Share

Bab 6 : Promise

Kira-kira pukul setengah sepuluh malam, Hendra baru saja hendak melangkahkan kaki ke teras rumah saat ponsel di saku celananya tiba-tiba berdering. Dahinya seketika mengernyit, tetapi tak dapat dipungkiri, segaris senyum simpul terlukis di bibirnya kala melihat nama sang penelepon.

Dia berbelok arah, mengurungkan niat masuk ke rumah dan malah duduk di bangku panjang samping rumahnya. Sebatang rokok dia nyalakan sebelum mengangkat panggilan.

"Ya, Non."

Suara gadis manis di seberang segera menyambut sapaannya.

"Lu udah pulang?" Suaranya masih serak. Seperti habis bangun tidur.

"Iya. Saya sudah di rumah," jawabnya seraya mengembuskan asap rokok dari mulut.

Terdengar gumam lirih dari seberang. Seperti ragu hendak mengatakan sesuatu.

"Ada apa, Non?" tanyanya memastikan.

"Eummm ... gue tadi ketiduran di mobil, ya?"

Dalam hati Hendra tergelak mendengar suara Aqila yang terkesan malu-malu. Biasanya, kan, gadis itu selalu marah-marah, bahkan berbicara saja selalu menggunakan nada yang keras. Namun, kali ini suaranya begitu lirih dan bernada lembut, seperti wanita normal pada umumnya.

Hendra berdeham sejenak, lalu menjawab, "Iya, Non. Nggak papa. Saya ngerti Non pasti capek."

Terdengar desah napas di seberang, disusul pertanyaan Aqila—atau pernyataan, lebih tepatnya—dengan nada yang terdengar seperti sedang jengkel.

"Lu yang gendong gue ke kamar?"

Hendra tertegun. Kilasan memori beberapa waktu lalu kembali terekam dalam benaknya. Saat wajah teduh Aqila yang sedang terlelap hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Saat dia membopong tubuh gadis ayu itu dengan perasaan yang tak keruan. Bau harum sisa parfum mewah yang dipakai gadis itu bercampur dengan keringat beraroma manis yang membuat gairahnya sebagai seorang laki-laki seketika terusik.

Tiba-tiba wajah Hendra terasa memanas. Dia menggeleng pelan untuk menghapus adegan-adegan liar yang tiba-tiba saja berkelebat di pikirannya sebelum menjawab dengan suara yang dibuat setenang mungkin.

"Iya, nggak papa, kok, Non. Non Qila nggak berat, kok," ucapnya.

"Ish, ya emang gue nggak berat. Kan gue nggak gendut!" sembur wanita di seberang sana. Suaranya nyaring, membuat telinga Hendra sejenak berdenging.

Hendra bahkan bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Aqila saat ini. Kembali dia tergelak dalam diam. Mati-matian ditahannya suara tawa agar tak terdengar sampai ke Aqila. Bisa-bisa wanita itu semakin marah kepadanya.

"Terus gimana, Non?" Kembali diisapnya rokok di tangan sembari menunggu jawaban sang nona.

Aqila menggantungkan ucapannya sesaat, kemudian, "Ck, ya nggak gimana-gimana. Maksud gue tuh ...." Aqila memberikan jeda pada suaranya selama beberapa waktu sebelum mengucapkan kata terakhir dengan cepat, "makasih."

Tanpa menunggu jawaban dari Hendra, Aqila mematikan panggilan.

Tawa yang sedari tadi ditahan Hendra seketika tersembur. Dia menggelengkan kepala.

Astaga ... ternyata gadis galak itu bisa salah tingkah juga.

***

Sementara di seberang sana, Aqila sedang menenggelamkan wajah ke dalam bantal. Dia merasa malu sekali karena ketiduran di mobil begitu lelapnya sampai tak sadar jika Hendra menggendongnya dan membawanya masuk ke kamar.

Dia baru bangun saat Bi Suti masuk ke kamar dan membangunkannya untuk menyuruhnya mengganti baju, entah sudah berapa lama sejak dia terlelap di sana.

