Share

Part 3 : Angry Boss

Aqila mendesah kesal saat membuka pintu ruangannya dan melihat Hendra tengah berdiri di depan pintu.

"Lu ... dari tadi kaya gitu?" tanya Aqila heran. 

Pasalnya, dia menyuruh Hendra keluar dari ruangannya sejak tengah hari, saat jam istirahat makan siang. Dan sekarang sudah sore, jam pulang kantor. Namun, laki-laki bersetelan serba hitam itu masih saja berdiri tegap di depan pintu.

Hendra yang mendengar pertanyaan Aqila hanya menelengkan kepala. Melihat itu, Aqila membuang napas, lalu memperjelas pertanyaannya. "Lu dari tadi berdiri kaya gitu? Dari siang?"

"Iya. Kan Non yang suruh," jawab Hendra polos.

Aqila geleng-geleng kepala. Tak habis pikir bahwa dia akan bertemu laki-laki seperti ini. Terlebih lagi, lelaki itu akan mengikutinya ke mana pun dia pergi. Argh! Aqila merasa frustasi bahkan hanya dengan memikirkannya.

Tanpa menghiraukan Hendra yang masih saja mematung bak manekin, Aqila melenggang pergi begitu saja. Tubuhnya lelah, otaknya serasa hampir terbakar, ditambah melihat wajah Hendra membuat kobaran emosi Aqila dengan cepat menyeruak.

Melihat nonanya pergi mendahuluinya, Hendra dengan cepat menyusul, berlari-lari kecil di belakang Aqila. Wanita itu menoleh sekilas ke belakang, lalu mengdengkus.

"Bisa-bisanya Papa pilih laki-laki kaya dia buat jadi bodyguard. Gue bahkan nggak yakin dia bisa jaga dirinya sendiri, apalagi jagain gue?" gumam Aqila lirih selama berjalan keluar kantor.

Ponsel Aqila berbunyi sesaat setelah dia sampai di lobi kantor. Dari nada deringnya saja Aqila sudah tau kalau yang meneleponnya adalah Kenzo. Dia menghentikan langkah, meraih ponsel dari dalam tas dengan senyum mengembang, lalu menekan tombol jawab.

"Halo, Sayang ...." Suara bariton Kenzo menyapa pendengaran Aqila begitu panggilan tersambung.

"Halo, Yang." Aqila menjawab sambil melangkah keluar pintu kantor dan berhenti di teras di mana Hendra terlihat menunggunya di depan mobil.

"Kamu udah pulang? Aku jemput ya?" ujar Kenzo.

Aqila menggigit bibir. "Nggak usah, Sayang. Mulai hari ini kamu nggak perlu anter-jemput aku lagi."

"Lho? Kenapa?" Nada suara Kenzo terdengar tak senang saat bertanya begitu.

"Papa udah nyuruh orang buat jadi supir sekaligus bodyguard aku, Yang. Jadi, mulai sekarang aku pergi-pergi bakal dianter dia." Aqila merasa tidak enak saat mengatakan hal itu. Dia takut menyinggung kekasihnya. Dan desah napas Kenzo membuatnya tambah merasa bersalah.

"Papa kamu masih belum restuin hubungan kita?" Kenzo bertanya dengan nada lemah.

"Buat sekarang belum, Yang. Tapi aku yakin, bentar lagi hati papa pasti luluh, kok. Dia pasti bakal ngerti kalo kita bener-bener saling mencintai."

Kenzo kembali mengembuskan napas kasar di seberang sana. "Ya udah, deh. Kamu hati-hati pulangnya."

Lalu, tanpa menunggu jawaban Aqila, panggilan diputus oleh Kenzo begitu saja. Aqila mendengkus kesal. Pasti Kenzo marah, batinnya.

"Siapa, Non?" Tiba-tiba Hendra bertanya. Tangannya masih stand by memegang handle pintu mobil dalam posisi terbuka.

Aqila mendelik. "Bukan urusan lo!"

Gadis itu kemudian bergegas masuk. Setelah memastikan Aqila telah duduk dengan tenang di dalam mobil, Hendra menutup pintu dan berlari menuju belakang kemudi.

