Share

Bab 4 : Attach

"Gimana, Qi? Udah dipelajari?" Vania bertanya seraya masuk ke ruangan anak bosnya itu.

Aqila mengalihkan pandangan dari layar laptop, lalu tersenyum saat menemukan sekretarisnya melangkah masuk.

"Udah, Tan." 

Ditutupnya laptop itu setelah memastikan file tersimpan dengan benar. Kemudian bangkit guna bersiap menghadiri rapat. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka akan menghadiri rapat di luar kantor, jadi harus berangkat lebih cepat jika tidak ingin terlambat karena terjebak macet di jalan.

Tas telah tersampir di pundak, Aqila bergegas keluar menyusul langkah Vania yang telah terlebih dahulu meninggalkan ruangannya.

Begitu melewati pintu, Aqila disambut oleh Hendra yang masih setia berdiri di sana.

Tak ingin merusak suasana hatinya, Aqila segera melanjutkan langkah tanpa menyapa bodyguardnya itu. Namun, dia terkejut saat melihat Hendra mengikuti langkahnya menuju ruangan Vania.

"Ngapain lu ikut? Jaga kantor aja!"

"Saya disuruh Tuan untuk mengikuti ke mana pun Non pergi. Saya juga harus anter Non ke tempat meeting, kan?"

"Nggak!" sanggah Aqila dengan marah. Teriakannya membuat Vania dan Rudi yang baru saja keluar dari ruangan mereka bergegas mendekat. "Gue ke sana sama Tante Vania dan Om Rudi. Lu nggak usah ikut!"

"Qila ...." Vania mendekat bersama Rudi. "Maaf sebelumnya, tapi nanti Tante sama Om Rudi harus pergi ke kantor cabang setelah rapat. Jadi kamu perginya sama Hendra aja, ya?"

Aqila bertegun mendengar itu, sedangkan Hendra langsung mengangguk bersemangat. "Baik, Bu."

Aqila melirik tajam ke arah bodyguardnya dengan bibir yang mencebik.

"Awas aja kalo lu bikin ulah!"

Mereka berangkat ke tempat pertemuan dengan dua mobil. Satu mobil Rudi bersama Vania, sementara satu lagi mobil Aqila yang dikendarai oleh Hendra.

Selama perjalanan, Aqila kembali membuka file presentasinya dalam iPad. Jemarinya sibuk menggulir layar ke kiri dan kanan. Mulutnya beberapa kali tertangkap mata Hendra, sedang komat-kamit seperti Mbah dukun baca mantra. Kedua matanya kadang sibuk memindai huruf-huruf di layar, sesaat kemudian terpejam. Seperti anak sekolah yang sebentar lagi harus setor hafalan. 

Menyaksikan bosnya sedang gugup begitu, Hendra mengulum senyum. Gadis cantik yang duduk di kursi belakangnya itu kadang terlihat seperti anak ABG sekilas, masih kekanak-kanakan. Namun, jika dirinya mengamati lebih jauh, ternyata gadis itu cukup dewasa. Dan kalau dilihat-lihat, gadis itu ternyata lebih cantik jika sedang serius begitu.

"Tenang, Non, nggak perlu gugup. Pertemuan ini hanya meeting rutin biasa, kan?" Hendra mencoba menghibur. Yang sialnya, bukan dihadiahi senyuman dan ucapan terima kasih, melainkan pelototan.

"Nggak usah sotoy!" hardik Aqila. "Dasar tukang rusuh! Ganggu konsentrasi orang aja!"

Hendra menghela napas panjang. Salahnya sendiri mengganggu singa yang sedang tidur.

***

Siang hari ini begitu terik. Sinar matahari terasa begitu menyengat kulit saat Aqila akhirnya keluar dari gedung tempat rapat digelar. Rapat sudah selesai beberapa menit yang lalu, tetapi dadanya masih saja bergemuruh, tangannya bahkan masih basah karena berkeringat.

Sial! Dia merutuk diri sendiri. Dia tidak tau kalau jadwal rapat pagi ini adalah dengan pemilik Al-Ghifari group, ayah dari laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Vania juga tidak bilang. Wanita itu hanya berkata akan meeting dengan klien penting, tanpa mengatakan siapa kliennya!

Syukurlah Om Ghifari sangat profesional. Beliau sama sekali tidak menyinggung soal perjodohan Aqila dengan putranya. Mereka benar-benar membahas tentang bisnis. Namun, Om Ghifari justru menanyakan siapa laki-laki berpakaian hitam yang menunggu di luar. Mungkinkah beliau mengira laki-laki itu adalah pacarnya?

"Mau langsung ke kantor, Non?" Hendra membuka suara saat mereka baru saja masuk ke mobil.

Aqila mendengkus. Pertanyaan macam apa itu? 

"Iyalah, mau ke mana lagi?" sungutnya.

"Nggak makan siang di luar aja, Non?" Hendra kembali bertanya.

"Enggak! Udah cepetan ke kantor aja. Gue mau istirahat. Capek!"

Hendra mendesah, lalu mengangguk. "Baik, Non."

Sesampainya di kantor, Aqila bergegas masuk untuk menyejukkan badan. Udara panas siang hari membuat kulitnya serasa terbakar. Wajahnya bahkan sudah merah padam sekarang. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah dan leher. Gerah.

Dia mempercepat langkah menuju lift di sisi kiri yang kosong, lalu saat pintu lift terbuka, dia bergegas masuk bersama Hendra. Tubuhnya yang hampir rubuh segera dia sandarkan pada dinding lift. Butir-butir peluh masih menggantung di pelipis dan lehernya, membasahi beberapa anak rambut yang menempel di sana. Dia mengibaskan kerah baju untuk menetralisir hawa panas yang tak kunjung reda.

Hendra yang menyaksikan pemandangan itu seketika meneguk ludah, lalu buru-buru memalingkan wajah saat perlahan kedua mata Aqila terbuka. Dia takut tertangkap basah sedang memperhatikan bosnya yang meskipun galak tetapi seksi itu.

Ting!

Pintu lift terbuka di lantai tujuh. Aqila segera keluar dan setengah berlari menuju ruangan di ujung lorong.

Begitu sampai di dalam, Aqila merebahkan dirinya di atas sofa. Penyejuk ruangan di ruangannya terasa seperti oasis di gurun Sahara.

Baru saja memejamkan mata sejenak, Aqila mendengar pintu ruangannya diketuk. Dia mengernyit. Siapa? Bukannya Vania dan Rudi tidak kembali ke kantor?

Pertanyaan dalam benaknya segera terjawab dengan cepat begitu suara Hendra menyapa telinganya.

"Masuk!" Aqila setengah berteriak.

Hendra kemudian masuk membawa kantong plastik hitam dan meletakkannya di meja depan Aqila.

"Makan siang dulu, Non."

Aqila segera bangkit dan membuka kantong plastik itu ragu-ragu. Ternyata isinya adalah nasi kotak dari kafetaria bawah. Lauknya ada ayam balado kesukaan Aqila, juga capcay, serta sepotong semangka sebagai pencuci mulut.

Di dalam kantong plastik itu juga ada satu botol teh yang masih dingin.

Aqila menatap wajah Hendra yang masih berdiri di depannya dengan tatapan ... entah. Dia lalu meraih tasnya, mengambil selembar uang pecahan seratus ribu, dan memberikannya kepada Hendra.

"Kembaliannya ambil aja," ujarnya seraya menyodorkan uang itu.

Tak disangka, Hendra justru menggeleng. "Nggak usah, Non. Saya punya uang buat beli makanan itu, kok. Nggak usah diganti." Tanpa menunggu jawaban Aqila, lelaki itu membalikkan badan dan berlalu menuju pintu. "Saya permisi, Non."

Bayangan tubuh Hendra sudah menghilang di balik pintu, tetapi Aqila masih melongo di tempat karena perlakuan bodyguardnya.

***

Aqila melepas kacamata yang selalu bertengger di hidungnya selama dia bekerja. Pening mendera kepala, rasa sakitnya menjalar sampai ke mata. Dipijatnya pangkal hidung sampai ke pelipis guna meringankan barang sedikit pusing di kepalanya.

Lembaran kertas yang berserakan di hadapannya, serta beberapa tumpuk dokumen yang masih belum tersentuh teronggok di sudut meja membuat Aqila mendengkus kesal. Pekerjaannya hari ini banyak sekali.

Dia bangkit dari duduk, meraih setumpuk berkas yang sudah selesai dia tandatangani, lalu melangkah membuka pintu. Di depan sana masih berdiri Hendra. Tanpa menghiraukan keberadaan manusia itu, Aqila melenggang pergi. Lalu, langkah dengan cepat terhenti saat Hendra mengikuti di belakang.

"Ngapain ikut? Gue mau ke ruangan Tante Vania."

Hendra tak menggubris ucapan Aqila. Lelaki itu tetap saja melangkah mengekori setiap ayunan kaki Aqila sampai gadis itu berhenti di depan ruangan Vania.

"Kenapa dia di depan sana, Qi?" Vania bertanya saat melihat Hendra berdiri di depan ruangannya.

Aqila hanya melirik lelaki itu sekilas, lalu menjawab asal. "Tau, tuh."

Vania mengangguk, senyumnya merekah. Namun, dia urung mengatakan apa pun lagi. Setelah itu, Aqila pamit kembali ke ruangannya.

Begitu Aqila melangkah keluar melewati pintu, Hendra bergegas membuntuti, mengantarnya menuju ruangan gadis itu.

Mereka lalu berpisah. Aqila kembali duduk di mejanya, sedangkan Hendra kembali menunggu dengan setia di depan pintu. Gadis cantik itu kembali mengenakan kacamata, lalu perlahan larut menekuri setumpuk dokumen di meja.

Satu jam berlalu. Aqila kembali bangkit meninggalkan mejanya untuk turun ke pantry. Dia ingin membuat kopi.

Sebenarnya Aqila bisa saja menyuruh seseorang untuk mengantarkan kopi ke ruangannya, tetapi dia enggan melakukan itu. Dia ingin berjalan saja, sekalian merilekskan otot-otot tubuhnya yang tegang karena dipakai bekerja sedari tadi.

Aqila melangkah menjauhi ruangannya tanpa menoleh ke arah Hendra. Malas. Melihat wajah lelaki itu hanya akan menyulut emosinya.

Langkahnya yang baru beberapa meter mendekati lift tiba-tiba terhenti saat dirinya menyadari ada langkah kaki lain yang berjalan mengikutinya. Cepat-cepat dia menengok, dan seketika mendelik melihat Hendra sudah berdiri di belakangnya.

"Lu ngapain ikut? Gue mau ke pantry doang!" hardiknya.

"Saya disuruh Tuan untuk mengikuti Non ke mana pun Non Aqila pergi."

Mendengar jawaban Hendra, Aqila buru-buru menarik napas dalam-dalam agar otaknya tidak mendidih akibat amarah yang sudah naik ke ubun-ubun.

"Lu itu disuruh bokap buat jadi bodyguard gue, bukan jadi bayangan gue yang ngikutin gue ke mana-mana. Kalo gue mau ke toilet, lu juga mau ikut?!"

Hendra garuk-garuk kepala. "Kalo boleh ...."

"Heh!" Aqila berteriak, memotong cepat ucapan ngawur Hendra. "Gila lu ya?!"

Lelaki itu terkekeh geli. "Saya bercanda, Non."

Aqila menggeleng frustasi, lalu memutuskan untuk meneruskan langkah. Dia ingin minum air dingin saja untuk mendinginkan otaknya yang sedang ngebul ini. Meladeni Hendra tidak akan ada habisnya.

Setibanya di pantry, Aqila segera mengambil air dingin dari dispenser dan menenggaknya sampai habis. Setelah tenggorokannya yang semula kering menjadi basah, dia mengambil cangkir putih untuk membuat kopi.

Seorang office girl tergopoh-gopoh menghampirinya. "Bu, biar saya saja yang buat. Ibu tinggal suruh saja, nanti saya antar ke ruangan ibu." 

Wanita yang usianya kira-kira tiga puluhan itu segera mengambil alih cangkir di tangan Aqila dan mengisinya dengan kopi hitam di dalam toples yang baru saja Aqila ambil.

"Saya sengaja, kok, Bu. Emang pengen jalan-jalan. Capek duduk terus dari tadi." Aqila mengulas senyum ramah.

Hendra memandangi wajah gadis itu tanpa berkedip. Dia pikir Aqila adalah gadis temperamen yang bisanya cuma marah-marah, ternyata gadis yang tingginya hanya sebahunya itu bisa juga tersenyum ramah begitu. Dan ... terlihat semakin cantik.

Denting notifikasi dari ponsel Aqila membuat Hendra mengerjap dan segera memalingkan muka. 

Sedangkan Aqila yang melihat bubble notifikasi di ponselnya segera membuka pesan yang masuk, dari Kenzo.

[Sayang, nanti sore jalan, ya? Aku kangen.]

Seketika senyum Aqila merekah membaca pesan itu. Suasana hatinya tiba-tiba terasa seperti bunga di musim semi, mekar.

Dengan cepat jemarinya mengetikkan balasan. [Oke.]

Jalan dengan Kenzo sepertinya bisa menjadi pengobat hari-hari melelahkan yang dilewatinya akhir-akhir ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status