Kamis pagi aku bersiap-siap untuk pergi. Kami berlima berjanji berangkat dari rumah masing-masing lalu bertemu di bandara.
Sampai sejauh ini aku belum memberitahu Juna mengenai Ian. Dan aku harap Juna nggak tantrum ketika melihat Ian nanti. "Jaket sama vitamin udah, Melo?" tanya Mami sekali lagi sebelum aku berangkat. Entah sudah berapa kali Mami mengingatkan padaku mengenai hal yang sama. "Udah, Mi. Semua udah di dalam tas. Obat-obatan juga." "Pembalut, minyak kayu putih sama botol air mineral?" "Udah juga." Mami memang sedetail itu. Selalu menyuruhku menyiapkan hal-hal yang nggak pernah kupikirkan sebelumnya. "Kalau udah nyampe kabari Mami secepatnya." "Siap, Mi." Padahal aku tahu tanpa kukabari pun Ian pasti lebih dulu memberi kabar. "Nggak ada ya ceritanya tidur sekamar." Ekspresi lembut Mami berubah keras saat mengingatkanku. "Iya, Mi, aku dan Juna pisah kamar kok." "Pokoknya awas kalau sampai kejadian, nanti Papi gantung." Aku tertawa mendengar selorohan Papi. Mana berani Papi menggantungku. Bukankah aku anak kesayangan? "Ian, jaga Melodi baik-baik. Kamu jangan jauh-jauh dari Melodi." Papi pindah pada Ian. "Baik, Om." Entah sudah seberapa sering kalimat singkat itu kudengar dari mulutnya. Ian memang nggak banyak bicara. Dia bicara seperlunya saja. Seakan mengeluarkan kata melebihi batas yang ditetapkannya maka dia akan mengalami kerugian luar biasa. Anya dan Amanda serta Alva sudah lebih dulu tiba di bandara ketika aku sampai di sana. Aku nggak melihat Juna. Mungkin dia belum datang. Aku menyapa Alva sekilas sebelum bertanya pada Anya dan Amanda. "Juna mana?" "Emang nggak bareng lo?" Amanda yang menjawab. "Nggak." "Tapi dia jadi ikut kan?" ujar Anya. Kuanggukkan kepala. Kemarin malam aku memberitahu Juna paling lambat jam sepuluh dia sudah harus berada di bandara. Dan dia bilang oke. "Juna beneran belum tahu kalau Ian ikut?" tanya Amanda padaku. "Belum, gue nggak berani bilang." "Pokoknya gue nggak ikutan ya kalau nanti pecah perang dunia ketiga," sela Anya mendramatisir suasana. Aku berdecak sembari menenangkan perasaan yang gelisah. Jantungku mulai dag dig dug nggak karuan. "Eh, Ian mana?" celetukan itu terlontar dari bibir Amanda. Aku mengangkat bahu. Tadi aku menyuruh Ian menjauh dan melarangnya agar dekat-dekat denganku. Syukurlah dia mengerti dan nggak bebal seperti biasa. "Melo, gue beneran takut kalau Juna marah," kata Amanda. Aku memang lebih dekat dengannya ketimbang Anya. Mungkin karena kami sering curhat mengenai kekasih masing-masing. Namun bukan berarti aku pilih-pilih. Hanya saja ada hal-hal yang bisa kubagi pada Amanda tapi tidak bisa kuceritakan pada Anya. "Kalau dia marah bantuin gue ya, Nda." "Pasti gue bantuin tapi sebatas yang gue bisa ya. Gue nggak mau dianggap ikut campur urusan kalian." Obrolan kami terputus begitu saja karena melihat Juna melangkah dari jauh. Wajahnya terlihat cerah. Ada senyum tipis di bibirnya. Itu menandakan mood Juna lumayan bagus hari ini. Mengetahuinya, kekhawatiranku lumayan berkurang. "Siap-siap, Melo." Amanda mencolek lenganku saat jarak Juna denganku semakin dekat. "Sorry, aku agak telat soalnya tadi macet di jalan." Juna menyampaikan alasan klise yang biasa dipakai banyak orang. "Nggak telat kok, aku juga baru nyampe." Aku memberinya senyum manis. Kemudian Juna menatap kami satu per satu. Dia tampak lega begitu mengetahui tidak ada Ian di antara kami. "Jun, ini Alva, pacarnya Manda." Aku mengenalkan mereka. Keduanya berkenalan dan berjabat tangan. Setelahnya mereka berbincang