Hendra menyalakan mesin mobil, dan perlahan melajukannya meninggalkan halaman kantor. Begitu mobil berjalan, Aqila memejamkan mata. Kepalanya bersandar pada headrest. Ah, hari ini begitu melelahkan.

***

Mobil memasuki halaman rumah bernuansa putih menjelang senja. Aqila yang sempat tertidur sebentar seketika tersentak bangun saat Hendra menginjak rem dengan keras, membuat mobil berhenti mendadak.

"Hendra! Bisa bawa mobil nggak, sih?" keluhnya kesal.

"Maaf, Non. Saya nggak sengaja."

Aqila melengos. Sedang enak-enak istirahat juga, batinnya. Dengan kasar dia membuka pintu mobil dan membantingnya setelah keluar. Tak perlu menunggu dibukakan pintu oleh Hendra. Kelamaan.

Dia bergegas masuk rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Sedangkan Hendra menghampiri Giri di ruang tamu.

"Kalau begitu saya pamit pulang, Tuan."

Giri buru-buru meletakkan koran yang sedang dibacanya lalu berdiri. "Jangan buru-buru. Makan malam di sini dulu, ya?"

Hendra menggeleng cepat. "Tidak perlu repot-repot, Tuan."

"Udaaah ... nggak repot, kok. Ayo masuk." Giri merangkul Hendra dan mengajaknya masuk ke ruang tengah.

Lelaki berperawakan tinggi kekar itu menurut saja digiring ke ruang tv. Bi Suti kemudian keluar, menawari minuman.

"Bawakan yang seger-seger ya, Bi." Giri berpesan, yang dijawab dengan anggukan oleh Bi Suti.

Bergegas, wanita berusia hampir kepala lima itu melaksanakan perintah tuannya, lalu tak menunggu lama, dua gelas es jeruk beserta beberapa cemilan dibawanya keluar menggunakan nampan.

Hendra dan Giri kemudian menikmati minuman dan makanan ringan yang dibawa oleh Bi Suti sambil mengobrol santai.

Sedangkan di kamar, Aqila bergegas membersihkan wajah dan mandi. Dia butuh air dingin untuk merilekskan tubuh, otak, dan hatinya yang cukup lelah karena berbagai hal yang terjadi sepanjang hari.

Sembari menikmati guyuran air dingin dari shower, Aqila merenung. Kalau sekarang dia punya bodyguard, itu tandanya dia tidak lagi leluasa bertemu dengan Kenzo seperti dulu. Apalagi papanya juga sudah memberikan ultimatum kepadanya, untuk jangan lagi menemui laki-laki pujaannya itu.

Lalu, sekarang bagaimana nasib hubungan mereka? Akankah mereka benar-benar harus berpisah seperti keinginan papanya?

Tidak, tidak. Aqila menggelengkan kepala cepat-cepat. Dia yakin, papanya pasti masih punya nurani. Jika Aqila memang mencintai Kenzo seorang, dan jika dia bisa membuktikan bahwa Kenzo adalah laki-laki yang tepat untuk mendampinginya seumur hidup, dia yakin papanya pasti pada akhirnya akan merestui hubungan mereka. Ya, dia sangat yakin itu.

Satu-satunya hal yang perlu mereka lakukan sekarang adalah bersabar, dan terus berusaha. Ya, jangan menyerah semudah itu.

Tubuhnya terasa begitu segar setelah keluar dari kamar mandi. Aroma bunga dari sabun yang dia gunakan menguar memenuhi kamar. Aqila lalu mengambil baju dari lemari dan mengenakannya. Setelah itu dia ingin menemui papanya untuk membicarakan tentang Hendra.

Sepertinya dia tidak membutuhkan bodyguard. Apalagi jika bentukannya tidak meyakinkan seperti Hendra begitu. Dia tidak mau punya bodyguard, merepotkan.

Satu per satu anak tangga dilaluinya dengan pelan sambil bersenandung kecil. Namun, begitu mencapai anak tangga terakhir, betapa terkejutnya dia saat melihat Hendra di sofa ruang tengah bersama papanya sedang menonton tv.

Buru-buru Aqila mempercepat langkah dan berhenti di hadapan dua orang berbeda umur itu. Matanya menatap bergantian kepada papanya, lalu Hendra.

"Kenapa dia masih di sini?" tanyanya ketus.

"Papa nyuruh dia makan malam dulu sebelum pulang," jawab Giri santai. Pandangannya masih tak lepas dari layar televisi di depan.

"Ish! Papa! Ngapain, sih, pake disuruh makan malem segala? Kalo udah kelar kerjanya ya udah, pulang. Nggak usah pake acara makan malem segala. Kaya tamu penting aja!"

Giri menatap acuh tak acuh kepada putrinya. "Dia udah nganterin kamu pulang dengan selamat, Papa cuma pengen ngucapin terima kasih aja."

"Kenzo juga tiap hari nganterin aku pulang dengan selamat. Papa nggak pernah ngucapin terima kasih!"

Giri menghela napas mendengar ucapan sarkas putrinya. "Maksud Papa dengan 'mengantarkan dengan selamat' adalah kamu nggak ketemu sama Kenzo."

Aqila menatap tak percaya kepada papanya. Dia tak menyangka papanya akan mengatakan hal seperti itu. 

"Ish! Papa jahat!" Aqila menghentakkan kaki di lantai, lalu berlari kembali masuk ke kamar. 

Pintu kamar dia banting dengan keras hingga menimbulkan bunyi berdebam, lalu tubuhnya terhempas begitu saja ke atas ranjang. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Dia merasa kecewa dengan papanya yang begitu membenci laki-laki yang dia cintai.

***

Matahari telah bersinar dengan terang, padahal masih pukul tujuh pagi. Aqila sudah berdiri di teras rumah dengan pakaian rapi. Kemeja putih, celana hitam, blazer hitam. Rambut cokelat panjangnya dikuncir satu di belakang.

Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai marmer di bawah. Sikap yang selalu dia tunjukkan jika sedang tidak sabar. Berulang kali diliriknya jam di pergelangan tangan. Bibirnya sejak tadi menggerutu, kesal karena Hendra belum juga datang.

Hari Rabu ini, Vania mewanti-wanti Aqila agar datang lebih pagi. Banyak jadwal meeting dengan klien-klien penting yang berkas-berkasnya harus dia pelajari. Sementara, hingga jam di tangan Aqila hampir menunjukkan pukul setengah delapan, Hendra belum juga kelihatan batang hidungnya.

Suara mobil yang memasuki halaman membuat Aqila mengangkat wajah. Bibirnya sudah berkomat-kamit, siap untuk menumpahkan segala macam omelan kepada laki-laki yang baru saja turun dari mobil itu.

"Jam berapa ini?!" semburnya begitu Hendra tiba di hadapan. "Gue kan bilang kemaren, jemput gue jam tujuh. Kenapa jam segini baru dateng? Niat kerja nggak, sih?!"

Hendra hanya tentunduk lesu. Mulutnya masih mengatup rapat. Tak berani menyela omelan nonanya. Barulah saat Aqila berhenti menggerutu, Hendra menggumamkan kata maaf.

Mendengar itu, Aqila menarik napas panjang untuk meredam emosinya. Lalu, dia membuka pintu belakang untuknya sendiri dan bergegas masuk.

"Cepetan berangkat. Gue telat, nih!"

Hendra segera berlari ke sebelah kanan, masuk dan duduk di belakang kemudi. Setelah memasuki jalan raya, Aqila kembali berseru galak, "Jangan lewat jalan yang macet!"

"Baik, Non."

Hendra membelokkan mobilnya memasuki jalanan lain, bukan jalan raya utama yang biasa Aqila lewati setiap hari. Jalanan itu lebih kecil, sepertinya jalan alternatif jika jalan utama ditutup.

