakit."

Tiba-tiba kepala Stefanie terasa berat. Jalan dengan panjang 60km yang menghubungkan daerah ini dengan Roswell, harus segera selesai sebelum awal Desember. Agar bisa menunjang proyek yang sedang di bangun.

Salju yang turun, tentu akan menghambat kerja mereka. Itu akan benar-benar membutuhkan biaya besar untuk menutupinya.

Suara deru mobil terdengar mendekat. Semua orang melihat ke arah suara itu. Ada sekitar 5 mobil jip beriringan datang dari arah timur, jelas menuju ke arah mereka.

Saat sudah dekat, puluhan orang turun dari mobil. Salah satunya dengan anting di telinga kiri maju mendekati Stefanie dan Dario.

"Orang-orang ku terluka. Bagaimana kalian mau bertanggungjawab?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status