akrab. Aku rasa Juna akan cocok dengan Alva melihat cara mereka berinteraksi. Selagi keduanya mengobrol, aku mencari Ian dengan mataku. Anak buah Papi itu tidak tertangkap oleh radar mataku. Tapi aku tahu kelegaan ini hanya sementara. Cepat atau lambat Juna pasti tahu. Otakku nggak berhenti berpikir mencari cara untuk mengatakannya pada Juna dan membuat lelaki itu mau mengerti dan menerima alasanku baik-baik. Masalahnya tidak sesimpel itu. Satu tahun lebih menjadi pacar Juna aku jadi mengenal bagaimana karakternya. Juna selain egois juga temperamen. Aku hanya takut dia ngamuk dan bikin malu di depan banyak orang. Semuanya berlangsung lancar sampai waktu boarding tiba dan kami masuk ke dalam pesawat. Aku dan Juna duduk berdua. Amanda dengan Alva. Sedang Anya dan Ian mendapat tempat duduk terpisah. Perasaanku mulai nggak karuan. Aku nggak mungkin menyembunyikan Ian selamanya. Hanya ada waktu beberapa jam saja untuk berlindung. Juna mulai memasang headphone lalu sibuk dengan dunianya sendiri. Kupandangi wajahnya. Juna memejamkan mata, mulai tidur di sebelahku. Sedangkan aku semakin gelisah. Pikiranku tak menentu. Aku sama sekali nggak bisa menikmati penerbangan ini. Apa lebih baik aku bilang sekarang saja ya? Mumpung mood Juna lagi bagus. Jadi caranya menanggapiku juga nggak akan pakai emosi. "Jun ..." Aku menyentuh paha Juna. Dia membuka matanya lalu menatapku. "Gimana kerjaan kamu?" tanyaku mengawali. Aku nggak menemukan hal lain untuk dibahas sebelum sampai ke topik utama. Jawaban Juna berada di luar dugaan. "Kamu nggak asyik banget ya orangnya. Lagi liburan malah bahas pekerjaan," jawabnya ketus. "Aku kan cuma nanya. Kok kamu langsung marah? Aku cuma ingin memastikan semua pekerjaan kamu udah selesai jadi liburan kita nggak keganggu." "Kalau aku ada di sini artinya pekerjaanku udah beres. Jadi kamu nggak usah khawatir. Harusnya kamu nggak perlu nanya yang nggak penting. Hobi banget ngerusak suasana!" Aku nggak ngerti kenapa Juna tiba-tiba ngegas padahal aku bertanya baik-baik. "Sorry," ucapku pendek. Juna membuang napas kasar lalu kembali memejamkan matanya, meninggalkanku sendiri yang nggak tahu harus melakukan apa. Aku nggak bisa tidur di pesawat terlebih dalam penerbangan yang tergolong singkat. Tadinya aku mau Juna mengajakku mengobrol, bercengkerama mesra dengan aku menyandarkan kepala ke bahunya dan dia mengusap-usap punggungku lalu sesekali mencuri kecupan di pipiku. Tapi itu nggak terjadi. Aku memandang ke belakang dan mendapati Ian yang duduk beberapa meter di sana sedang menatapku. Dari tempat duduknya dia mengawasiku. Dengan cepat kupalingkan muka. Tidak sudi bertatapan terlalu lama dengannya. Saat melihat ke sebelah aku menemukan Juna sudah tidur atau belum tidur tapi matanya terpejam. Entahlah. Aku duduk dengan gelisah. Ingin membaca tapi aku nggak bisa membaca di pesawat. Kepalaku bisa pusing. Menonton juga bukan pilihan yang kuinginkan. Aku hanya mau didengarkan. Beberapa kali aku memandang ke belakang dan mendapati hal yang sama. Ian tengah mengawasiku. Kenapa dia nggak tidur aja sih? Apa dia berpikir aku akan kabur darinya? Lupa kalau lagi di pesawat? Aku akan kabur ke mana emang? "Apa sih yang dilihat dari tadi, noleh ke belakang mulu?" Aku terkejut mendengar suara Juna lalu membalikkan badan. Ternyata dia tidak tidur dan tahu apa yang kulakukan. "Eh, Jun, kamu nggak tidur?" Juna nggak menjawab tapi memandang ke belakang. Lalu menemukan ada Ian di sana. ***EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi