Share

Boneka Aufan.

Lumayan lama Tata berdiam di dalam kamar mandi, hingga dirasa cukup tenang dengan beberapa kali membasuh wajah untuk menyamarkan air mata, akhirnya ia keluar dan mengernyit saat pria yang menggagahinya beberapa menit lalu sudah memakai kaus dan celana sebatas lutut.

Aufan dengan segelas wine di tangannya, menoleh pada wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan selimut yang masih melilit tubuh. Ah, ingin sekali ia kembali memasukkan diri ke dalam wanita itu, tetapi hatinya menolak setelah mendengar percakapan yang tidak sengaja ia curi.

"Lama banget, sih, siapa yang telepon?" Aufan bertanya dengan sedikit kesal. Tiga puluh menit menunggu dan itu membuatnya jengkel.

Menunggu hal yang paling menyebalkan bukan?

Remasan pada selimut yang masih menutupi tubuh polosnya, semakin dipegang erat. Tata berdeham dengan mata yang terus bergerak ragu, mencoba mencari alasan yang tepat karena tak mungkin memberi tahu yang sebenarnya.

"Maaf, Mas. Tadi temen satu kamarku. Dia cuma nanya aku pulang enggak malam ini," jawab Tata sambil berjalan ke arah kasur sedangkan Aufan duduk santai di atas sofa.

Namun, sepertinya hal itu tak disetujui Aufan yang terus saja menatap dengan lekat pada wanita yang terlihat ketakutan seperti tertangkap habis mencuri sesuatu.

"Sini," perintah Aufan dan wanita itu tentu saja tak bisa menolak.

"Maaf, Mas."

Aufan benar-benar geram dengan ucapan maaf itu. Ia merasa menjadi orang jahat sekarang. Memangnya apa yang ia lakukan?

Tata langsung duduk di sisi kosong Aufan dan begitu terkejut saat pria itu menyibak selimutnya dengan kasar hingga menampilkan tubuh polosnya yang menyimpan begitu banyak tanda kissmark.

"Ah, sial!" cetus Aufan dan menarik diri sembari mengambil gelas wine yang baru beberapa detik lalu ia letakkan. "Kamu pulang aja, saya mau tidur sendiri. Mood saya  rusak buat ngelakuin seks lagi karena kamu kelamaan di dalem kamar mandi!" sambungnya setengah kesal.

Hal itu membuat mata Tata melebar. Namun, ia bukan terkejut dengan nada bicara Aufan yang sedikit membentak, hanya tak percaya kalau pria itu mengizinkannya pulang.

Ya, pulang!

Lalu, tanpa menyahut apa pun Tata bangun dan berjalan buru-buru, kembali memakai pakaiannya sambil terus ditatap pria yang saat ini mengadukan gigi grahamnya karena menahan horny yang datang kembali.

"Ah, sialan!" batin Aufan.

Tata bukan sengaja melakukan itu hanya sudah tak mau membuang waktu untuk langsung pulang. Takut-takut kalau pria itu berubah pikiran dan kembali menggagahinya.

Setelah selesai, Tata tak mengucap sepatah kata pun atau sekedar berpamitan karena ia langsung melesat pergi untuk keluar dari kamar yang ia harap tak lagi ia masuki.

Sepeninggalan Tata, Aufan meraih ponsel yang ada di atas meja sofa dan menghubungi salah satu pekerjanya yang sudah ia kabari saat wanita itu di dalam kamar mandi.

"Joni, ikutin cewek yang baru keluar dari kamar gue. Lo selidiki identitasnya." Aufan memerintah dengan tegas.

Tanpa menunggu jawaban, pria tampan itu mematikan sambungannya dan melempar ponsel ke arah meja sofa hingga benda canggih itu mungkin mengalami keretakan karena berbentur cukup keras dengan meja kaca.

"Siapa kamu sebenarnya?" monolog Aufan kembali menenggak minumannya.

***

Aufan Zaccth, pria tampan dengan segudang kesuksesannya. Meski latar belakang keluarga yang memang berdarah biru sejak dulu, tetapi kecerdikan pria itu dalam berbisnis tak bisa dipandang remeh.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah berhasil membangun hotel bintang lima dan penginapan yang berada di Pantai Pangandaran. Memiliki wajah tampan dan otak cerdas membuat ia selalu menjadi bidikan para orang tua yang memiliki anak gadis. Siapa yang tak menginginkan menantu kaya raya dan tampan, tetapi Aufan--si brengsek yang mesum--selalu abai dengan tawaran perjodohan padahal adiknya sudah memiliki seorang putra.

Bukan tidak mau hanya saja Aufan pria yang benar-benar tak tertarik dengan hubungan yang melibatkan waktu jangka panjang. Jika butuh pelepasan ia hanya tinggal menelepon dan seseorang akan mengirimkannya wanita yang akan memeluknya sepanjang malam. Setelah itu acara selesai dan ia tak perlu repot-repot mengurusi seorang wanita, makhluk yang selalu ingin diperhatikan menurutnya.

