Share

Junior Rasa Senior

"Pas banget," gumam Isti saat membuka pintu kos dan menemukan pemandangan yang bikin hati Isti jadi adem.

Namun, ada yang bilang kalau hal terlarang itu terasa manis dan menyenangkan. Isti tentu saja setuju dengan pernyataan itu karena saat ini sedang menikmati manisnya hal terlarang dalam wujud cowok cakep bernama Hadi. 

Seperti biasanya, dia berjalan lambat-lambat di sebelah kiri, sedangkan Hadi selalu berjalan di sebelah kanan. Tawa Isti tidak bisa ditahan, ketika melihat Hadi yang sibuk menyingkirkan daun kering, yang menempel di rambutnya. Cowok itu bahkan terlihat menggerutu, saat daun yang menempel semakin banyak. Salahkan saja angin nakal yang meniup dedaunan itu.

Isti sendiri juga repot dengan rambutnya yang berantakan, gara-gara angin usil. Beginilah keadaan kalau menjelang musim tembakau. Musim panas berangin dan bakal membuatmu menggigil kedinginan.

Setelah sukses menyingkirkan tamu tak diundang di rambutnya, kali ini Hadi berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku. Tanpa sadar, Isti pun mengikuti gerakan Hadi.

Beruntungnya, tak ada yang menyadari kebiasaan Isti menguntit, karena jarang ada yang melalui jalan kecil dari tempat kosnya sampai rumah sakit. Hadi sendiri juga tidak mengetahui kebiasaan Isti itu. Ini karena kebiasaannya yang terlalu fokus pada jalan, tanpa mau melihat ke sekitar.

Namun, sebelum berbelok ke arah rumah sakit, Isti sengaja berhenti. Kemudian menghitung sampai dua puluh, sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Dia sengaja melakukan hal itu, agar memberi jarak dan menghilangkan kecurigaan. 

"Selamat pagi," sapa Isti dengan ceria, saat mendorong pintu ruang laboratorium.

"Akhirnya Mbak Isti datang juga. Pulang yuk, pulang," balas Feny yang langsung semangat. Padahal waktu Isti masuk tadi, cewek itu sedang terkantuk-kantuk di kursi.

Pagi ini ada empat orang yang berdinas pagi. Hadi yang memang setiap hari berdinas pagi, karena posisinya sebagai kepala. Kemudian Isti, Vela, dan Ana.

Mereka berempat ditambah dengan Feny, sudah duduk mengelilingi meja kotak yang ada di tengah ruangan. Setelah doa pagi, mereka menuju posisi masing-masing, sementara Feny beranjak pulang. 

Isti juga sudah siap di depan pintu masuk sambil mengecek perlengkapan perang yang terdiri dari spuit, tourniquet, aneka tabung, plester, dan juga alkohol swab.

Debaran jantung Isti bertambah cepat, ketika aroma pinus terhidu. Pasti Hadi berada di dekatnya. Jadinya, Isti balik badan, hingga berdiri menghadap Hadi. Cewek yang memiliki tinggi standar itu mulai mengatur napas, agar jantungnya juga normal. 

"Bos, kapan aku pindah posisi? Bulan ini kebanyakan ada di posisi sampling lho. Bulan kemarin juga." Isti sudah mulai melancarkan serangan protes. 

Hadi tidak mengalihkan pandangan dari layar komputer. "Tahun depan." 

"Yang benar saja, Bos? Becandanya nggak lucu. Masa iya, aku tugas setahun di sini. Nanti kalau pasien ramai terus gimana?" 

"Iya, tuh. Kalau Isti di depan selalu ramai pasiennya." Vela ikut nimbrung karena kebetulan belum ada pekerjaan di bagiannya. 

"Makanya kalau kerja, nggak usah pasang spanduk pemberitahuan kalau kamu dinas. Pasien kan jadi berbondong-bondong datang." Ana mendekat dan ikut menimpali. 

"Memangnya aku artis? Pakai pasang spanduk terus pada datang," ujar Isti dengan bibir yang dikerucutkan.

Namun, tindakan itu memancing tawa Vela dan Ana, membuat Isti semakin sebal. Seperti biasa, wajah Hadi tetap datar. Entah karena cowok itu tidak mempunyai selera humor atau memang tidak memperhatikan. 

"Ya, udah besok ganti posisi," ujarnya dengan nada yang tanpa emosi.

"Jangan hoax lah, Bos. Jadwalku masih ada di posisi sampling kok." Dahi Isti berkerut, ketika mengingat jadwal kerja. 

"Besok juga berubah kok," balas Hadi dengan kalem. Namun, senyum tipisnya membuat Isti jadi curiga.

"Jadi di mana, Bos?" tanya Isti penasaran. Sesungguhnya dia sudah merasa jenuh, sudah tiga bulan berada diposisi yang sama. 

"Kejutan. Besok pagi tinggal cek jadwal saja." Hadi memandang ke arah belakang Isti.