Aish ... kebiasaan Aqila sedari kecil yang jika sudah tidur susah sekali dibangunkan, sekarang malah membuatnya malu sendiri. Dia tidak tahu apakah tidurnya tenang dan damai, atau malah bertingkah seperti orang kerasukan? Apakah dia mengigau? Mengorok? Atau yang lebih parah mungkin ngiler!

Ah, dia tak sanggup membayangkan jika pemandangan seperti itu harus dilihat Hendra!

Mau ditaruh di mana mukanya besok saat harus bertemu Hendra? Apalagi jika lelaki itu sampai membahasnya dengan lebih detail?!

Oh, hentikan! Aqila memukul kepalanya pelan. Menghentikan suara-suara sumbang di dalam benaknya yang riuh mengatakan kemungkinan-kemungkinan memalukan yang tidak penting. Semoga tadi dia tertidur dengan anggun seperti snow white.

Lagi pula, dia tidak mengerti. Bagaimana papanya bisa dengan begitu percaya diri mengizinkan seorang lelaki asing menggendong putrinya dan memasuki kamar sang putri. Bukankah papa dan Hendra baru saling mengenal beberapa hari lalu? Mengapa papanya terkesan begitu percaya pada Hendra?

"Bisa-bisanya papa lebih percaya Hendra daripada Kenzo!" seru Aqila. Masih tak habis pikir dengan sikap papanya. Apakah image Kenzo seburuk itu di mata sang ayah?

Setengah malas, Aqila bangkit dari ranjang, keluar kamar. Perutnya mulai terasa lapar. Tentu saja. Pasalnya dia hanya makan sedikit saat makan malam bersama Kenzo tadi. Meski lapar, dia tidak ingin terlihat seperti wanita tak makan berhari-hari di hadapan sang kekasih. Jaga image lah. Lalu, di perjalanan pulang, dia malah ketiduran.

Sudah jam sepuluh malam. Jam pendulum kayu antik berbandul emas yang terpajang di dinding ruang tamu berdenting sepuluh kali. Rumah telah terasa sepi. Orang tuanya dan juga para penghuni rumah lain pasti telah kembali ke pembaringan masing-masing.

Aqila membuka kulkas, mengambil botol minum kaca dan langsung ditenggaknya hingga sisa setengah. Kemudian kakinya melangkah ke arah meja makan. Dia membuka tudung saji, lalu mengambil piring dan menyendok nasi. Suara langkah kaki terdengar saat dia meletakkan sepotong ayam ke atas nasi di piringnya.

"Laper, Non?" Suara Bi Suti terdengar seiring langkah yang semakin mendekat.

Wanita paruh baya itu bergegas meraih gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya, lalu diletakkannya gelas itu di samping piring Aqila.

"Udah nggak anget lauknya, ya? Mau Bibi angetin?" ucap Bu Suti ketika meletakkan gelas di sisi kiri Aqila.

Aqila menggeleng. "Nggak usah, Bi. Ini juga udah cukup."

"Tumben Non mau makan malem? Biasanya kan Non Qila paling anti makan jam segini. Katanya takut gendut. Sekarang udah nggak takut gendut?" ledek Bibi.

"Ah, udah terlanjur laper, Bi. Tadi sore cuma makan sedikit." Aqila menjawab, masih dengan mulut yang penuh makanan.

"Kenapa cuma dikit makannya? Kan abis jalan ke mall. Emang nggak beli jajan?"

"Enggaklah, Bi. Aku harus jaim. Kan aku makannya sama ... Hendra." Oh Tuhan! Hampir saja Aqila menyebut nama Kenzo. Untung dia cepat sadar dan segera meralatnya.

"Kenapa memangnya dengan Hendra?"

"Malu lah, Bi, kalo makan banyak-banyak. Nggak kelihatan cantik nanti."

Bibi hanya terkekeh mendengar jawaban Nonanya itu. Bisa-bisanya Non Qila jaim sama supir, batinnya.

