Share

Ganti Posisi

"Gawat nih, gawat!" keluh Isti, saat melihat salah satu perawat bermotor melewatinya, dengan kecepatan di atas rata-rata.

Pagi ini Isti berangkat lebih siang, dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih lima puluh. Ini semua gara-gara jam dinding sialan, yang tidak menunjukkan waktu dengan semestinya.

Cewek itu pun berlari-lari menuju tempat absen. Rasanya seperti sedang lomba marathon saja, karena ada beberapa karyawan lain yang berusaha menyalip.

Beruntung, walau waktu menunjukkan pukul 06.57, tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen, gara-gara jari keriput kedinginan.

Dengan sisa tenaga, Isti mendorong pintu belakang, sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.

"Selamat pagi, Bu Pi," sapa Diana dengan senyum sejuta watt. 

Isti mengerjab, berusaha mencerna salam itu. "Jangan bilang kalau…" 

Dia tidak melanjutkan perkataan itu, karena tangan sudah bergerak cepat menarik map bening tempat jadwal dipasang. "Ah! Si Bos cuti ya? Ini kenapa aku yang jadi P1?" 

Rupanya salam tadi memang ditujukan padanya. Bos benar-benar menepati janji untuk mengganti posisinya hari ini. Namun, itu tidak membuat Isti senang, karena dia ditempatkan di posisi Bos. 

Panggilan Pi merupakan plesetan untuk posisi P1. Jadi bila Bos cuti, beliau akan menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya di P1. Semua kewajiban Bos akan dilimpahkan pada penggantinya. 

Itu berarti Isti akan menjadi Bos, dalam tanda kutip untuk shift pagi ini. Dia pun mendaratkan pantat di kursi plastik, yang sudah disiapkan oleh Vela, dengan muka yang semakin lesu.

Isti memandang Vela, Ana, dan Diana, kemudian menghembuskan napas keras-keras. Berikutnya dia mengikuti gerakan melipat tangan, seperti yang sudah dilakukan oleh yang lainnya. 

"Mari kita berdoa." Isti memejam dan  menunduk, untuk memimpin doa pagi itu. 

Setelah kata Amin terucap dari bibir mungil Isti, Diana langsung melaporkan pekerjaan yang belum selesai pada mereka. 

"Kontrol Protein masih belum masuk ya, Bu Pi," ujarnya ketika hendak keluar dari Laboratorium.

"Sudah ganti reagen?" tanya Isti berusaha memendam amarah, karena merasa dijebak oleh si Bos. Namun, tugas harus dilaksanakan sebaik mungkin meskipun dengan berat hati. 

"Belum." Jawaban dari Diana membuat Isti langsung menuju ke alat kimia setelah memakai perlengkapan pelindung diri. 

Isti mengangkat botol tempat reagen protein, lalu menyerahkan pada Ana, yang bertugas di bagian pemeriksaan kimia klinik. "Reagen tinggal sedikit, tolong diganti." 

Ana mengangguk lalu membawa botol itu ke ruang persiapan sampel. Terdengar dering telepon, tapi langsung berhenti karena diangkat oleh Vela, yang kebetulan hendak mengembalikan telepon itu ke tempatnya semula. 

"Oke," jawab Vela singkat. 

Tanpa mendengarkan percakapan juga, Isti sudah tahu apa maksudnya. Dia pun berjalan menuju lemari penyimpanan alat siap pakai, mengambil salah satu box yang sewarna ceri, mengecek isinya, lalu mengancingnya lagi dengan rapat. 

"Di mana?" tanyanya kemudian setelah perlengkapan siap. 

"IGD, ada satu pasien." Jawaban yang singkat, tapi sangat dimengerti. 

Isti mengayunkan kaki jenjangnya keluar dari Laboratorium untuk menuju ke IGD. Beginilah kalau harus menggantikan si Bos. Sibuk dari pagi untuk memastikan pelayanan laboratorium berjalan dengan baik.

Setelah menyelesaikan tugas mengambil darah, Isti menyerahkan sampel dan formulir pemeriksaan kepada Vela. Cewek itu kemudian Isti duduk manis di singgasana Bos. Pikiran sepenuhnya tertuju pada angka-angka hasil Laboratorium, yang harus diprint dan ditanda tangani. 

Pekerjaannya terjeda, saat pintu depan terbuka, menampakkan seraut wajah yang tersenyum samar. Bibir Isti langsung mengerucut, ketika manyadari siapa yang datang.

"Bos, kenapa sih cuti hari ini?" tanya Isti mendahului Hadi yang sudah membuka mulut. 

"Siapa bilang cuti? Hari ini aku mau dinas luar. Ada pertemuan kepala Laboratorium seyayasan di Salatiga." Hadi bersandar di pintu, kedua tangan berada di saku celana. 

Mata Isti menyipit, curiga. "Kok nggak bilang dari kemarin sih, Bos?" 

"Memangnya kalau aku bilang dari kemarin mau apa?" tantangnya.

Namun, tidak semudah itu membuat Isti menyerah. "Ya, kan aku bisa menyarankan Ana atau Vela yang menjadi P1." 

"Enak saja. Aku nggak mau. Keputusan Bos kali ini sangat bijaksana dan tepat sekali," sambar Vela, sambil memamerkan dua jempol di depan Hadi. Cowok itu pun  tersenyum lebar, yang menunjukkan kebanggaan karena sudah berbuat benar.

"Aku juga setuju kalau Isti yang jadi P1." Ana ikut angkat bicara. 