Namun, sialnya, jalan itu ternyata sama macetnya dengan jalan utama. Terlebih karena jalannya sempit, mobil jadi tak bisa leluasa menyalip. Akhirnya kendaraan yang mereka naiki berjalan dengan begitu pelan karena mengikuti antrean kemacetan di depannya.

Aqila memijat keningnya frustasi. "Lu bisa nyari jalan yang bener nggak sih?"

"Maaf, Non."

Hendra melirik takut-takut wajah bosnya dari spion tengah. Raut muka Aqila saat ini nampak seperti singa betina yang anaknya hendak dicuri. Kalau-kalau Hendra bergerak sedikit saja, mungkin dirinya akan dicaplok oleh wanita di belakangnya itu.

Sementara Aqila sendiri sudah hilang kesabaran. Sejak tadi telunjuknya tak henti-henti mengetuk-ngetuk dahi. Dia merasa kesal kepada sang papa yang sudah mengirimkan manusia kacau ini sebagai bodyguard untuknya.

Hal yang lebih membuat kesal Aqila adalah ... ini baru hari kedua!

Aqila menggeleng-geleng kepala. "Selera papa bener-bener buruk," gumamnya lirih.

***

Aqila mengayunkan langkahnya dengan cepat menuju ruangannya begitu pintu lift terbuka di lantai tujuh. Vania pasti sudah menunggu di ruangannya. Power point untuk presentasi belum dia siapkan, dia juga belum mempelajari apa pun tentang klien dan materi meeting hari ini. 

Namun, gara-gara si pengacau Hendra, dia jadi terlambat datang. Coba kalau Kenzo yang mengantarkannya, pasti dia sudah tiba di kantor sejak tadi.

Benar saja, begitu membuka pintu, di dalam sudah ada Vania yang tengah duduk di sofa. Di depannya ada laptop yang menyala, menampilkan power point berisi materi presentasi, sementara di pangkuannya ada berlembar-lembar kertas yang sedang dia periksa satu per satu.

"Baru datang, Qi?" tanya Vania menyambut Aqila yang tergopoh-gopoh masuk ke ruangannya.

"Maaf, Tan." Aqila duduk di sofa depan Vania. Wajahnya terlihat kacau, padahal hari masih pagi. "Aku telat gara-gara si rusuh, tuh," ujarnya kemudian, sambil menunjuk ke arah pintu dengan dagunya. 

Vania tersenyum simpul saat matanya menemukan Hendra yang tengah berdiri di depan pintu sambil menunduk lesu. "Kenapa emangnya?"

"Gara-gara dia telat jemput aku, makanya aku jadi telat dateng ke kantor. Belum lagi, dia milih jalan yang macet, sempit lagi. Nggak bisa gerak itu mobil!" ceracau Aqila, menumpahkan semua keluh kesahnya. "Aku heran, deh, sama papa, bisa-bisanya milih laki-laki kaya gitu jadi bodyguard."

Vania hanya tertawa menimpali ceracauan gadis yang hampir berumur setengah dari umurnya itu. "Tapi dia ganteng, kan?"

"Ganteng doang kerja nggak becus buat apa, Tan?"

Tawa Vania semakin berderai. Otot perutnya bahkan sampai kaku karena terbahak-bahak.

"Tante kok malah ketawa, sih?" Aqila terlihat kesal karena Vania justru menertawakan penderitaannya.

"Maaf, maaf. Abisnya kamu galak banget, sih." Susah payah Vania meredam tawanya, lalu begitu tawanya berhenti, dia menghadapkan layar laptop kepada Aqila. 

"Ini, Tante udah selesein ppt-nya. Kamu tinggal pelajari. Berkas-berkas yang harus ditandatangani ada di meja, di map cokelat."

Vania kemudian berdiri, berniat kembali ke ruangannya. "Semangat ya. Tante yakin kamu bisa," ucapnya sebelum berlalu.

Senyum Aqila merekah mendengar dukungan dari orang yang sudah dia anggap seperti tantenya sendiri. Kobaran emosi di hatinya seketika sirna. Dia merasa bersyukur karena memiliki orang-orang baik yang berada di sekelilingnya—kecuali Hendra!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status