"Oh iya, Bi, tadi yang gendong Qila ke kamar beneran Hendra?" Qila menoleh ke arah Bibi yang duduk di sampingnya.

"Iya, Non. Kan Non Qila kalo tidur kaya kebo. Udah dibangunin sama Bapak nggak bangun-bangun. Ya sudah, Bapak suruh Hendra bawa Non ke kamar."

"Ish! Kenapa nggak papa aja yang gendong. Kan aku jadi malu sama Hendra."

"Bapak mana kuat, Non. Kan bapak baru keluar rumah sakit. Masih lemes badannya."

Aqila mengangguk pelan. Benar juga. Papanya kan masih masa pemulihan. Yah ... ya sudahlah. Biarkan saja Hendra melihat dia tidur, sekali saja. Cukup sekali ini saja.

Setelah selesai makan Aqila kembali ke kamar. Diperiksanya ponsel yang sedari tadi dia tinggal. Terdapat dua panggilan tak terjawab dari Kenzo. Ah, lelaki itu pasti khawatir karena Aqila belum memberinya kabar semenjak mereka berpisah sore tadi. Hatinya kembali mekar membayangkan Kenzo sedang gelisah memikirkannya.

Segera ditekannya ikon telepon berwarna hijau di samping nama Kenzo. Tak lama, suara di seberan sana menyambut sapaannya.

"Halo, Sayang ... aku kangen ...."

***

Hari masih pagi, tetapi Aqila sudah rapi. Mengenakan setelan berwarna hitam putih, dengan blazer putih yang menyampir di pundaknya. Berdiri di teras rumah menunggu kedatangan sang supir sekaligus bodyguardnya, Hendra.

Tak lama sejak dia berdiri di depan rumah, mobil yang dibawa Hendra memasuki gerbang, lalu berhenti tepat di depan Aqila.

"Selamat pagi, Non," sapa Hendra sembari membukakan pintu mobil.

Gadis itu tiba-tiba kikuk. Ingatan tentang tadi malam kembali mengusik benaknya. Dia masuk ke mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Jalanan pagi ini tidak terlalu macet. Yah, meskipun tetap saja ramai seperti biasa. Maklum, Jakarta. Namun, dia bisa sampai ke kantor tepat waktu.

Turun dari mobil, bergegas dia naik ke lift. Beberapa karyawan menyapa ramah. Aqila hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukan singkat. Begitu lift terbuka di lantai tujuh, segera dia berjalan menyusuri lorong menuju ruangannya, diikuti suara langkah sepatu di belakang yang dia yakini adalah suara langkah kaki Hendra yang mengekornya.

Sampai di dalam ruangan, Qila mengembuskan napas lega. Untung saja lelaki itu tidak membahas apa pun mengenai hal kemarin. Entah itu tentang Kenzo, ataupun tentang dia yang tidur dengan begitu pulas di mobil.

Tak berapa lama pintu ruangan diketuk. Siluet tubuh wanita berpakaian krem masuk.

"Meeting jam sembilan, ya, Qi." Vania meletakkan setumpuk dokumen di meja Qila.

"Oke, Tante."

Segera Aqila menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Pikirannya sejenak teralihkan untuk mengurus berkas-berkas yang sebenarnya masih belum terlalu dia kuasai. Materi meeting untuk nanti dia buka di laptop, sembari membuka salah satu map. Pulpen di tangannya dia mainkan dengan gerakan memutar, sembari tangan satunya memijat pelipis.

Lima menit menuju jam sembilan, pintu ruangan Aqila kembali diketuk. Kali ini hanya suara Hendra yang terdengar dari luar ruangan.

"Waktunya rapat, Non."

Aqila meraih blezernya yang tersampir di sandaran kursi, membawa map berisi berkas untuk rapat pagi ini, lalu meninggalkan ruangan.

