Share

Tamu Tak Diundang

089654×××××

08:30

[Papah denger kamu habis operasi anak kamu. Punya uang dari mana?]

[Akhirnya jual diri juga, kan?]

[Dapat harga berapa kamu?]

Notifikasi pesan bermunculan setelah dering panggilan berakhir tanpa jawaban. Tata hanya memandang ponsel yang tergeletak di atas meja pantri dengan tatapan kosong, tetapi sarat akan kekecewaan.

[Papah punya kolega kaya, Ta. Bisa bayar kamu mahal.]

[Ta, jawab telepon papah!]

[Kurang ajar kamu, ya! Cepet bales pesan papah, Tata!]

[Tata, papah butuh uang lima juta! Kirimi papah uang, nanti papah ganti.]

Lantas, pesan terakhir membuat Tata merasa begitu sakit hingga manik karamelnya mulai memproduksi cairan bening. Ia tersenyum remeh dengan kepala yang sedikit merunduk. Menyembunyikan tangis yang mungkin saja sedang di tertawakan keadaannya saat ini.

Rentetan pesan yang sama sekali tak berniat Tata balas, membuat kepalanya pening. Ia duduk di kursi dapur dengan tangan yang masih memegangi spatula. Lima menit lalu pria yang Tata harapkan tak pernah datang dalam hidupnya, menelepon berkali-kali.

Tentu saja ia tak mau repot-repot menjawab panggilan yang pasti akan membuatnya emosi dan sakit hati. Ia terus menekan ikon merah untuk menolak panggilan itu atau terkadang membiarkan ponselnya yang berdering, mati dengan sendirinya.

Saat sambungan ke tujuh berakhir, Tata melihat rentetan pesan singkat dari pria yang harusnya menjadi tempatnya mengadu. Pesan yang selalu membuatnya marah dan terluka. Tak ada basa-basi untuk sekedar bertanya kabar tentang dirinya atau setidaknya pada anaknya, meski dari awal Tata tahu kalau kehadiran Azira tak pernah disambut baik.

Setidaknya jangan mengirimi pesan yang begitu mampu melukai hatinya sampai terasa pedih dan sakit.

"Jangan lagi, Pah." Tata membatin sembari memijat keningnya. Ia tak habis pikir kalau ayah kandungnya bisa menulis pesan menjijikan seperti itu.

Kemudian ia menghela napas pelan sebelum kembali menyelesaikan masakkan yang sedikit tertunda karena drama pesan singkat itu.

Dalam rumah sederhana yang saat ini ia tempati, di sanalah Tata membesarkan Azira dengan segudang masalah dan kesedihan yang ia telan sendiri. Bangunan kecil berukuran 10×20 meter--yang memiliki tiga kamar dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur--itulah yang menjadi saksi bagaimana Tata berjuang melawan penderitaan yang hampir membuat ia mengiris urat nadinya sendiri.

Andai saja tak ada Mela yang saat itu kebetulan mampir sambil membawa makanan, mungkin sudah terjadi sesuatu pada dirinya dan janin dalam kandungannya.

Saat ini rumah warisan dari mendiang ibunya-lah yang menjadi satu-satunya tempat ia dan anaknya berteduh.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah Azira, Tata bekerja di salah satu kafe yang letaknya tak jauh dari rumah hingga memungkinkan ia untuk pulang saat jam istirahat datang dan jika kebetulan sedang lembur untuk mengisi acara di kafe yang diadakan setiap malam minggu, biasanya ia akan mengajak Azira untuk menemaninya bernyanyi atau terkadang dengan terpaksa dan rasa tak enak hati dititipkan kepada Mela jika gadis kecilnya sedang tak mau ikut.

"Azira." Tata memanggil setelah menyelasaikan masakan untuk makan malamnya dengan sang putri.

Bocah yang sedang asyik menonton televisi itu menoleh, dengan sebelah mata yang masih tertutup perban.