Isti menutup muka dengan kedua tangan. Berhitung satu sampai sepuluh lalu membukanya. "Menurutku itu bukan keputusan yang menyenangkan. Bilang saja kalau kalian juga tidak mau jadi Pi!"

"Nah, itu sudah tahu. Isti pinter banget sih, anak buahnya siapa sih?" goda Vela yang tergelak.

"Sudah, sudah. Sebaiknya kalian mulai kerja lagi," pinta Hadi pada mereka bertiga. Tentu saja perintah itu disambut baik oleh Vela dan Ana, yang langsung kembali ke pos masing-masing, sebelum amarah Isti meledak.

"Mbak, tahu kunci lokerku nggak? Hari ini harus bawa laptop padahal ada di loker. Tolong carikan ya," pinta Hadi tanpa beranjak dari tempat. 

"Emang aku istri Bos apa? Sampai tahu penyimpanan kunci loker," gerutu Isti, yang kembali mengalihkan perhatian ke komputer. 

"Mbak," ucap Hadi dengan lembut. Cowok itu bahkan berjalan mendekati meja komputer. 

Dadanya terasa sesak, hingga Isti memejamkan mata. Bahunya bergerak naik turun dengan lambat, untuk meredakan debar jantungnya. Setelah bisa menguasai diri, dia membuka mata, lalu menarik laci yang terdapat di meja komputer. Kemudian mengeluarkan kardus kecil, yang berisi kunci-kunci. 

"Kunci depan, kunci gudang, kunci kamar mandi, kunci belakang, kunci lemari." Isti mulai memilah-milah. 

"Nah, itu." Hadi menunjuk kunci, yang memiliki gantungan bertuliskan nama band kesukaannya. 

Tangan Hadi menyambar kunci yang ada di genggaman Isti. Tanpa menyadari wajah cewek itu bersemu merah, gara-gara sentuhan ringan itu.

Terdengar dering telepon, 

Cewek itu mengangkat telepon, sehingga tidak mendengar jelas ucapan terima kasih dari Hadi, atau memang tidak ada ucapan terima kasih? Isti tidak ambil pusing, yang terpenting adalah pekerjaan diselesaikan dengan baik. 

"Bos, sudah ditunggu sama supir di depan lobi. Sekarang ya, Bos!" Isti menekankan tiap kata, agar Hadi menyadari betapa dirinya sudah ditunggu-tunggu oleh yang lain. 

"Bos!" teriak Isti ketika tidak mendengar jawaban. 

"Iya, iya. Ini sudah mau keluar. Kalau ditelepon lagi bilang saja sudah jalan." Hadi melambai pada ketiga anak buah. 

Sepeninggal Hadi, Isti disibukkan oleh banyak pekerjaan. Seperti yang terjadi sekarang ini.

"Pak Hadi sedang dinas luar," ujar Isti dengan keramahan maksimal ketika melihat sales kelima masuk ke dalam ruangan kantor. 

"Mau menawarkan alat nih, Mbak." Rupanya sales yang ini susah diusir. Keempat sales lain langsung undur diri dan mengatakan akan datang lain kali. 

"Saya minta list produk saja. Besok saya serahkan ke Pak Hadi." 

Sales itu membuka tas dan mengeluarkan map kertas yang depannya ada gambar berbagai alat Laboratorium. 

"Bantu omong sama Pak Bos biar beliau mau beli ya, Mbak," bujuk Sales itu. 

"Keputusan ada di tangan Bos, bukan saya." Isti menerima map itu lalu memasukkan ke laci. 

"Alat ini sudah dipakai di banyak rumah sakit. Saya bisa menunjukkan daftarnya, bahkan kontak person penanggung jawab tiap rumah sakit." Sales itu masih belum mau menyerah.

"Besok dibicarakan saja dengan Pak Hadi, kalau beliau sudah kembali masuk kerja." Isti menjawab dengan tegas, berharap agar sales itu mau mengerti.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Akhirnya pamit juga, Isti bernapas lega. 

"Bu Pi, poliklinik menanyakan hasil rujukan tapi hasilnya belum ada." Ana menyerahkan secarik kertas, bertuliskan identitas pasien pada Isti. 

Cewek itu membaca nomor rekam medis pasien, lalu mulai mencari hasil di komputer. Ternyata memang belum ada hasilnya. Dia lalu menghubungi Laboratorium rujukan, untuk menanyakan hasil. 

Ana bergidik ngeri, melihat perubahan raut wajah Isti yang semakin lama semakin kelam. Dia pun memilih untuk meninggalkan Isti, yang menghadapi laboratorium rujukan.

"Selamat siang, Pak. Saya dari laboratorium Rumah Sakit Kenanga. Saya mau menanyakan tentang hasil FT3, FT4, dan TSHs untuk pasien Tn. Parjo. Kami mengirimkan sampel tanggal 2."

Setelah mendengarkan penjelasan dari Laboratorium rujukan. Isti menghubungi dokter untuk memberi penjelasan alasan kenapa hasil belum keluar. Ternyata laboratorium rujukan sempat kehabisan reagen, hingga harus menunggu kiriman dari vendor.

Semakin siang kepala Isti semakin pusing, karena ada saja masalah yang harus dihadapi. Kalau seperti ini kejadiannya, Isti menyesal sudah minta ganti posisi. Harusnya dia tidak usah mengeluh kemarin. 

"Bos, jangan cuti lama-lama dong?" keluh Isti, tanpa ada yang mendengarkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status