Namun, sial! Kali ini Aufan terus membayangkan tubuh mungil dan polos wanita yang seminggu lalu ia tiduri. Windi, nama itu terus berputar di otaknya. Setiap jengkal tubuh telanjangnya direkam jelas oleh otak sialannya yang bahkan masih bisa mengingat tubuh menggeliat milik wanita itu saat ia mulai memasukinya. Dua gunung sekal dengan pinggang ramping membuat Windi seperti mahakarya yang begitu mahal di matanya, lebih tepatnya di otak mesumnya.

"Sial! Kenapa kepikiran terus, sih! Apa jangan-jangan gue kena jampi-jampi dia?" Aufan bermonolog sembari menyugarkan rambut hitamnya ke belakang.

Kembali memejamkan mata dengan punggung yang ia sandarkan ke kursi kebesarannya, Aufan memijat kening setelah menyelesaikan rapat mingguan dengan kepala CS dan beberapa investor asing yang ingin bekerja sama dengannya.

Suara ponsel berdering, membuat Aufan mengambil benda pipih dalam sakunya dan menjawab panggilan dari seseorang yang ia tunggu.

"Iya, Jon. Gimana, lo dapet infonya?"

Seminggu ini, Joni--pria berusia 25 tahun--menjadi mata-mata yang diperintahkan untuk mengawasi teman tidur bosnya seminggu yang lalu.

"Bos, gue udah pantau. Namanya Renata Windari biasa dipanggil Tata, janda anak satu. Bukan janda sih, soalnya dia belum nikah, hamil di luar nikah kayaknya," papar Joni, saat ini ia berada tepat di tepi jalan yang dekat dengan lokasi rumah Tata.

Aufan mulai fokus dengan membuka kancing kemeja bagian atas sembari mendengarkan hasil kerja Joni.

"Anaknya tiga hari lalu operasi mata, dia tinggal di daerah Pluit, di rumah bekas orang tuanya. Ibunya meninggal waktu dia masih SMA, bapaknya nikah lagi. Dia punya saudara cewek, gue belum selidiki saudaranya. Terus--"

"Dia pelacur?" sela Aufan.

"Gue kurang yakin, Bos. Soalnya seminggu ini gue cuma lihat dia kerja di kafe, pulang kerja langsung balik ke rumah," balas Joni.

Aufan tentu saja mengernyit dan bertanya-tanya bagaimana mungkin Tata, wanita yang ia kenal sebagai Windi bisa mendatanginya dalam waktu yang tepat saat ia membutuhkan pelepasan.

"Berapa tahun anaknya?" tanya Aufan, kini ia membuka laptop yang ada di hadapannya.

"Sekitaran tujuh sampai delapan tahun kayaknya." Joni menghisap sebatang rokok setelah menjawab pertanyaan bosnya yang terdengar aneh.

"Cewek atau cowok?" lanjut Aufan.

"Cewek, Bos," jawab Joni, kali ini mengernyit kebingungan dengan pertanyaan orang yang menggajinya setiap bulan.

"Kirim alamat rumahnya, nanti sore gue datengin," tukas Aufan.

Tanpa menunggu Joni menjawab, pria dengan kemeja abu itu sudah menutup sambungan teleponnya. Baru saja ingin memulai pekerjaan, Aufan melirik ponsel berbeda yang berada dalam laci meja kerjanya. Ia memang memegang tiga ponsel, satu ponsel ia gunakan hanya untuk menghubungi keluarganya dan satu untuk para pekerjanya, lalu satu lagi untuk para rekan kerja serta para pebisnis dan juga orang-orang yang mengenalnya. Seperti saat ini, ponsel yang masuk kategori ketiga itu dua kali berdering, membuat Aufan meraihnya dan menjawab panggilan itu.

"Halo, Bos. Sorry! Gue bener-bener minta maaf karena baru tahu. Cewek yang gue kirim ternyata enggak bisa dateng, dia enggak tahu kalau dapet orderan cowok ganteng kayak lo. Gue bener-bener minta maaf, Bos!" cerocos Mizi membuat Aufan mendesah kesal, ia pikir ada hal penting apa.

"Lupain! Lo enggak usah nawarin cewek lagi ke gue!" tandas Aufan.

Setelah itu sambungan terputus menyisakan Mizi yang meringis karena kehilangan pelanggan loyalnya. Dan kini Aufan kembali menerka-nerka, bagaimana bisa wanita yang ia kenal seminggu lalu, sampai ke dalam kamar hotelnya, sementara wanita yang diperintah Mizi saja tak tahu apa-apa.

Menyeringai sembari mengusap dagunya dengan jari telunjuk, Aufan kini memikirkan bagaimana kalau wanita itu ia jadikan boneka dengan ancaman penipuan. Ah, bukan hanya mesum ternyata otaknya juga licik.

"Hmmm, menarik," ujar Aufan percaya diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status