***

Rapat berjalan dengan cukup lancar. Pukul sebelas siang Aqila meninggalkan ruang meeting ditemani Vania dan Rudi. Mereka masih memegang peranan lebih banyak ketimbang Aqila yang baru belajar. Diskusi dengan klient barusan juga didominasi oleh Vania dan Rudi. Aqila hanya bertugas mempresentasikan bahan, layaknya karyawan magang.

Mereka masuk ke lift bersama. Namun, alih-alih menekan angka satu, Aqila justru menekan tombol angka 7 di dalam lift.

Vania yang melihat itu mengerutkan dahi. "Nggak makan siang dulu, Qi?"

Aqila menoleh. Wajahnya terlihat lesu. "Nanti aja, Tan. Aku mau istirahat bentar di kantor."

"Kamu sakit?!" Vania yang melihat wajah pucat Aqila menjadi panik. Dia berusaha menyentuh dahi gadis itu, tetapi ditepis dengan pelan.

"Nggak, Tan, cuma capek aja," jawabnya disertai senyuman yang dipaksakan.

Begitu lift terbuka di lantai tujuh, bergegas Aqila keluar, setelah sebelumnya berpamitan pada Vania dan Rudi, diikuti Hendra di belakangnya.

"Mau saya belikan makan siang di kantin, Non?" Hendra bicara sembari mensejajarkan langkahnya dengan Aqila.

Gadis itu menggeleng. Tangannya menggenggam gagang pintu. "Nanti aja, Ndra. Gue belum laper. Tolong suruh seseorang bawain kopi aja ke ruangan gue."

Hendra mengangguk dan dengan sigap berlalu ke pantry.

Di ruangan, Aqila merebahkan diri di sofa. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Dibukanya ponsel yang sedari tadi terabaikan selama meeting. Ada satu pesan dari Kenzo. Aqila tersenyum.

[Nanti kita ketemu lagi, ya? Aku kangen.] Begitulah isi pesan Kenzo.

Dengan cepat Aqila mengetik balasan. [Oke, Sayang.]

Semalam papa tidak menanyakan apa pun meskipun Aqila pulang terlambat. Pagi harinya pun papanya tak membahas hal apa pun tentang semalam. Sepertinya Hendra benar-benar bisa diajak kerja sama. Dia jadi merasa lebih tenang sekarang. Tak perlu kucing-kucingan untuk bertemu dengan Kenzo, karena Hendra dengan senang hati akan menemani. Yah, hitung-hitung sebagai penjaga dirinya dan Kenzo saat sedang kencan, kan?

Hendra masuk ke ruangan Aqila sembari membawa secangkir kopi. Diletakkannya cangkir itu di meja depan Aqila berbaring.

"Ada lagi, Non?" Hendra berdiri di sofa samping Aqila.

Gadis itu mengernyit, kemudian bangkit duduk. "Duduk dulu, Ndra," ucapnya sembari menunjuk sofa seberangnya dengan dagu.

Hendra menurut. Mengambil duduk di seberang Aqila dengan tanda tanya dalam kepala.

Aqila menyeruput kopi yang baru saja dibawakan Hendra, berdeham sebentar, kemudian mulai membuka suara.

"Jadi gini, Ndra, nanti sore gue sama Kenzo mau ketemu lagi. Lu mau nggak nemenin gue? Kaya kemaren?"

Sudut bibir Hendra tertarik. Agak kaget mendengar permintaan tiba-tiba dari sang nona. Namun, dia dengan cepat mengangguk.

"Pasti, Non. Kan sudah tugas saya buat nemenin Non ke mana pun."

"Tapi lu janji jangan bilang papa," ucap Aqila dengan nada memohon.

"Iya, Non. Saya janji. Kapan pun Non mau ketemuan sama pacar Non, Non boleh ajak saya."

Air muka Aqila yang tadinya lesu berubah semringah. Kedua matanya berbinar. "Beneran, ya? Oke, deh, kalo gitu."

Hendra tertegun sesaat. Senyuman bahagia Aqila serasa berhasil menghipnotisnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status