Share

Pelacur

Belum sempat rampung kalimat Aufan, dress mini itu jatuh ke lantai. Menyisakan bra dan celana dalam yang berwarna senada. Gigi Aufan bergemeletuk saat tubuh molek itu begitu menghipnotisnya dengan nyata.

"Kemarilah." Suara Aufan bagai tertelan dengan diiringi geraman tertahan.

Berjalan dengan ragu dan rasa malu luar biasa. Tata menutup dada dengan kedua tangannya saat sebagian daging gempalnya terekspose dan menjadi pusat perhatian Aufan. Saat sampai ia kembali duduk di pangkuan pria itu dan kembali memejamkan mata saat wajah Aufan tanpa basa-basi langsung menelusupkan wajah ke dada serta leher jenjangnya.

Kecupan yang Tata yakini meninggalkan tanda kemerahan begitu terasa sakit, bukan pada fisik saja, tetapi juga hatinya.

Dengan gerakan tidak sabar, Aufan menggendong wanita itu dan berjalan menuju tempat tidur lalu menjatuhkannya di sana sembari mengukung tubuh mungil Tata di bawahnya.

"Kenapa nangis?" tanya Aufan setengah berbisik.

Dan pertanyaan itu membuat Tata sedikit terkejut. "Maaf Mas," sahut Tata. Kepalanya sedikit tertunduk dengan tangan yang sebisa mungkin menahan dada Aufan.

Aufan benar-benar merasa jadi penguasa di sini. Melihat Tata yang jangankan melawan bahkan bergerak pun terlihat sangat takut. Lagi pula mana mungkin wanita itu melawan saat melihat sendiri kalau uang yang ia kirim tidak dengan jumlah sedikit.

"Jangan banyak minta maaf, nanti maaf kamu enggak ada harganya." Aufan beringsut, melepas jas serta kemeja hingga memperlihatkan tubuh kekarnya yang polos.

Meski tampak menggoda, Tata memilih memalingkan wajahnya dan itu membuat Aufan tertawa kecil. Gemas sendiri karena ia bahkan masih menebak-nebak apa wanita itu sedang berakting atau memang benar-benar merasa takut?

"Windi, kamu pelacur yang aneh menurut saya."

Aufan mulai membuka ikat pinggang dan terus melucuti celananya dengan tak melepas tatapan dari wanita yang tak mau menatapnya.

Keterkejutan dan ketakutan bercampur menjadi satu saat itu. Kini mata Tata semakin membola saat Aufan merangkak ke atasnya dengan seringai mesum yang membuat ia merinding.

***

Entah sudah mencapai puncak ke berapa kali, karena jam yang menunjukan pukul sebelas malam menyatakan kalau seks mereka sudah memakan waktu lima jam lamanya dan Aufan benar-benar dibuat mabuk kepayang oleh tubuh mungil nan sexy itu.

Saat keheningan kamar masih dihiasi gemuruh napas memburu tiba-tiba saja ponsel Tata berbunyi, membuat sang pemilik refleks bangun dengan menggulung selimut ke tubuh polosnya.

"Mas, aku mau angkat telepon," kata Tata meski ragu saat menatap pria yang masih dalam kondisi naked di atas ranjang.

Aufan tak buru-buru menjawab, masih sibuk mengatur napas lelahnya yang ... ah, sial! Ia begitu menikmati malam ini. Desahan yang ditahan-tahan oleh Tata seolah memicunya untuk terus melakukan hal yang harusnya sudah menjebolkan pertahanan wanita itu.

"Hmmm, jangan lama-lama," sahut Aufan tak mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar.

Tidak mau repot-repot menjawab atau sekedar mengangguk, Tata langsung berlari kecil ke kamar mandi dan mengangkat telepon dari orang yang paling penting di kehidupannya.

"Halo, Sayang." Wanita itu berdiri di balik pintu toilet dengan sebelah tangan yang menahan lilitan selimut putih pada tubuhnya.

Dapat Tata dengar suara grasak-grusuk dari sambungan itu sampai akhirnya ia mendengar suara seorang gadis yang menjadi alasan dirinya berada dalam kamar hotel itu.

"Bunda?! Bunda di mana?" sahut gadis kecil dari dalam sambungan telepon.

Mati-matian Tata menahan tangis, menggigit bibir bawahnya agar isak yang hendak lolos tak sampai terdengar.

"Bunda lagi kerja, Sayang. Azira kenapa belum tidur?"

Ada suara berisik lagi yang ditangkap rungu Tata dalam ponselnya. Entah apa yang sedang anaknya lakukan di jam malam seperti ini, tetapi ia bisa tebak kalau Azira pasti sulit diajak tidur dan memilih mengeluarkan mainannya.

"Zira nunggu Bunda." Azira--nama gadis kecil itu--melihat sekilas ponsel yang sedang menyala kemudian kembali meletekkannya di telinga. "Bunda pulangnya kapan?" lanjutnya.

Air mata yang terus berderai membuat Tata tidak bisa menjawab langsung pertanyaan itu. Ia hanya kembali menggigit bibir bawahnya sembari menahan isak yang mungkin sebentar lagi akan lolos karena tak tahan.

Pulang? Bahkan Tata tak tahu bisa pulang atau tidak malam ini.

Menghela napas sepelan mungkin, berusaha agar suaranya terdengar baik-baik saja. Lalu Tata menyahut, "Bunda banyak kerjaan, Zira tidur sama Tante Mela dulu, ya."

Gadis berusia tujuh tahun yang saat ini menunda permainan puzzlenya, mendesah kesal lalu memberikan telepon pada wanita yang malam ini bertugas menjaganya.

Ia kembali pada permainannya. Menyusun puzzle dengan gambar binatang dan buah meski kali ini dengan raut wajah yang terlihat merengut pasalnya ini kali pertama ibunya menerima pekerjaan yang mengharuskan tidur di luar, selama ini Zira tak pernah tidur sendiri atau ditemani orang lain selain ibunya.

"Ta, lo di mana?" Mela menjauh dari bocah yang kembali menyusun mainannya karena sangat sulit untuk diajak tidur.

"La, gue enggak bisa balik malem ini. Lo temenin Zira, ya," jawab Tata setelah bernapas lega saat suara Mela terdengar.

Mela, sepupu sekaligus satu-satunya keluarga yang Tata punya hanya mengangguk tipis meski ia sadar hal itu tak terlihat oleh lawan bicaranya. Ada rasa curiga saat mendengar suara berbeda dari wanita yang usianya hanya selisih dua bulan darinya. Namun, ia tak langsung bertanya tentang keanehan itu, hanya kembali berucap.

"Ya udah, lo jaga diri baik-baik. Zira biar tidur sama gue. Tadi dia bilang mata kirinya kembali berair karena kelamaan nonton youtube. Sekarang gue tutup sama perban karena takut infeksi." Mela menggantung ucapannya sebentar dan menoleh ke arah bocah yang terlihat menghentakkan langkahnya kesal ke arah kamar, meninggalkan mainan yang kacau di ruang tengah.

"Dokter Aden bilang, pendonor udah siap tinggal lo-nya," imbuh Mela pelan.

Napas Tata terbuang lega, sebulan lalu ia terus mencari pendonor kornea mata bagi anaknya yang punya masalah mata sejak kecil dan saat dokter yang menangani Azira berkata demikian ia langsung mengambil jalan salah ini.

Jalan yang membawanya pada takdir tak terduga.

"Hmmm, gue udah tahu, La. Sekarag gue tutup, ya, teleponnya. Makasih banyak, La."

Tata tak tahu apa yang akan ia lakukan jika tak ada wanita itu. Hidup hanya dengan anaknya dalam rumah kecil membuat ia terkadang kebingungan dan merasa tak bisa saat menghadapi semua masalah. Untungnya ada Mela dan keluarganya yang tak pernah lelah memberi bantuan dan dukungan.

Setelah mendengar sahutan Mela, sambungan itu terputus meninggalkan Tata yang menyalakan kran air untuk menyamarkan suara isak tangisnya. Ia menatap bayangannya dalam cermin di sana yang menampilkan setengah badan dengan begitu banyak tanda merah hampir kebiruan, bibirnya bergetar dengan pandangan yang mulai kabur saat air mata memenuhi retina.

Sebelah tangannya memegang erat meja granit yang menjadi wadah wastafel, sementara tangan lainnya masih menahan selimut putih yang membungkus tubuh polosnya.

"Lo udah jadi pelacur beneran sekarang, Ta." Bicara dengan nada sepelan mungkin pada dirinya sendiri yang terlihat sangat kacau dalam cermin, Tata terisak dengan kepala tertunduk dalam.

Selama drama dalam kamar mandi itu berlanjut, tanpa Tata sadari ada Aufan yang berdiri di depan pintu kamar mandi--berniat ingin melakukan hubungan badan lagi--yang hanya terdiam mencuri dengar percakapan ibu dan anak itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status