"Mbak, ada pasien." Perkataan Hadi membuat Isti langsung balik badan, lalu mulai memasang senyum terbaik.

"Selamat pagi, Bu. Silakan duduk," ujarnya sambil menunjukkan sofa sewarna kayu,  yang berfungsi sebagai tempat untuk mengambil sampel. 

Dia menerima formulir pemeriksaan dari pasien. Belum juga sempat membuka mulut untuk mencocokkan identitas, eh sudah ada orang lain yang menyerahkan formulir. 

"Mbak, saya juga mau periksa lab." 

"Saya juga." 

"Ibu saya juga mau periksa, Mbak. Ini formulirnya." 

"Anak saya juga, Mbak." 

"Oh, iya. Silakan menunggu di depan nanti dipanggil sesuai antrian." Isti tersenyum ramah, sambil menunjukkan ruang tunggu pada orang-orang itu. Ternyata itu tindakan itu membuat pasien lain mengerumuninya, tentu saja untuk menyerahkan formulir.

Mata Ana terbelalak, saat melihat Isti masuk dengan membawa setumpuk formulir pemeriksaan. Vela pun tersenyum miris, sebelum mengepalkan kedua tangan, lalu mengangkat keduanya hingga setinggi kepala. "Semangat! Semangat!" 

Cewek yang umurnya sama dengan Isti itu, langsung berlari ke belakang. Sedangkan Ana langsung mengambil alih formulir dari tangan Isti. "Aku bantuin transaksi saja ya. Ini dari atas kan?" 

Baru juga Isti balik badan, sudah terlihat ada formulir di dekat jendela. 

"Semangat, Is. Kamu pasti bisa!" ucap Isti pada dirinya sendiri. Dia pun menyerahkan formulir itu pada Ana, untuk diproses administrasinya. 

Sudah empat jam berlalu, sudah tidak ada formulir yang tersisa. Ini waktunya istirahat. Isti pun masuk ke dalam ruangan Hadi dan mendaratkan pantat di sofa dekat singgasana bos. 

"Mbak, ada pasien," panggil Hadi karena melihat orang yang berdiri di depan pintu. 

"Bos, istirahat dulu ya. Capek banget nih," pinta Isti dengan wajah lesu.

Hadi pun melirik cewek yang sedang mengurut kaki. "Ya, sudah. Minum saja dulu." 

Berhubung tidak tega melihat Isti, Hadi bangkit dan keluar untuk menyambut pasien. Sepeninggal cowok itu, Isti juga bangun untuk minum. Kemudian menuju meja administrasi untuk membantu Hadi memproses hasil pemeriksaan. 

"Selamat pagi, Bu. Kok sudah lama nggak periksa?" ujar Hadi dengan keramahan tingkat tinggi. 

"Saya baru pertama kali periksa di sini." 

Jawaban pasien itu membuat Isti tergelak, tapi masih terus melanjutkan pekerjaan. 

"Wah, ternyata kita tetangga ya. Rumahnya Ibu di Wonosobo, dekat dengan rumah saya." Hadi kembali melanjutkan basa-basi, setelah membaca formulir pengantar.

"O, iya? Rumahnya Mase di mana?" Antusias yang besar terdengar dari suara Ibu itu. 

"Ambarawa." 

"Dekat dari mana, Mas? Wonosobo Ambarawa itu jauh pakai banget lho, Mas," protes Ibu itu dengan nada yang pedas, karena merasa dibohongi. 

"Dekat, Bu. Kalau dilihat dari peta," jawab Hadi, lagi-lagi dengan sikap kalem.

Ana dan Isti yang mendengar percakapan itu, dengan kompak memutar mata. Basa-basi si Bos memang sangat basi. Seharusnya beliau melatih kembali kemampuan berkomunikasinya.

Ketika Hadi masuk ke dalam untuk mengambil perlengkapan, Isti memanfaatkannya untuk protes.

"Bos, basa-basinya jayus banget. Apa nggak ada kalimat lainnya?" Seperti biasa, Hadi hanya tersenyum kecil, saat menanggapi protes itu. 

Tak berapa lama terdengar dering telepon. Isti pun bangkit dari kursi, karena telepon portable itu ada di bagian tengah ruang pemeriksaan. 

"Selamat pagi, laborat dengan Isti. Ada yang bisa dibantu?" 

"Mas Hadi ada?" ucap orang di seberang, tanpa membalas sapaan Isti. 

"Baru ambil darah," jawab Isti dengan setengah hati. Dia bisa menebak kalau Sinta yang menelepon.

"Tolong sampaikan kalau Sinta telepon, suruh buka wa-nya!" perintah cewek itu dengan judes. 

"Jangan sampai nggak disampaikan," ancam Sinta, ketika Isti tidak juga menjawab. 

Isti memutar bola mata, begini nih kalau junior pacaran dengan senior. Ngelunjak jadinya. Isti menimang telepon yang sudah ditutup, enaknya disampaikan atau tidak?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status