"Mau makan sekarang, enggak?" tanya Tata kembali, sembari mencuci tangan setelah membuka celemek yang ia gunakan saat memasak.

Azira menggeleng dan kembali menonton layar televisi yang menampilkan kartun favoritnya ditemani biskuit keju kesukaannya.

Tata ikut bergabung dengan gadis kecil yang saat ini mengenakan setelan baju santai bergambar bunga sakura. Ia mengusap pelan kepala sang anak dan mengangkat tubuh yang beratnya sekitar 18 kg. Azira memiliki tubuh yang kecil untuk anak seusianya dan empat bulan lagi ia genap berusia delapan tahun.

"Besok kita dateng ke rumah sakit lagi, ya. Buat buka perban mata kamu," tutur Tata dengan tangan yang merapikan bekas bungkus biskuit di atas sofa.

"Nanti kalau perbannya dibuka, Zira enggak usah pakai kacamata lagi, kan, Bun?"

Tata mengangguk dan tersenyum. "Tapi nanti ya, kalau dokter udah izinin. Selama dokter saranin buat pakai kacamata, Zira harus tetep pakai, ya," titahnya lembut.

Azira mengangguk patuh. "Bunda, Dokternya ganteng-ganteng, ya? Zira suka, apa lagi kalau Zira ke sana suka di kasih permen sama cokelat."

Tata mengernyit lalu terkekeh. Ia bersyukur diberi seorang anak yang jarang sekali mengeluh tentang keadaanya. Justru terkadang dialah yang banyak mengeluh.

"Bunda, nanti Zira kalau udah besar mau jadi dokter! Jadi, kalau Bunda sakit nanti Zira yang obati. Nanti Zira kasih obat yang enggak terlalu pahit biar Bunda enggak muntah kalau habis minum obat," celoteh Azira antusias, membuat sang ibu hanya tersenyum dan membubuhi kecupan singkat di atas kepalanya.

Azira. Usianya memang masih terbilang muda, tetapi ia selalu memiliki pemikiran positif dan menampilkan raut wajah seolah semua baik-baik saja. Namun, terkadang hal itulah yang membuat hati Tata merasa sakit. Azira tumbuh dengan sifat dewasa yang mungkin dipaksa oleh keadaan.

"Terus Bunda ingat Dokter Aden, enggak? Menurut Zira, Dokter Aden yang paling ganteng!" seru Zira.

"Genit banget sih, anak bunda." Tata mencubit gemas hidung mungil anaknya dan memeluk erat tubuh kecil yang masih berada di atas pangkuannya.

"Bunda, Zira mau punya papah dokter. Boleh, kan?"

Tata mengenyit lalu terkekeh mendengar ada saja kalimat yang meluncur dari bibir mungil putrinya.

Sementara itu, pria yang berada di luar rumah Tata--lebih tepatnya sedang berdiri di depan pintu dengan mainan khas anak perempuan di tangan kanan--sedang tertawa kecil saat melihat tulisan pada selembar kertas polio yang tertempel di daun pintu ruma itu.

Tulisa itu tak begitu rapi dan penuh dengan warna krayon yang sedikit acak-acakan.

'RUMAH KAMI ENGGAK ADA BELNYA. JADI KETUK DI SINI AJA.'

Setelah tulisan dengan spidol merah itu selesai Aufan baca, kini ia melihat ada dua cetakkan bibir merah di pojok bawah gambar, yang satu berukuran kecil dan satu lagi berukuran ... ah, sepertinya terlihat begitu seksi di mata keranjangnya.

Benar saja, Aufan datang ke rumah kecil Tata dengan rasa penasaran dan sedikit dorongan otak mesumnya yang terus mengingat bentuk tubuh sang pemilik rumah di hadapannya.

Aufan dengan percaya diri mengetuk daun pintu berbahan kayu ukiran itu dan saat ketukkan ketiganya, sang pemilik rumah keluar dengan wajah terkejut dan mata yang melebar saat Aufan menampilkan senyum miringnya.

"Hai," sapa Aufan.

"K-kamu ... maksud s-aya ... Bapak ngapain di sini?" gelagap Tata dengan wajah paniknya.

Aufan semakin tersenyum penuh arti. Ah, ternyata selain memiliki tubuh seksi yang membuatnya kecanduan. Wanita itu juga memiliki ekspresi terkejut yang menggemaskan, rasanya ingin sekali Aufan mendorong tubuh wanita itu ke daun pintu dan melahap bibir merah jambu alami yang saat ini sedikit terbuka karena masih terkejut dengan kehadirannya.

Untungnya Aufan masih punya kesadaran dan kewarasan--meski hanya sedikit--yang ia bawa saat berkunjung ke rumah ibu satu anak itu.

"Ketemu kamu lah, Win," kata Aufan santai.

"Bunda, itu siapa?" Bocah dengan rambut diikat dua, muncul dari balik punggung Tata.

Aufan menurunkan pandangannya ke bawah dan melihat gadis dengan perban di sebelah mata yang memiliki kulit putih bersih dengan manik cokelat karamel yang indah, persis seperti wanita dewasa di depannya.

"Halo Azira, Om bawa mainan buat kamu." Aufan bisa menangkap dengan jelas mata yang berbinar saat ia menawarkan hal itu, tetapi gadis kecil yang ia prediksi akan langsung meraih buah tangannya ternyata malah mendongak, menatap wanita dewasa yang masih menampilkan raut wajah terkejut.

"Bunda, boleh Zira ambil, enggak?" pinta Azira lirih.

Aufan tersenyum mendengar permintaan izin itu. "Boleh, dong. Om, kan, memang bawain buat Zira, bukan buat Bunda." Aufan meraih tangan mungil yang tampak memainkan ujung dress milik sang ibu dan memberikan mainan boneka berserta alat-alat riasnya.

Senyum di bibir mungil Azira terbit dan ia langsung berlari ke dalam rumah setelah berucap terimakasih sembari menatap wajah Aufan sekilas.

Kini dua orang dewasa yang masih di ambang pintu tampak saling menatap dengan salah satu pemerannya terlihat begitu takut dan gugup.

"Saya enggak disuruh masuk, Win?" Aufan berujar  santai dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Gaya khas yang selalu ia bawa.

Kegugupan Tata semakin bertambah saat suara serak itu kembali terdengar. Ia memilin tangannya karena takut dan menengok ke arah halaman rumah yang tak terlalu besar. Ternyata sudah ada mobil mewah yang ia yakini milik pria yang saat ini berdiri dengan setelan jas mahal berwarna silver.

"Bapak ngapain ke sini, s-saya enggak--"

"Bapak," sela Aufan, mengulangi panggilan Tata dengan nada tidak senang.

Tata berdeham, ia masih ingat nama pria ini hanya saja begitu ragu untuk mengucapkannya. "M-maksud saya, Mas Auf kenapa ada di sini?"

Tata terlihat semakin gugup saat wajah Aufan berganti kesal setelah beberapa detik lalu bersikap manis di depan anaknya. Ia kemudian menoleh sebentar ke arah ruang tengah, melihat pada bocah perempuan yang masih asyik menelisik mainan barunya dan kembali menatap ragu pria tinggi di depannya.

Dengan senyum khasnya, Aufan melangkah  dengan sedikit membungkukkan tubuh seraya berbisik tepat di telinga Tata. "Karena kecanduan tubuh kamu, Win," katanya dengan nada sensual.

Setelah itu Aufan melangkah masuk ke dalam rumah dan menghampiri bocah yang masih sibuk membuka bungkus mainan pemberiannya.

Meninggalkan Tata yang saat ini merasa kalau detak jantungnya mungkin terdengar oleh telinga pria itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status